Kuliner Malam di Asia Mega Mas

Oleh: J Anto.

Jam digital di ponsel baru menunjukkan angka 20.10 WIB malam itu, namun Agus Tianto (42) sudah mulai ringkas-ringkas. Dibantu seorang karyawannya, ia terlihat sibuk memasukkan piring, gelas dan peralatan lain ke sebuah keranjang plastik. Lampu neon yang menerangi stellingnya sudah dimatikan. Namun cahaya lampu dari puluhan stand lain membuat tulisan di stiker yang menempel di bagian atas stelling masih terbaca jelas: ‘Istana BBQ Duck’.

“Namanya rezeki, kadang kita nggak tahu, malam ini, Puji Tuhan dagangan cepat habis,” ujarnya. Senyum semringahnya mengembang. Agus Tianto adalah salah satu pemilik stand kuliner di Kompleks Perumahan Asia Megas Mas, tepatnya di Yummi Foodcourt.

Sudah sepuluh tahun ia berjualan nasi bebek panggang. Pria yang pernah bekerja selama 7 tahun di sebuah restoran di Taiwan saat kuliah di Tamkang University ini, mulai menerapkan ilmunya sejak tahun 2008, sepulang ke tanah air.

Namun di Pujasera milik pengusaha Yansen Wijaya itu, ia baru buka stand sejak 2011. Sebelumnya ia berjualan di Jalan Sutomo. Di pujasera ini terdapat 20 pedagang yang menjaja aneka kuliner. Yansen Wijaya sendiri membuka kedai kopi dan aneka minuman. Puluhan stand kuliner lain juga berderet sepanjang jalan samping sebuah bank swasta terkenal. Termasuk di sejumlah blok ruko yang ada.

Selasa malam (19/6), sejak pukul 18.00 WIB, denyut keramaian di sejumlah stand kuliner memang sudah mulai terlihat. Padahal sekitar 100 meter jelang masuk kompleks perumahan, aspal Jalan Asia sudah banyak terkelupas, bahkan menciptakan kubangan cukup dalam. Meski tak nyaman, namun tak mengurangi hilir mudik mobil dan sepeda motor yang silih berganti masuk - keluar.

Tukang parkir terus berteriak-teriak mengatur mobil yang hendak parkir. Para pedagang dibantu karyawan sibuk memasak, sementara para penikmat kuliner berganti menyerbu berbagai stand kuliner yang ada. Kursi-kursi plastik silih berganti diduduki pengunjung. Bahkan pengamen, pengemis dan sales girl promotion tak ketinggalan ikut meramaikan suasana.

Tak banyak yang menyangka, kawasan yang pada tahun 1970-an dikenal ‘angker’ itu, konon karena banyak samseng, preman Tionghoa yang suka bikin gaduh, sejak 10 tahun ini, menjelma sebagai salah satu pusat kuliner terkenal di Medan.

Mirip Pasar Malam

Meski begitu, kehidupan malam di Kompleks Asia Mega Mas, tak identik dengan kuliner. Para pedagang baju, kaos, aksesoris perhiasan dan handphone, cd bajakan dan aneka kue basah, roti, juga ikut menyemarakkan suasana. Termasuk komedi putar mobil-mobilan dengan warna-warni lampu neon hias yang ramai diserbu anak-anak. Bisa dibilang kehidupan malam di perumahan ini sebenarnya mirip sebuah Pasar Malam.

Bicara ragam kulinernya, memang tak kalah dengan sentra kuliner lain seperti di Cemara Asri atau di Jalan Semarang dan Selat Panjang yang melegenda itu. Di sini ada seafood, chinesse food, sate padang, ayam penyet, nasi goreng bombai, bakut teh port klang, ragam jenis makanan nasional, kuliner junk food sampai jajanan jalan tradisional, aneka roti dan lok lok, sate daging dan ikan olahan lembut ala Malaysia.

Seperti juga pusat kuliner lain di Medan, malam Minggu dan Minggu malam jadi malam tersibuk para pedagang di sini. Hal ini diakui Agus, sekalipun ia tak mau menhungkap berapa ekor bebek dan berapa kilo daging yang ia habiskan malam itu.

“Yang jelas lumayanlah, pujasera ini memang paling ramai pengunjung,” ujarnya sembari menebar tertawa. Effendi (38) alias atau Asen, pemilik rumah makan seafood Cahaya Baru, juga tak menampik fenomena itu.

“Biasanya saat weekend, pelanggan dari Tebingtinggi, Binjai dan Lubuk Pakam turun ke rumah makan kami,” tuturnya. Di rumah makannya yang bertingkat, tersedia kurang lebih 20 meja. Sehari-hari ia dibantu 10 orang karyawan. Kepiting ranjungan yang dimasak dengan saos lada hitam dan saos Padang, jadi menu andalannya, disampiing steam ikan ala teochew, Hongkong dan nyonya.

Saat weekend dan hari libur, ia bisa menjual 10 kg lebih kepiting ranjungan, belum termasuk steam ikannya. Namun jangan salah, bisnis Asen tak hanya membuka resto seafood. Ia juga dikenal sebagai salah satu pemasok ikan segar ke sejumlah restoran, disamping membuka lapak ikan di Pajak Beruang. Jumlah ikan segar yang terjual bisa 4 - 5 kali lipat lebih dari bisnis kulinernya.

Puluhan tahun menekuni bisnis ikan segar bersama ayahnya, membuat Asen paham ikan segar berkualitas. Barangkali itu keuntungannya saat tahun 2016 mulai merintis usaha seafood-nya. Ia mengklaim, kepiting ranjungan punya kelebihan dibanding kepiting batu.

“Tekstur daging kepiting ranjungan lebih halus, rasanya manis dan harum baunya. Sedang kepiting batu teksur dagingnya lebih keras, kurang manis dan tidak harum,” ujarnya. Kepiting ranjungan hanya hidup di air laut yang dalam dan tidak bisa dibu­didayakan. Sementara kepiting batu bisa dibudidayakan di keramba dan rawa-rawa. Karena itu sekalipun sudah dimasak kadang bau lumpur masih terasa.

Yang juga tercipret rezeki saat weekend adalah Rifan Dehude (23), seorang pedagang lok lok. Lok lok adalah olahan daging sapi, ayam, kepiting, udang, rumput laut dari Malaysia yang disajikan seperti sate. Prosesnya bisa dipanggang, digoreng maupun di-steam dengan dilumuri saus barbekyu, mayones atau kecap. Aroma dan rasanya memang cukup menggoda.

Jajanan jalanan ala Malaysia ini dibandrol mulai Rp 4.000, Rp 6.0000 sampai Rp 12.000 per tusuk. Saat weekend ia bisa menjual seratus tusuk lebih. Aris sudah berdagang lok lok sekitar 3 - 4 tahun. Penggemar lok lok menurut Rifan umumnya kalangan remaja.

Wajib Ada Menu Baru

Bisnis kuliner diakui kini tak lagi seramai sebelumnya. Krisis ekonomi diakui sejumlah pedagang belum sepenuhnya pulih. Menyia­sati keadaan, para pedagang sudah pasang kuda-kudai agar asap dapur di stand tetap berkepul. Membuat aneka variasi menu adalah salah satunya. Menu baru tentu selalu ditunggu konsumen. Memanjakan lidah konsumen jadi rumus mereka.

Hal ini diakui Agus Tianto. Sekalipun standnya berjualan nasi bebek, namun variasi menu yang ia buat hingga kini sudah 20 varian lebih. Ada nasi bebek rendang plus bebek panggang, ada nasi bebek 3 in 1: bebek panggang, bebek semur dan bebek rendang. Ada juga bebek panggang dan chasio. Itu sekadar contoh dari menu bebek panggangnya. Asen, setali tiga uang. Setiap tiga atau lima bulan, koki di rumah makannya juga selalu menyajikan menu baru untuk dicoba konsumen.

Selain menu baru, harga kuliner yang terjangkau juga penting. Yansen Wijaya (35), owner Yummy Foodcourt menerapkan kebijakan tak tertulis seperti ini di kalangan pedagang yang berjualan pujaseranya. Di tengah persaingan bisnis yang makin sengit dan ekonomi yang masih lesu tadi, konsumen umumnya ingin mencari kuliner dengan harga terjangkau.

“Harga kuliner di sini sesuai harga pasaran, intinya pedagang tetap untung, konsumen puas dapat kuliner berkualitas dengan harga terjangkau,” katanya. Ia juga mewanti-wanti para pedagang agar tak mengecewakan konsumen. Komplain sekecil apapun harus cepat ditanggapi agar tak buat mereka kecewa. Di pujasera miliknya juga disediakan tempat parkir yang luas. Pengunjung punya dua alternatif untuk memarkir mobil atau sepeda motor mereka. Pertama masuk lewat Asia Mega Mas memutari pujaseranya, atau langsung dari Jalan Kapten Jumhana.

“Kuliner di sini memang tergolong paling ramai. Makanan apa saja ada di sini, kalau ada tamu dari Jakarta, selalu saya bawa ke sini,” ujar Halim Loe, Ketua Umum Perkumpulan Marga Loe. Apa alasan Halim Loe?

“Harga kulinernya terjangkau, rasanya juga maknyus!” ujarnya disertai derai tawanya. Alamaak.

()

Baca Juga

Rekomendasi