Love Story: Amudi Pasaribu & Holy Tan

Oleh: Bersihar Lubis

PEREMPUAN itu bernama Holy Tan. Ber­mata sipit. Berkulit putih. Wajahnya teduh. Matanya bening. Amudi Pasaribu terpana ketika pertama bersua. Dia langsung merasakan, perempuan dari Universitas Indonesia itulah yang telah “menu­suk” jan­tungnya. Pertemuan pertama saat jumpa mahasiswa asal Indonesia di Amerika Serikat membekas di hati Amudi.

Untuk sekadar bertandang ke Minneapolis, Minnesota, aduhai, harus menye­berangi perjalanan darat 855 kilometer dari West Lafayette melewati Chicago, Rock­ford, Madison hingga ke Minneapolis; mem­belah Negara Bagian Illinois dan Wisconsin. Pun, perbedaan West Lafayette dan Minneapolis sangat besar, tapi demi cinta Amudi terus maju.

Jika West Lafayette hanyalah kota kecil di sebelah barat Sungai Wabash di negara bagian Indiana yang jauh dari pandangan umum soal Amerika; metropolitan dan penuh hingar bingar, Minneapolis adalah kota terbesar di Negara Bagian Minnesota. Kota ini pun menempel dengan Saint Paul yang menjadi ibukota negara bagian tersebut.

Gedung-gedung di Minneapolis ber­ting­­kat tampil indah. Pun, keramaian tam­pak nyata di Ritz Theater, tepatnya di 345 Thirteenth Avenue Northeast. Sedangkan di Washington Avenue South, barisan toko yang rapat menampilkan papan reklame, orang-orang ramai berjalan di trotoar yang luas. Pun, St Peter Street, mobil-mobil tampak hilir mudik. Belum lagi aliran Sungai Mississippi yang memisahkan Min­neapolis dengan Saint Paul dan ten­tunya sang pencakar langit Foshay Tower, membuat kota itu menjadi sangat berbeda.

Pujaan hati itu memang di Minneapolis. Dia kuliah untuk meraih gelar Master Social Work (MSW) dari University of Minnesota. Adapun Amudi, mahasiswa  Fakultas Eko­nomi Universitas HKBP Nommensen meraih beasiswa dari Ford Foundation pada 1959 di  Purdue University di Kota West Lafa­yette, sebuah kota kecil dengan ruas jalan yang lebar.

Dia berangkat 1959 dan selesai pada 1963. Gelar MSc dan PhD ia raih hanya dalam empat tahun di kampus yang merupakan alma­mater Neil Armstrong — orang pertama yang menginjak permu­kaan bulan di misi Apollo 9. Kemudian, Amudi menjadi Rektor Universitas HKBP Nommensen 1980-1990 silam.

Tapi Amudi beruntung ikuti tour wisata yang dilakukan oleh mahasiswa asal Indonesia di Amerika Serikat. Ada Holy Tan dalam perjalanan itu.  

Kesempatan itu tentu tak disia-siakan Amudi. Tur ke ngarai terjal, yang dibelah oleh Sungai Colorado yang berkelok-kelok di Negara Bagian Arizona itu menjadi moment yang penting. Selain menikmati Grand Canyon dengan panjang mencapai 446 km, lebar hingga 29 km, dan keda­laman mencapai 1.800 m, Amudi terus merapat ke Holy Tan.

Apalagi, perjalanan ke Grand Canyon benar-benar memanjakan mata. Hamparan gurun luas dengan tebing tebing tinggi seolah menjadi makanan pembuka bagi sebuah makanan utama yang sangat lezat. Mereka juga mele­wati Hoover Dam yang mem­bendung Sungai Colorado. Bendu­ngan ini dibangun pada 1935 dianggap salah satu keajaiban teknologi di masa modern. Pun mereka ke Grand Canyon West, kawasan perlindungan bagi suku asli Amerika, yaitu Hualapai.

Terbuai dengan tebing-tebing tinggi berwarna cokelat keme­rahan dihiasi garis-garis lapisan batuan dengan hamparan Sungai Colorado yang berkelok-kelok. Sejauh mata memandang hanyalah gurun pasir, ngarai terjal, dan sungai yang tampak begitu kecil karena nun jauh di bawah sana.

Bukan Cinta Teenager

Rasa pun bersambung. Namun, persis dengan kelok Sungai Colorado itu, kasih Amudi pada Holy pun perlu perjuangan.

Terdapat kesalahan Amudi dalam tur itu. Mungkin, karena karakter anak Batak yang mele­dak-ledak disalahartikan oleh Holy. Amudi gelisah. Begitu mereka ber­pisah, Amudi resah di West Lafayette. Se­pucuk surat pun langsung dia kirimkan ke Holy.

Dear Holy. Saya harus meminta maaf kepada atas segala kesalahan yang saya buat selama perjalanan itu. Juga atas kekasaran-kekasaran dan ceplas-ceplos lidah saya dalam perjalanan yang singkat itu.

Amudi menulis surat itu tidak dengan tulisan tangannya, dia mengetiknya. Tapi, surat itu berefek baik. Holy jatuh cinta kepada Amudi. Usai surat itu, dalam kegamangan perasaan, Amudi mendapat balas yang cukup membahagiakan. Sebuah hadiah yang dikirim Holy saat dia ulang tahun ke 30 membuyarkan gelisah itu.

Masalahnya, ketika cinta bersambut, sang kekasih sudah harus kembali ke Indonesia. Segera dia kirim surat balasan ke Holy, tanpa diketik, tulisan tangannya yang rapi mewakili perasaan.

07 Desember 1961. Holy yang sangat kucintai. Saya tidak men­duga bahwa Holy akan memi­kirkan saya begitu sungguh sehingga sewaktu saya baru saja melang­kah dari pintu kamar saya pagi ini, saya melihat hadiah ulang tahun yang Holy kirimkan itu dengan terperanjat dan gembira.

Kira-kira dua jam sesudah itu saya dapat balas surat yang bertanggal 5 Desember. Di dalam surat itu saya hanya sanggup mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.

Bilakah Holy akan menjadi isteriku? Holy masih ingin tahu mengapa saya jatuh cinta? Yang pertama, kalau seorang pria melihat wanita adalah rupa kecantikan. Tapi rupa ini hanyalah bagai warna bagi bunga. Bagi bunga warna hanyalah gaya pemanis saja. Bagi sang kumbang warna itu tidak ada gunanya yang penting adalah madu yang terkandung di dalam bunga itu.

Tentu saja cinta kita bukan lagi cinta teenager. Bagi orang seperti saya ini, kecantikan itu dapat dibuat-buat dan akan cepat hilang. Tetapi tegur sapa yang manis, tindak tanduk yang halus dan sambutanmu dan caramu mengobati saya, itulah yang membuat hatiku laju mempercepat denyutan jantungku.

Holy. Saya cintai segala-galanya dari Holy, dan sudah memikirkan segala sesuatunya, yaitu waktu pertama kali saya bertemu dengan Holy, saya sudah tertarik.

Saya terus cari jalan keluar bertemu lagi yaitu dengan mengun­dangmu ke Creek, Canada itu. Sesudah saya pulang dari Creek, saya ke Chicago itu saya sudah yakin bahwa everything is oke.

Berhubung karena Holy tidak dapat bekerja lagi sesudah 31 Desember, datanglah secepat mungkin ke Lafayette. Rencana kita akan kita buat bersama di Lafayette dan pasti pikiranmu akan mulai tenang.  

Kalau mungkin datanglah sebelum New Years Day sehingga kita dapat bertahun baru bersama. Datanglah ke Lafayette.

Kalau Holy mesti pergi saya berharap Holy memberikan waktu sebanyak mungkin tinggal di Lafayette agar segala persoalanan yang harus diperbincangkan dapat dibin­cangkan dan rencana untuk tahun-tahun yang akan datang kita ten­tukan.

Holy ada kemungkinan saya akan pu­lang ke Medan pada Summer 1962. Saya sudah dimasukkan sebagai pengajar di Nom­mensen mulai pada tahun akademis 1962-1963. Saya akan coba agar saya di­be­ri izin tetap ditunggu sampai Januari 1963. Dan saat mana saya bisa menyele­saikan tesis saya.

Tetapi kalau saya tidak berhasil mem­bujuk Nommensen, saya usaha agar me­nyelesaikan sebanyak-banyaknya sebe­lum Juni 1963. Sehingga ketika saya harus pulang saya dapat menyelesaikan tugas di tanah air. Sekarang sudah jam 02.00 pagi. Peluk dan cium dari Amudi.

Akhirnya Menikah

Beberapa hari kemudian, 11 Desember 1961, tiba surat balasan Holy. Tidak seperti yang diinginkan Amudi. Dia berharap Holy akan panjang bercerita, ternyata tidak. Padahal, surat balasan itu sangat dia nantikan.

15 Desember 1961 Nona Holy yang sangat tercinta. Terima kasih banyak atas suratmu tanggal 11 Desember 1961. Saya memang menunggu-nunggunya. Kadang- kadang saya sampai tak sabar menunggu postman. Dan kalau tak ada surat untuk saya, saya sangat kecewa.

Saya kan sudah sering mengingatkan kepada Holy bahwa saya bukanlah orang yang luar biasa, saya sadar akan kekura­ngan kekurangan saya.

Yang dapat saya janjikan adalah saya akan berusaha sekuat-kuatnya dengan apa yang ada pada saya, di dalam batas-batas kuasa saya untuk membuat hidupmu baha­gia. Doa dan cintaku untukmu.

Surat-surat panjang dan komunikasi telepon antara Amudi dan Holy terus mengalir. Hatta, keduanya menikah pada 22 Januari 1962. Pernikahan yang seder­hana di sebuah gereja di West Lafayette. (Disarikan dari Buku Biografi Amudi Pasaribu: Pro Deo et Patria oleh Bersihar Lubis dkk (Berkata Press, 2016).***

Penulis adalah jurnalis berdomisili di Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi