Oleh: Jan Roi A Sinaga
HOLLYWOOD memang seakan tidak pernah kehabisan ide untuk memproduksi film-fim berkualitas, film berjudul Bushwick yang rilis pada bulan Agustus 2017 yang lalu merupakan film yang layak untuk ditonton. Film bergenre Laga/Petualangan ini mengisahkan perang saudara yang terjadi di Amerika Serikat, New York City, dengan latar daerah Broklyn bagian utara, yang mereka sebut daerah Bushwick. Film karya sutradara Cary Murnion dan Jonathan Milott ini mengisahkan terjadinya kudeta di Amerika Serikat, dikarenakan adanya sekelompok elite politik yang tidak ingin pluralisme hidup berdampingan di negeri Paman Sam tersebut.
Dan Kota Broklyn di New York menjadi titik target lokasi kudeta, guna menarik perhatian dunia internasional, mengingat kota New York merupakan kota terbesar di Amerika, dan terdapat kantor-kantor lembaga internasional penting disana. Dibintangi oleh Dave Bautista dan Brittany Snow, film ini sukses memberi edukasi kepada kita, bagaimana mengerikannya, jika perang saudara itu terjadi ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang heterogen.
Suara tembakan, teriakan histeris, mayat yang bergelimpangan dijalan, menjadi sajian yang menggambarkan betapa menderitanya rakyat yang terpecah belah. Didalam film ini, Lucy (Brittany Snow) harus kehilangan pacarnya Jose, saat mereka akan keluar dari stasiun bawah tanah di Broklyn. Dan disaat ia dikejar sekelompok orang yang ingin memperkosa dan membunuhnya, saat itulah Stupe (Dave Bautista) hadir menolong. Mereka akhirnya bahu membahu bagaimana caranya bisa keluar dari daerah Bushwick yang dikudeta kelompok bersenjata, menuju DMZ (De Military Zone).
Diakhir, film ini tidak diceritakan apakah kudeta itu akhirnya gagal atau berhasil. Namun yang pasti, dua pemeran utama, yakni Stupe dan Lucy wafat saat perjalanan menuju zona militer Amerika Serikat. Lantas, apa pesan moralnya bagi kita? Bahwa disaat perpecahan itu sudah didepan mata, maka yang menderita adalah rakyat itu sendiri. Pihak pemangku kepentingan politik? Mungkin masih akan saling debat di meja perundingan, disaat rakyat sudah mulai sekarat akibat provokasi yang dikumandangkan.
Jaga erat persaudaraan!
Beberapa pekan yang lalu, 3 Gereja di Surabaya dan gerbang pemeriksaan Mapolresta Surabaya diserang Bom bunuh diri, serta sebuah kamar di Rusunawa Sidoarjo juga hancur karena bom. Semuanya karena ulah para teroris yang menginginkan kehancuran terjadi bagi bangsa kita ini. Korban jiwa berjatuhan, anak kehilangan orang tuanya, dan orang tua kehilangan anak-anaknya, serta puluhan korban luka berat dan ringan harus menderita karena ulah sekelompok oknum teroris yang mengaku berjuang dijalan Allah, pemikiran dan pemahaman yang keliru tentunya, yang pada akhirnya ikut membawa kesengsaraan bagi orang banyak.
Motif mereka (para teroris) jelas, yakni ingin membuat kehancuran yang memberi dampak ‘ketakutan’ bagi kita. Bahkan, tujuan utama mereka adalah memaksa kita yang sudah bahagia hidup dalam keberagaman, agar satu pemahaman dan aliran dengan mereka, dan dilakukan dengan cara-cara yang salah. Sehingga, segala cara dilakukan agar kita takut, segala upaya dilakukan agar kita terpecah. Dan disaat kita takut dan terpecah, disaat itu pulalah tujuan mereka tercapai.
Akan tetapi, sebagai bangsa yang besar dan merdeka dari perjuangan para pendahulu lewat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman, kita jelas tidak takut atau gentar sama sekali. Jelas bahwa kita memilih untuk tetap hidup berdampingan dalam keberagaman yang rukun, dan mengikrarkan untuk melawan teroris hingga keakar-akarnya, dan melawan mereka yang berusaha memecah belah kita.
Tidak bisa dipungkiri, selain teroris, kondisi perpolitikan bangsa pasca Pilpres 2014 yang lalu masih begitu panas hingga saat ini. Dua kubu seolah terpecah, ada yang pro pemerintahan, dan mereka yang bersuara lantang menggaungkan tagar ganti presiden. Dan situasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab, untuk memenuhi hasrat berkuasa semata. Seakan tidak perduli rakyat nantinya gontok-gontokan, saling bermusuhan, asal “mereka” bisa berkuasa. Siapa “mereka”? orang-orang yang buta sejarah dan buta pemahaman politik dalam artian sebenarnya, tetapi bermimpi menjadi penguasa. Sehingga, cara upaya apapun akan mereka lakukan, termasuk menciptakan chaos ditengah-tengah masyarakat, agar memiliki ’jalan’ untuk menyerang pemerintahan yang sah saat ini, dengan dalih kondisi yang tidak kondusif.
Lantas, maukah kita dijadikan “kelinci percobaan” pemuas nafsu politik busuk mereka? Pilihannya ada pada kita, berdiri pada kebenaran guna menjaga persatuan dan kesatuan, atau ikut ambil bagian dalam menciptakan riuh ributnya situasi bangsa kita, sehingga semakin tidak kondusif yang berujung perpecahan.
Tidak memandang profesi atau kedudukan, pendidikan atau pekerjaan, kita semua wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, agar apa yang terjadi dalam film Box Office Bushwick, hanyalah fiksi belaka yang tidak akan pernah menjadi kenyataan di negara kita.
Hal yang sangat disayangkan, disaat ada akademisi yang akhirnya terjerat UU ITE karena ikut serta dalam menciptkan suasana yang meresahkan ditengah-tengah masyarakat. Akademisi yang seharusnya memberikan “Pendidikan”, malah harus berurusan dengan hukum hanya karena ketidak piawaian dalam menjalankan perannya. Akademisi yang seharusnya teliti dan paham situasi yang ada, harus terjebak dalam permainan isu politik bangsa kita yang kian hari semakin menggila.
Lantas, kenapa kita harus ikut-ikutan gila hingga akhirnya mengorbankan segalanya? Profesi, jabatan, keluarga dan nama baik akhirnya harus pupus karena terperangkap dalam intrik para politisi !
Sebagai rakyat, saat ini sudah waktunya bagi kita untuk melek dalam memahami situasi perpolitikan yang ada. Mengingat 27 Juni nanti kita akan menghadapi Pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia, menghindarkan perbuatan dan sikap yang mengancam kesatuan dan persatuan warga adalah tanggungjawab kita semua. Meski suhu politik kian memanas, Rakyat harus bisa menjadi stabilizer situasi ditengah-tengah kehidupan kita yang heterogen ini. Jangan menjadi pemantik api keributan, hanya karena beda dukungan dan pilihan. Karena siapapun yang terpilih, akan memberikan dampak bagi kita. Oleh karena itu, daripada ikut ambil bagian menjadi biang perpecahan, lebih bijaksana jika kita ambil bagian menjadi “pendidik” bagaimana politik yang seharusnya.
Kita semua bertanggungjawab untuk menjaga keutuhan NKRI yang kita cintai ini. Dan kita patut berbangga hati, karena Indonesia bisa berdiri gagah didalam keberagaman yang rukun dan harmonis. Jangan ada perpecahan ditengah-tengah masyarakat, apalagi hanya karena beda pendapat dan pilihan. Dan jangan ada perpecahan diantara kita, hanya karena perbedaan suku, agama, dan warna kulit. Karena kita memang sudah ditakdirkan satu dalam Indonesia.
Kerjasama yang baik dari semua pihak, pemerintah, aparat keamanan, dan masyarakat-lah yang bisa tetap menjaga keutuhan dan mempererat persaudaraan di tengah-tengah kita. Menangkal ajaran radikalisme, menolak isu perpecahan, dan tidak terlibat dalam permainan kotor para politisi busuk, dan mempererat silaturahmi, adalah langkah bijak dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa kita tetap utuh. ***
Penulis, Pemerhati Sosial, Pendidikan, Politik