Umbi Rumput (1)

Oleh: Roveny

Akhir-akhir ini aku sering mendapat kiriman umbi rumput yang dikemas apik dalam kotak kecil berhias pita hijau. Pagi-pagi buta, kala aku akan berangkat ke sekolah, bingkisan tersebut sudah ada. Dalam seminggu bisa dua atau tiga kali kiriman seperti itu tergeletak di teras depan tanpa ada nama pengirim atau kata pengantar, yang tercantum hanya namaku saja.

Aku tidak tahu siapa gerangan dalang di balik semua ini. Aku juga tidak mempunyai gambaran mengapa aku harus dikirimi umbi rumput, toh aku bukan peternak kambing atau sapi.

Pernah suatu kali aku sengaja menunggu di teras depan, berharap bisa memergoki orang iseng  yang selalu mengirimiku benda tak berguna itu. Namun, kalau dinantikan sang pengirim tidak akan menampakkan batang hidungnya.

Pernah juga aku menunggu di balik pintu depan dengan tujuan agar ia tak menyadari keberadaanku. Waktu itu, kedua telinga kupasang baik-baik agar aku bisa segera muncul begitu men­dengar kedatangan orang yang mengi­rim umbi rumput. Hingga matahari menampakkan diri, orang tersebut tidak jua muncul. Beberapa kali hal ini terjadi sehingga aku menjadi malas untuk menungguinya. Ia bak seorang peramal yang bisa menangkap setiap niat dan hal yang akan kulakukan.

Kurasa aku sudah mengoleksi sekitar lima belas kotak umbi rumput di sudut kamar. Sebagian di antaranya sudah bu­suk dan berjamur. Sebagian yang lain justru mulai mengeluarkan tunas-tunas kecil meski tak pernah kugubris.

Jujur saja, aku bingung harus dia­pakan umbi rumput tersebut. Bagai­mana pun itu pemberian orang. Kata mama, kita harus menghargai setiap pemberian orang tanpa meman­dang harga dan nilainya. Namun, apa prinsip itu berlaku dalam kasusku?

”Dapat kiriman lagi, ya?” pertanyaan Keisya membangkitkanku dari alam khayal.

”Kok bisa tahu?”

Keisya tertawa renyah seraya menepuk keras bahuku.

”Oalah, Citra! Aku hafal betul, cuma kiriman itu yang bisa buat kamu melongo seperti ini,” akunya sambil terus tertawa.

Aku tersenyum kecut. Keisya tahu mengenai umbi rumput yang singgah di teras rumahku. Ia menduga bahwa pengirimnya mungkin pengagum mis­terius, seseorang yang menyukaiku, atau bahkan orang yang hendak menerorku. Aku sendiri merasa orang itu ingin me­ngung­kapkan sesuatu lewat bingki­san aneh yang tak lazim itu. Tak mungkin ia bercapek-capek meletakkan kado itu di depan rumah jika tidak ada makna di balik semua. Ah, tidak tahulah!

”Tapi Cit, jangan-jangan umbi rum­put itu mengantarkan guna-guna,” Keisya mencambuk keras sisi penakut dalam diriku.

”Guna-guna? Guna-guna bagai­mana? Jangan mengada-ada!”

”Bisa saja. Kamu kira ilmu pelet atau guna-guna cuma  bisa lewat boneka? Ini zaman sudah canggih, Non. Ilmu pelet juga makin canggih kali, bisa lewat umbi rumput,” dia terbahak-bahak.

Aku menatap Keisya. Ucapannya yang setengah bergurau tengah kupikir­kan dan kucerna.

”Mungkin lebih baik kaukatakan pada mamamu, Cit. Aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu,” lanjut Keisya.

”Aku nggak mau membuat mereka cemas, Kei.”

* * *

”Ada apa, Cit? Kok diam saja dari tadi? Kau dihukum, ya, karena nggak buat PR? Atau kau dihukum gara-gara menggosip di kelas, ya?” goda Reyhan saat dalam perjalanan pulang dari seko­lah. Tumben sekali Reyhan menjem­putku, biasanya pada jam-jam seperti ini ia sedang sibuk dengan kuliah dan aku harus pulang sendiri dengan busway.

Aku hanya menghadirkan seulas senyum hambar menanggapi perta­nyaan­nya. Reyhan adalah abang sepupuku yang berasal dari Medan. Sudah hampir empat tahun ia tinggal bersama kami karena menjalani perku­lia­han di Jakarta. Aku sangat akrab dengannya, sering main dan keluar bersama. Meski terpaut lima tahun tetapi sedari kecil aku tak pernah memang­gilnya dengan sapaan ’bang’, ’kak’, apalagi ’mas’.

Sekarang ia sedang menunggu untuk bisa diwisuda. Sebentar lagi ia akan kembali ke Medan. Kupastikan aku akan sangat merindukannya. Kujamin pula nilai-nilaiku bakal merosot karena tak ada Reyhan yang membantuku belajar.

Aku pernah meminta Reyhan untuk tetap tinggal di Jakarta. Namun, ia mengatakan bahwa dia harus kembali ke Medan dengan berbagai alasan, mulai dari keluarga hingga kekasih. Sudah pasti aku kalah penting dibanding dengan Fiana, calon istrinya. Padahal, aku juga membutuhkan Reyhan untuk menemani dan mengobati kesepian mengingat aku putri tunggal dengan dua orangtua yang sangat sibuk. Namun, aku sadar aku tak boleh egois.

”Cit, kau kenapa?”

Awalnya aku berniat menceritakan masalah umbi rumput yang membuat hatiku terganjal tetapi setelah dipikir-pikir mungkin lebih baik Reyhan tak tahu. Reyhan selalu berusaha melindu­ngiku. Aku hanya tak mau Reyhan jadi khawatir atau bahkan membuat perhi­tungan dengan pengirim umbi rumput itu. Toh saat Dave me-missed call­ terus-menerus sehingga membuatku tak nyaman saja Reyhan melabrak dan me­ma­rahinya habis-habisan.

”Cit?”

”Aku cuma agak capek, tadi ada pelajaran olahraga.”

Reyhan menatap nanar ke mataku. Ia seakan ingin berbicara padaku lewat tatapan itu. Aku menunduk sambil ter­senyum kecil setelah beberapa saat pandangan kami beradu.

”Beneran hanya capek?” selidiknya lagi seolah mengetahui perasaanku.

”Iya. Sudah, jangan cerewet lagi! Nye­tir yang benar, sana! Eh, tumben menjemputku?” aku mengalihkan pembicaraan.

”Sudah mau sidang jadi waktu kosongku lebih banyak.”

* * *

Bersambung Minggu depan

()

Baca Juga

Rekomendasi