Narkoba Menyelinap ke Pesantren

Oleh: Multajimah MA

MANTAN Menteri Sosial Ibu Khofifah Indar Parawansa mengingatkan agar pondok pesantren berhati-hati terhadap bahaya narkoba yang masuk ke pesantren dalam bentuk vitamin. Ia mengatakan, saat ini narkoba masuk dan dikenal­kan ke pesantren dalam bentuk lain yakni berupa vitamin yang bisa memberi kekuatan untuk berdzikir. Bahkan diper­kuat lagi oleh Komjen Pol Budi Waseso mantan Ketua BNN me­nyatakan bahwa narkoba sudah masuk ke kalangan santri di pondok pesantren di daerah Jawa Timur. Para santri berdzikir dari pagi ke pagi dengan memakai ekstasi. Bukan hanya santri, kyainya pun memakai narkoba. BNN mene­mukan ada pihak-pihak tertentu yang lebih maju menggu­nakan metode memasukan narkoba ke lingkungan pondok pesantren. Narkoba yang dilarang oleh negara di kamuflase sebagai obat kuat agar para santri bisa lebih lama berzikir. Kyai dan santri pun banyak yang tertipu oleh para bandar narkotika hingga menganggap ekstasi adalah vitamin. Setelah dicoba berulang kali, akhirnya pengguna tersebut menjadi ketagihan.

Indonesia sudah darurat narkoba, di tahun 2015 saja uang rakyat yang dibelanjakan narkoba mencapai Rp 63 triliun,” kata Ibu Khofifah. Menurutnya, Indonesia sudah darurat narkoba, karena setiap hari sekitar 40 sampai 50 orang meninggal dunia karena narkoba. “Coba kalau uang sebesar itu dibangun Mesjid, Madrasah dan Pesantren di Banten maka pendidikan kita akan hebat. Idealnya para santri di pesantren adalah produk peradaban dan gene­rasi harapan bangsa mereka yang berilmu, cerdas, kuat, dan berdaya saing tinggi, untuk menjalani berba­gai profesi, menyambut estapet ke­pe­mimpinan, dan menyongsong masa depan yang gemillang dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk me­menuhi harapan tersebut, para orang tua, di desa dan di kota, yang kaya dan yang miskin, rela mengorbankan harta benda demi mendukung pendidikan mereka. Dan secara normatif para pendidik (Guru, Kiyai, Ustadz) bekerja keras de­ngan penuh dedikasi untuk memba­ngun karakter dan membekali mereka dengan ilmu pengetahuan dan ketrampilan. Tetapi kenyataan tidak selalu sejalan dengan keinginan,

Memang sangat ironis, tatkala pondok pesantren yang selama ini telah nyata-nyata membantu peme­rintah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa serta telah mena­warkan jenis pendidikan alternatif bagi pengembangan pendidikan nasional yang mampu menjembatani kebutuhan fisik (jasmani) dan kebutuhan mental-spiritual (rohani), akhirnya berhasil juga “dijebol” oleh para bandar narkotika. Jika hal itu benar adanya, para masyayikh dan para kyai menangis melihat ini semua. Dalam nuansa persoalan seperti itu, kita perlu mencermati merespon atas penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat adi­tip lainnya. Dari peng­amatan atas berbagai kampanye yang hanya bersifat reaktif dalam bentuk slogan, sebagaimana yang sangat gencar dilakukan selama ini, tidak akan menyentuh kesadaran mereka, karena fenomena penyalahgunaan narkoba tidak hanya persoalan kri­mi­nal, tetapi yang jauh lebih besar adalah persoalan kesadaran akan bahaya narkoba terutama di kala­ngan Santri, Kyai dan Pondok Pesantren itu sendiri.

Banyak diantara mereka yang tidak hanya mengorbankan pendi­dikan, tetapi juga harus merelakan masa depan mereka ditelan zaman, karena menjadi pecandu acute yang meng­alami kerusakan fisik, mental, dan kejiwaan yang sulit di­sem­buhkan. Mereka tidak hanya menge­­cewakan diri sen­diri, tetapi juga mengecewakan orang-orang yang mencintai mereka, terutama orang tua, saudara-saudara dan guru-guru mereka. Mereka juga mengecewakan nusa, bangsa, dan agama, karena keberadaan mereka menjadi beban dan membawa pengaruh negatif terhadap situasi kehidupan masyarakat lingkungannya. Ba­nyak pelajar yang malas belajar dan terlibat dalam berbagai kasus penyalahgunaan Narkoba, baik sebagai pengguna maupun pengedar.

Para santri mengetahui narkoba rata-rata sejak duduk di bangku Tsanawiyah dan mereka mengetahui bahwa narkoba itu tidak baik buat kesehatan, kemudian mendekatinya de­ngan macam variasi, mulai dari penasaran, membuat kepercayaan diri lebih tinggi, permasalahan pribadi misalnya kekasih ataupun keluarga individu tersebut, sehingga mereka memutuskan mengkonsumsi narkoba berdasarkan data variasi di atas. Rata-rata mereka mendapatkan narkoba itu dari teman dekat karena menurut informan barang tersebut sangat rahasia. Hubungan kiai-santri yang agak renggang, karena kesibukan kiai dan sebagainya, perlu dirajut dan dieratkan kembali secara lebih intensif. Kiai dan stake holder lainnya, kini memiliki tanggung jawab baru untuk memantau perkemba­ngan para santrinya secara serius. Baik perkembangan pendidikan, pergaulan, moralitas atau tingkah laku. Dengan pantauan ini, diharapkan penyimpangan-penyimpangan dapat terhindarkan. Pesantren pun betul-betul berjalan sesuai fungsi­nya, yaitu membentuk jiwa-jiwa religius

Keterkaitan erat antara narkoba dengan merokok, maka tidak ada alasan sedikitpun untuk mentolerir para santri mela­kukan secara bebas. Diakui memang, keharaman merokok masih debatable. Sebagian ulama melarang dan sebagian lain membolehkan. Yang pasti, dalil keharaman merokok tidak pernah ditemukan dalam doktrin Islam. Kendati demikian, pintu apa­pun yang (diduga) akan mengantarkan pada narkoba, maka seharusnya ia ditutup rapat-rapat. Dalam tradisi pesantren, dikenal adagium amrun bi al-syai amrun bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan perantaranya). Jika narkoba harus dihindari, maka perantara yang akan mengantarkan padanya juga harus dihindari. Jadi jika rokok diyakini sebagai pintu masuk pada narkoba, maka rokok juga harus dihindari. Ini logika sederhana para santri, yang biasa disebut sadd al-dzari’ah (menutup pintu terjadinya kerusak­an).

Studi yang dilakukan Muhtar (2011) memperlihatkan, di Pesan­tren Inabah Surabaya terdapat 38 korban ketergan­tungan/ penyalahgunaan Narkoba yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Umur mereka bervariasi, dari remaja awal sampai dengan dewasa akhir. Terapi yang dilakukan menggunakan pendekatan spiritual Islami, de­ngan penge­depanan aspek ibadah (berhubungan dengan Allah) untuk memperoleh bimbingan, petunjuk, dan Ridho-Nya dengan melakukan sebanyak-banyaknya: shalat, doa, zikir, puasa, dan aktivitas keaga­maan lainnya. Menurut Darajat (1970: 14), setiap tindakan atau aktivitas keagamaan membawa pe­ngaruh terhadap kesadaran beragama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience) pada diri seseorang. Kesadaran agama adalah bagian dari segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah).

Penemuan kembali jati diri, harga diri, dan rasa percaya diri korban penyalahgunaan/ ketergantungan melalui pen­dekatan spiritual keaga­maan secara Islami dalam rehabilitasi sosial di Pesantren Inabah Surabaya tersebut, secara teoritis sebagaimana dikemukakan Darajat (1970), yaitu bahwa setiap tindakan atau aktivitas keagamaan membawa peng­aruh terhadap kesadaran beragama (religious consciousness) dan pengalaman agama (religious experience) pada diri seseorang. Kesadaran agama adalah bagian dari segi agama yang hadir (terasa) dalam pikiran dan dapat diuji melalui introspeksi, atau dapat dikatakan bahwa ia adalah aspek mental dari aktivitas agama. Sedangkan pengalaman agama adalah unsur perasaan dalam kesadaran beragama, yaitu perasaan yang membawa kepada keyakinan yang dihasilkan oleh tindakan (amaliyah). Selaras dengan pendapat itu, menurut Najati (2006), petunjuk Allah SWT. dan tuntunan Nabi SAW. mempunyai kekuatan rohani yang tinggi, yang dapat mempengaruhi posisi sese­orang. Ia dapat menggetar­kan hati sanubari, menajamkan sensitivitas dan perasaan, memurnikan rohani, dan mempertajam hati. Orang yang terkena.***

Penulis adalah Dosen STAIS TTD & UIN SU

()

Baca Juga

Rekomendasi