Oleh: Roveny
Akhir-akhir ini aku sering mendapat kiriman umbi rumput yang dikemas apik dalam kotak kecil berhias pita hijau. Pagi-pagi buta, kala aku akan berangkat ke sekolah, bingkisan tersebut sudah ada. Dalam seminggu bisa dua atau tiga kali kiriman seperti itu tergeletak di teras depan tanpa ada nama pengirim atau kata pengantar, yang tercantum hanya namaku saja.
Aku tidak tahu siapa gerangan dalang di balik semua ini. Aku juga tidak mempunyai gambaran mengapa aku harus dikirimi umbi rumput, toh aku bukan peternak kambing atau sapi.
Pernah suatu kali aku sengaja menunggu di teras depan, berharap bisa memergoki orang iseng yang selalu mengirimiku benda tak berguna itu. Namun, kalau dinantikan sang pengirim tidak akan menampakkan batang hidungnya.
Pernah juga aku menunggu di balik pintu depan dengan tujuan agar ia tak menyadari keberadaanku. Waktu itu, kedua telinga kupasang baik-baik agar aku bisa segera muncul begitu mendengar kedatangan orang yang mengirim umbi rumput. Hingga matahari menampakkan diri, orang tersebut tidak jua muncul. Beberapa kali hal ini terjadi sehingga aku menjadi malas untuk menungguinya. Ia bak seorang peramal yang bisa menangkap setiap niat dan hal yang akan kulakukan.
Kurasa aku sudah mengoleksi sekitar lima belas kotak umbi rumput di sudut kamar. Sebagian di antaranya sudah busuk dan berjamur. Sebagian yang lain justru mulai mengeluarkan tunas-tunas kecil meski tak pernah kugubris.
Jujur saja, aku bingung harus diapakan umbi rumput tersebut. Bagaimana pun itu pemberian orang. Kata mama, kita harus menghargai setiap pemberian orang tanpa memandang harga dan nilainya. Namun, apa prinsip itu berlaku dalam kasusku?
”Dapat kiriman lagi, ya?” pertanyaan Keisya membangkitkanku dari alam khayal.
”Kok bisa tahu?”
Keisya tertawa renyah seraya menepuk keras bahuku.
”Oalah, Citra! Aku hafal betul, cuma kiriman itu yang bisa buat kamu melongo seperti ini,” akunya sambil terus tertawa.
Aku tersenyum kecut. Keisya tahu mengenai umbi rumput yang singgah di teras rumahku. Ia menduga bahwa pengirimnya mungkin pengagum misterius, seseorang yang menyukaiku, atau bahkan orang yang hendak menerorku. Aku sendiri merasa orang itu ingin mengungkapkan sesuatu lewat bingkisan aneh yang tak lazim itu. Tak mungkin ia bercapek-capek meletakkan kado itu di depan rumah jika tidak ada makna di balik semua. Ah, tidak tahulah!
”Tapi Cit, jangan-jangan umbi rumput itu mengantarkan guna-guna,” Keisya mencambuk keras sisi penakut dalam diriku.
”Guna-guna? Guna-guna bagaimana? Jangan mengada-ada!”
”Bisa saja. Kamu kira ilmu pelet atau guna-guna cuma bisa lewat boneka? Ini zaman sudah canggih, Non. Ilmu pelet juga makin canggih kali, bisa lewat umbi rumput,” dia terbahak-bahak.
Aku menatap Keisya. Ucapannya yang setengah bergurau tengah kupikirkan dan kucerna.
”Mungkin lebih baik kaukatakan pada mamamu, Cit. Aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu,” lanjut Keisya.
”Aku nggak mau membuat mereka cemas, Kei.”
* * *
”Ada apa, Cit? Kok diam saja dari tadi? Kau dihukum, ya, karena nggak buat PR? Atau kau dihukum gara-gara menggosip di kelas, ya?” goda Reyhan saat dalam perjalanan pulang dari sekolah. Tumben sekali Reyhan menjemputku, biasanya pada jam-jam seperti ini ia sedang sibuk dengan kuliah dan aku harus pulang sendiri dengan busway.
Aku hanya menghadirkan seulas senyum hambar menanggapi pertanyaannya. Reyhan adalah abang sepupuku yang berasal dari Medan. Sudah hampir empat tahun ia tinggal bersama kami karena menjalani perkuliahan di Jakarta. Aku sangat akrab dengannya, sering main dan keluar bersama. Meski terpaut lima tahun tetapi sedari kecil aku tak pernah memanggilnya dengan sapaan ’bang’, ’kak’, apalagi ’mas’.
Sekarang ia sedang menunggu untuk bisa diwisuda. Sebentar lagi ia akan kembali ke Medan. Kupastikan aku akan sangat merindukannya. Kujamin pula nilai-nilaiku bakal merosot karena tak ada Reyhan yang membantuku belajar.
Aku pernah meminta Reyhan untuk tetap tinggal di Jakarta. Namun, ia mengatakan bahwa dia harus kembali ke Medan dengan berbagai alasan, mulai dari keluarga hingga kekasih. Sudah pasti aku kalah penting dibanding dengan Fiana, calon istrinya. Padahal, aku juga membutuhkan Reyhan untuk menemani dan mengobati kesepian mengingat aku putri tunggal dengan dua orangtua yang sangat sibuk. Namun, aku sadar aku tak boleh egois.
”Cit, kau kenapa?”
Awalnya aku berniat menceritakan masalah umbi rumput yang membuat hatiku terganjal tetapi setelah dipikir-pikir mungkin lebih baik Reyhan tak tahu. Reyhan selalu berusaha melindungiku. Aku hanya tak mau Reyhan jadi khawatir atau bahkan membuat perhitungan dengan pengirim umbi rumput itu. Toh saat Dave me-missed call terus-menerus sehingga membuatku tak nyaman saja Reyhan melabrak dan memarahinya habis-habisan.
”Cit?”
”Aku cuma agak capek, tadi ada pelajaran olahraga.”
Reyhan menatap nanar ke mataku. Ia seakan ingin berbicara padaku lewat tatapan itu. Aku menunduk sambil tersenyum kecil setelah beberapa saat pandangan kami beradu.
”Beneran hanya capek?” selidiknya lagi seolah mengetahui perasaanku.
”Iya. Sudah, jangan cerewet lagi! Nyetir yang benar, sana! Eh, tumben menjemputku?” aku mengalihkan pembicaraan.
”Sudah mau sidang jadi waktu kosongku lebih banyak.”
* * *
Bersambung Minggu depan