Menyoal Kembali Hubungan Pers, Pemerintah, dan Masyarakat

Oleh: Nurudin. Beberapa waktu lalu kita dikagetkan de­ng­an adanya seke­lompok massa yang menggeruduk kantor Radar Bogor karena protes pembe­ritaan. Tindakan itu berawal dari judul berita “Ong­kang-ongkang Dapat Rp. 112 Juta” di media tersebut. Tak pe­lak lagi, Persatuan Wartawan Indonesis (PWI) ikut mengecam aksi tindakan massa di atas.

Kasus di atas mengingatkan kita untuk kembali membahas hubu­ngan trikotomi antara pers, pemerintah dan masyarakat. Namanya juga hubu­ngan trikotomi yang sering tidak sei­ring dan sejalan tetapi sama-sama mem­butuhkan. Jika dikotomi itu dua pi­hak yang berseberangan, namun tri­kotomi itu tiga pihak yang saling berseberangan.

Trikotomi

Antara pers, pemerintah, dan ma­syarakat tentu mempunyai dasar pijakan berbeda. Mereka mempunyai alasan sendiri dan tujuan sendiri, tetapi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dalam perkembangannya, pemerintah berada di pihak yang pa­ling berkuasa antara pers dan masya­ra­kat. Alasannya, pemerintahlah yang mempunyai alat negara untuk bisa memaksa pers dan masyarakat selalu tunduk pada kemauannya.

Dalam kajian teori sistem dikatakan bahwa pers tunduk pada sistem pers dan sistem pers tunduk pada siste politik. Sementara itu, sistem politik tersebut yang mempunyai adalah pemerintah. Jadi, dalam posisi ini kedudukan pers berada bawah po­sisi pemerintah. Ini diperkuat asum­si bahwa pemerintah itu juga mencerminkan pihak yang berkuasa. Sementara itu kekuasaan itu adalah sebuah cara pengelola pengaruh agar orang lain menuruti keinginan dari yang mempunyai kekuasaan itu. Jadilah pemerintah yang mempunyai kekuasaan tersebut mengusai apa yang ada dalam masyarakat (termasuk pers dan juga masyarakat).

Aktualisasinya, kita bisa membandingkan pemerintahan di Indonesia sejak negara ini berdiri. Berbagai kasus pembredelan penerbitan di era Orde Lama (Orla) dan Orde Ba­ru (Orba) membuktikan bahwa ke­ku­a­sa­an pemerintah mempunyai kekuat­an penuh.

Jadi pemerintah punya keku­asaan, sementara pers biasanya berusaha un­tuk tidak hanyut menuruti keinginan pemerintah secara membabi bu­ta. Sementara itu masyarakat yang se­benarnya mempunyai kedaulatan pe­nuh atas negara pada akhirnya ke­kuasaanya dikebiri sedemikian rupa. Masya­rakat hanya dianggap punya kekua­saan saat dibutuhkan suara­nya dalam Pemilihan Umum (Pemilu), setelah itu kekuasaannya hilang atau sengaja dihilangkan.

Jadi, antara pemerintah, pers, dan masyarakat merupakan hubu­ngan tri­kotomi dimana ketiganya mempu­nyai dasar pijakan berbeda dan sa­ngat sulit untuk akur. Hubungan ketiganya bisa digambarkan dalam segiti­ga sama kaki, dimana pemerintah berada di atas sementara kaki peme­rintah menginjak pers dan masyarakat.

Idealnya memang bukan hubung­an segitiga sama kaki, tetapi segitiga sama sisi. Sementara itu posisi pa­ling atas adalah pers sementara dua ka­li lainnya peme­rintah dan ma­sya­rakat. Mengapa? Karena pers dianggap sebagai peng­hubung kepenting­an masyarakat dengan pemerintah atau sebaliknya.

Dalam posisi ini, media akan bisa netral mengembangkan dirinya, bebas mengkritik pemerintah dan ma­sya­rakat, mendorong keduanya sampai mengawasinya tanpa takut dibredel. Namanya juga berposisi sebagai penghubung. Namun demikian, da­lam sistem politik hal demikian tidaklah gampang dilakukan karena pemerintah jelas mempunyai kepen­tingan untuk melanggengkan kekuasaan, bentuk pemerintahan apa pun.

Otoritarianisme Massa

Namun demikian, hubungan ketiganya juga bisa mengarah pada oto­ritarianisme massa. Artinya, keku­a­sa­an massa sering berada pada posisi atas. Dengan kata lain, pers berada da­lam tekanan massa. Segala aktivi­tasnya selalu berada dan harus sesu­ai dengan keinginan massa.

Apa yang terjadi pada Radar Bogor menunjukkan indikasi kuat ke arah itu. Dengan penggeru­dug­an massa ke kantor redaksi tersebut, segala ak­tivitas keredak­sian mau tidak mau akan terpengaruh. Tekanan massa yang membuat awak media tidak be­kerja dengan leluasa sesuai korodor hu­kum masuk dalam “pembredelan” dalam lingkup yang ringan.

Tekanan pada pers juga pernah terjadi pada Harian Rakyat Merdeka. Sekelompok massa men­datangi kantor harian itu atas berita berjudul “Mulut Mega Bau Solar” (8/1/03), “Mega Lebih Ganas dari Sumanto” (30/1/03, dan “Mega Cuma Sekelas Bupati” (4/1/03). Akibatnya, Redaktur Eksekutifnya, Supratman, divonis 6 bulan penjara karena dianggap menyebarkan kebencian. Kasus ini pernah dikritik advokat senior almarhum Adnan Buyung Nasution bahwa apa yang dilakukan pers sekadar u­pa­ya mengkritisi kebijakan politik.

Lalu, ada juga pendudukan kantor Jawa Pos oleh sekelompok massa pro Gus Dur pada tanggal 15 April 1999 dan 7 Mei 2000. Mereka keberatan atas berita yang diberitakan Jawa Pos 6 Mei 2000. Jawa Pos per­nah menurunkan tulisan “Gus Dur Dicekal Sendiri oleh PBNU, Dianggap Mendua, Tak Boleh Ngomong Soal PKB” yang membuat marah massa Gus Dur (1999). Pendudukan ini secara tidak langsung akan memengaruhi kerja media massa.

Penghakiman massa pada pers jika tidak diatasi akan mengarah pada otoritarianisme massa. Akan lebih parah lagi jika otoritarianisme ini berkaitan erat dengan kepen­tingan pemerintah. Jadi setali tiga uang, massa menekan pers sementara pemerintah membiar­kan karena memang mempunyai kepentingan atasnya.

Massa bisa leluasa menekan karena secara psikologis ia mendapat dukungan secara tidak langsung dari pemerintah. Dengan kata lain, kerja pemerintah yang mengawasi pers untuk sesuai dengan keinginan diwakili oleh massa. Pers kritis, tidak disukai pemerintah, lalu massa yang bergerak.

Sebenarnya, tekanan pada media baik oleh pemerintah maupun ma­sya­­rakat tidak boleh terjadi. Semua harus dikembalikan ke wilayah hukum. Jika tidak, kebe­basan pers akan terancam dan perngembangan de­mok­ratisasi akan mengalami hambatan.

Kita jadi diingatkan kata-kata ba­pak Amerika Thomas Jefferson, ”Jika saya hars memilih ada pers tanpa ada pemerintah dengan ada pemerintah tanpa ada pers, tidak ragu-ragu lagi saya akan memilih yang pertama.” ***

Penulis, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Jawa Timur; Penulis buku Pers dalam Lipatan Kekuasaan, Tragedi Pers Tiga Zaman.

()

Baca Juga

Rekomendasi