Melestarikan Tanaman Kapur Barus

Oleh: Fadmin Prihatin Malau. Tanaman Kapur Barus, boleh jadi terdengar asing buat sebahagian besar masya­rakat Indonesia. Pada hal ta­naman ini berasal dari kota tua yang kini menjadi satu kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Disebut kota tua, sebab me­nyimpan cerita (sejarah) sebagai salah satu kota pela­buhan tertua di Asia Tengga­ra dan pintu masuk Agama Islam ke nusantara pada abad pertama hingga abad ke-17 masehi.

Barus yang berada di pan­tai ba­rat Sumatera pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah tersohor di du­nia. Para pedagang Arab datang untuk bertransaksi sekaligus memperkenalkan Islam. Kala itu kapur barus biasa digunakan sehari-hari, dan komoditas yang tersohor.

Kini, butuh upaya ekstra me­lestarikan tanaman yang per­­nah menjadi buruan peda­gang seluruh dunia ini. Pa­salnya tanaman ini su­dah langka di Barus. Kapur barus pernah terkenal, sebab Barus berada di pantai barat Suma­tera sebagai kota pelabuhan yang ramai.

Ramainya pelabuhan (ban­dar) Barus disebabkan hasil alam berupa rempah-rempah termasuk keharuman dari kapur barus. Para pedagang Arab dan Eropa membawa­nya ke daerah asal masing-masing. Kehebatan kapur ba­rus tersebar ke seluruh dunia hingga ribuan tahun.

Akhirnya terjadi eksplora­si selama berabad-abad dan membuat tanaman kapur ba­rus sulit dite­mukan di tanah asalnya. Saat ini, pelestarian tanaman kapur barus kembali diupayakan di Tapanuli Te­ngah.

Duta besar dan perwakilan negara sahabat pernah datang seperti dari Afghanistan, Al­jazair, Azerbaijan, Bangla­desh, Bulgaria, Kroasia, Irak, Jordania, Kazakhstan, Laos, Libya, Myanmar, Pakistan, Palestina, Polandia, Arab Saudi, Sudan, Seychelles, Turki, Uni Emirat Arab, Ukraina, Uzbekistan, Laos, Suriname dan Yaman bersa­ma Special Envoy of Sey­chel­les for ASEAN. Mereka datang karena kejayaan kapur barus pada masa lalu.

Upaya penanaman kemba­li pohon kapur barus sudah sering dilakukan, tapi hasil­nya belum seperti diharap­kan. Dulu bisa disadap dan di­nikmati keharumannya, karena karena prosesnya me­makan waktu sampai ratusan tahun.

Kini ting­gal nama kapur barus diabadikan menjadi na­ma kota tua Barus. Se­dang­kan tanaman kapur barus ham­pir punah. Harusnya ti­dak demikian sebab Indonesia merupakan negara yang memiliki ekosistem hutan tro­pika terluas di dunia. Bukti­nya dengan penutupan 86-93 juta hektar. Hutan Indonesia merupakan tempat hidup ba­gi 17 persen spesies burung, 16 persen spesies reptilia dan ampibia, 12 persen spesies ma­malia dan 10 persen spe­sies tumbuhan yang ada di dunia ini. (dikutip dari Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch, 2001)

Langka dan punahnya je­nis tanaman pada satu daerah memengaruhi lingkungan hi­dup di daerah itu. Kelangkaan tanaman berdampak pada eko­sistem yang ada. Jalan yang terbaik melestarikan ta­naman yang ada seperti di Ba­rus tanaman kapur barus. Begitu juga dengan daerah lain.

Tentunya terkait dengan pengelolaan hutan di Indonesia dalam pelaksanaan pem­bangunan nasional. Penge­lolaan hutan berkaitan de­ngan eksploitasi kayu yang ber­asal dari hutan dan itu me­rupakan devisa (pemasuk­an pada negara) yang besar. Namun, eksploitasi kayu ha­rus dikelola dengan baik dan benar sehingga tanaman ti­dak punah atau kelestarian hu­tan terjaga.

Kini seluas 59,62 juta hek­tar hutan alam telah rusak de­ngan laju deforestasi yang sig­nifikan (Dikutip dari Badan Planologi Kehutanan, 2010). Rusaknya hutan alam satu indikator pengelolaan hutan di Indonesia belum pro­fesional dan proporsional. Bi­la pengelolaan hutan alam dilakukan dengan baik dan benar maka laju kerusakan hu­tan alam dapat diminimal­kan dan cenderung hutan alam lestari.

Kelestarian hutan alam mem­buat fungsi ekosistem hutan alam berjalan baik. Indikator fungsi hutan alam berjalan baik apa bila hasil hu­tan alam dikelola dengan tepat guna. Hutan alam me­nyediakan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Pengelolaan hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu yang belum baik dan benar pengelolaannya sehingga mengancam ekosistem dan terjadinya kerusakan hutan. Pengelolaan yang baik dan benar sangat diperlukan agar fungsi ekosistem hutan berja­lan secara alami.

Tanaman Kapur Barus dan Kemenyan Terancam Punah

Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Uni­versitas Negeri Medan (Uni­med) melaksanakan se­minar pada 7 Desember 2016 di Gedung Serba Guna Uni­med dengan tema, “Jejak Ka­pur Barus dan Kemenyan dalam Peradaban Dunia.”

Kapur barus yang disemi­narkan sesungguhnya hutan kapur barus hampir musnah di Kota Barus. Mengapa ham­pir musnah? Pada hal ka­pur barus dan kemenyan su­dah menjadi peradaban du­nia. Artinya, kapur barus dan kemenyan sebagai Hasil Hu­tan Bukan Kayu (HHBK) me­rupakan perhatian dunia dari dahulu hingga kini.

Pembicara (narasumber) Dr. Phil Ichwan Azhari, MS menjelaskan Kapur Barus (kamper) dan kemenyan asal Sumatera memiliki daya pi­kat tinggi, sangat dicari dan harganya hampir setara de­ngan emas. Kondisi itu pula menurut Ichwan mengun­dang berbagai bangsa asing melakukan perdagangan dan pelayaran ke daerah pengha­sil kapur barus dan keme­nyan. Seperti diketahui per­da­gangan merupakan salah satu pemicu peradaban pada masa itu.

Keberadaan kapur barus di Pantai Barat Sumatera yang kemungkinan besar menjadi latar belakang pena­maan salah satu bandar da­gang penting yaitu Barus. Tem­pat ini bahkan telah di­be­ritakan Claudius Ptolemaus pada abad ke-2 M dengan se­butan Barousai.

Di samping Ichwan Azha­ri, ada narasumber lain yakni Dr. Aswandi dari Badan Lit­bang Kementerian Ling­kung­­an Hidup Kehutanan (LHK) dan Ery Soedewo, M.Hum dari Balai Arkeologi Medan. Pembicara Ery Soe­wondo memaparkan eskavasi yang dilakukannya menemu­kan jejak damar pada situs-situs arkeologis dan membe­da­kannya berdasarkan kon­teks temuannya yakni yang ber­sifat profan dan bersifat sakral. Damar-damar yang temuannya bersifat profan antara lain ditemukan di situs Pulau Kampai dan situs Kota China. Sementara yang bersifat sakral terdapat di situs Simangambat, Bukit Ko­to Rao dan temuan dari Can­di Plaosan Lor sebagai pem­banding.

Damar-damar itu meng­alir ke Tiongkok me­lalui ja­lur niaga. Bahkan dampak dari tingginya per­mintaan beragam produk ek­sotis itu mengakibatkan meng­alirnya koin-koin Tiong­kok keluar negeri. Seperti ketika tahun 1078 sejumlah komoditas khas seperti kamper dan ke­menyan memasuki pelabuh­an Guangzhou, pemerintah dinasti Sung kala itu mem­ba­lasnya dengan 64.000 min koin serta 10.500 tael perak.

Sedangkan Aswandi me­nyebutkan damar merupakan sejenis getah yang dihasilkan berbagai tumbuh-tumbuhan seperti pohon damar, tusam, meranti, kapur atau kamper dan kemenyan. Dirinya me­nyesalkan tanaman seperti kapur barus dan kemenyan mu­lai punah.

Kini terjawab pentingnya hutan alam menjadi meru­pakan “paru-paru” dunia. Arti­nya bila hutan alam ter­jaga dengan baik maka keter­sediaan oksigen di bumi ini baik dan mencukupi kebutuh­an manusia. Bila keterse­dia­an oksigen sudah tidak men­cukupi lagi di permukaan bu­mi ini maka kehidupan ma­nusia terancam. Semoga ti­dak terjadi ketersediaan oksi­gen menipis di bumi ini.

(Penulis Dosen Fakultas Pertanian Universitas Mu­hammadiyah Sumatera Uta­ra (UMSU) Medan, praktisi kehutanan dan putra kelahir­an Barus)

()

Baca Juga

Rekomendasi