“Saya ingat sudah ada keinginan ikut Olimpiade Fisika sejak SMP setelah saya membaca berita di koran tentang Tim Olimpiade Fisika Indonesia di International Physics Olympiad (IPhO),” katanya dua pekan lalu.
Beberapa tahun setelah dia membaca berita itu, keinginan itu terwujud juga. Bakat dan minatnya pada fisika dan matematikalah yang mengantarkan Rangga masuk Tim Olimpiade Fisika Indonesia (TOFI). “Saya ikut TOFI dua tahun,” katanya.
Pada tahun pertama, dia ikut tim Indonesia ke ajang Olimpiade Fisika Asia (APhO) 2002 di Singapura. Dia pulang dengan medali perunggu. Setahun kemudian, dia kembali bergabung dengan TOFI untuk berangkat ke APhO di Bangkok, Thailand. Tim Indonesia pulang dengan hasil gemilang. Rangga, Widagdo Setiawan, Yudistira Virgus, Bernard Ricardo, Hani Nurbiantoro Santosa, dan Triwiyono Darsowiyono merebut enam medali emas dan menjadi juara umum.
Tak cuma pulang berkalung medali emas, Rangga juga mendapat penghargaan Most Creative Solution in Experiment.
Empat bulan setelah APhO, Rangga dan teman-temannya kembali terbang ke Taipei, Taiwan. Kali ini mereka berlaga di kompetisi lebih bergengsi, Olimpiade Fisika Internasional ke-34. Hasilnya sangat bagus. Indonesia menempati peringkat ke-6, setelah Amerika Serikat, Korea Selatan, Taiwan, Iran, dan India.
Widagdo menempati peringkat ketiga dari 154 peserta dan meraih medali emas, Rangga meraih peringkat ke-25 dan membawa pulang medali perak, demikian pula Bernard. Sedangkan Triwiyono dan Yudistira Virgus mendapat medali perunggu.
Tahun ini, TOFI yang dirintis oleh Yohanes Surya tepat 25 tahun mengikuti Olimpiade Fisika. Pada 1993, untuk pertama kali, TOFI memberangkatkan tim ke ajang IPhO di Virginia, AS. TOFI pertama beranggotakan lima pelajar SMA dari sejumlah kota di Indonesia.
Selama 25 tahun, TOFI sudah menghasilkan banyak medali dan penghargaan untuk Indonesia. Sudah lebih dari 100 alumni yang ‘lulus’ dari TOFI dan kini tersebar di seluruh dunia. Sebagian masih ‘berkubang’ dengan fisika, sebagian lagi melompat ke bidang lain, bahkan ada pula yang pindah ke bidang yang lumayan jauh dengan fisika.
Rangga masih setia dengan fisika. Setelah meraih gelar doktor fisika dari University of Maryland, sejak April 2016 dia bekerja sebagai peneliti di grup Superconducting Quantum Circuit, NTT Basic Research Laboratories, Atsugi, Jepang. “Bidang risetnya hampir sama dengan riset waktu di Maryland,” ujarnya.
Di Maryland, risetnya berkaitan dengan superconducting quantum bits (qubit). “Qubit adalah komponen penting untuk komputer kuantum. Sekarang banyak perusahaan, Google, Intel, Microsoft, IBM, dan grup riset, yang sedang berusaha membuat komputer kuantum, baik dengan superkonduktor, semikonduktor, atau trapped ion.”
Bagi anak-anak pintar dan juara olimpiade seperti mereka, banyak kampus top dunia yang selalu siap menampung dan memberikan beasiswa. Tak mengherankan jika tak sedikit alumni TOFI kini sudah menyandang gelar doktor dan bekerja bertebaran di luar negeri.
Seperti makan nasi
Jangankan suka, di mata banyak pelajar, fisika dan matematika bukan hal menarik. Tapi tidak bagi Andreas Dwi Maryanto Gunawan. Jika ada orang bertanya bagaimana bisa suka matematika, bagi dia pertanyaan itu sama seperti, “Mengapa kamu suka makan nasi?”
Dari kecil, Andreas mengaku memang suka pada angka-angka. “Mungkin salah satu faktor yang membuat saya suka matematika waktu saya kecil adalah karena, di matematika, kita tidak perlu menghafal terlalu banyak. Kita cukup mengerti saja. Dan waktu menjawab pertanyaan, tinggal pakai logika,” dia menuturkan.
Sejak masih di bangku SMP di Kota Malang, Jawa Timur, Andreas rajin ikut lomba matematika dan sains. Dia dua kali mewakili Indonesia di ajang Olimpiade Matematika Internasional (IMO). Pada IMO 2008 di Madrid, Spanyol, dia mendapat perak. Tahun berikutnya, Andreas pulang membawa perunggu dari IMO di Bremen, Jerman.
Lulus SMA, dia mendapat beasiswa kuliah di Jurusan Fisika Universitas Nasional Singapura (NUS). Baru setahun kuliah, Andreas memutuskan pindah jurusan. Dia pilih matematika terapan. Setelah mendapat gelar sarjana, dia melanjutkan kembali kuliah doktoral di NUS dengan jurusan matematika dengan spesialisasi komputasi biologi. Dia menuntaskan disertasi doktoralnya pada Januari 2018 dan sekarang bekerja sementara sebagai asisten riset di NUS.
Ada dua topik penelitiannya. Pertama, membuat model matematika untuk menjelaskan sejarah evolusi spesies di dunia. Kedua, mempelajari interaksi gen dan protein yang ada di tubuh manusia. “Contohnya, bagaimana memprediksi gen penyebab kanker atau gen yang khusus bekerja di jaringan tertentu saja.”
Indonesia sudah mengirimkan tim ke IMO sejak 1988. Sudah ada ratusan alumni TOMI. Serupa alumni TOFI, banyak anak pintar alumni TOMI berkuliah dan bekerja di luar negeri.
Harus pulang kampung?
Tidak terang benar berapa banyak orang pintar dari negeri ini yang berkuliah di negeri orang dan akhirnya mengejar karier di luar negeri. Di AS saja, menurut Deden Rukmana, profesor di Savannah State University dan Ketua Umum Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4), ada 89 warga Indonesia bergelar doktor yang menjadi profesor di pelbagai kampus di negeri itu.
“Kita tidak bisa menghalangi anak-anak unggul Indonesia mendapatkan kesempatan bersekolah di luar negeri. Ini kesempatan baik buat mereka dan kita pun mestinya melihat mereka sebagai komponen bangsa yang suatu saat akan berbuat banyak untuk Indonesia,” katanya.
Meski bersekolah dan bekerja di luar negeri, tidak serta-merta mereka lupa akan negerinya. “Pengamatan saya selama ini menunjukkan bahwa diaspora ilmuwan Indonesia akan dengan senang hati berbuat untuk kemajuan Tanah Air sejauh ada media bagi mereka untukk berkiprah,” ujarnya.
Apa boleh buat, kita mesti mengakui, penguasaan sains teknologi dan penelitian di Indonesia memang masih jauh tertinggal dari negara-negara maju. Tak usah bicara soal penghasilan. Di AS, rata-rata gaji untuk peneliti pemula yang baru lulus program doktor berkisar 50 ribu dolar AS atau hampir Rp700 juta per tahun, lebih dari Rp 50 juta per bulan.
Alokasi dana untuk riset di negeri ini juga kalah jauh dari negara-negara maju. Mengutip data Bank Dunia 2013, alokasi dana untuk riset Indonesia hanya 0,08 persen dari produk domestik bruto (PDB). Bandingkan dengan Israel dan Korea Selatan. Dua negara ini mengalokasikan hampir 5 persen dari PDB-nya untuk riset.
Menurut data Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendidikan (UNESCO), besar dana riset China kini hanya kalah dari AS. Total dana riset China sebesar 370 miliar dolar AS atau Rp 5.154 triliun setahun, nomor dua setelah AS yang sebesar 479 miliar dolar AS atau Rp6.673 triliun.
Sementara, dana riset Indonesia dalam setahun hanya 2 miliar dolar, kurang dari 1/200 dana riset AS.
Infrastruktur penelitian di negara maju, seperti AS, menurut Deden Rukmana, sudah sangat kuat dan terintegrasi dengan industri dan dunia usaha.
Walhasil, jika anak-anak pintar Indonesia itu “dipaksa” pulang kampung, mungkin malah bakal sulit berkembang.
“Tentu baik sekali jika ilmuwan-ilmuwan top Indonesia pulang. Tapi menurut saya, saat ini belum perlu untuk di-push,” kata Halim Kusumaatmaja, alumni TOFI dan profesor fisika di Universitas Durham, Inggris.
Apalagi jumlah dan mutu diaspora ilmuwan Indonesia di luar negeri, menurut Deden Rukmana, juga masih kalah dari ilmuwan-ilmuwan asal Tiongkok, Korsel, atau India. (Sapto Pradityo/dtc)