Oleh: Jones Gultom
Sejumlah upaya dilakukan untuk mencari para korban KM Sinar Bangun. Mulai dari pencarian secara manual oleh ribuan personal tim terpadu, penggunaan alat teknologi, sampai dengan menggunakan cara-cara kebudayaan.
Seperti yang baru-baru ini berlangsung, sejumlah tokoh adat di Simalungun dan Samosir menggelar ritus “mangelek”, yakni memohon kepada yang bertuah di Danau Toba. Dalam situasi ini segala upaya itu akan terasa wajar. Sama halnya ketika mengobati orang yang sakit. Berbagai konsep penyembuhan akan ditempuh demi memulihkan si sakit.
Dalam konteks Danau Toba, jalan budaya yang dilakukan itu boleh dibilang satu upaya pemulihan hubungan manusia dengan alam (Danau Toba). Menyambungkan kembali interaksi manusia dengan alam yang belakangan kurang harmonis, merupakan refleksi bersama yang terus disuarakan para pegiat ekokultur.
Kita harus menghormati ritus itu sebagai keyakinan masing-masing orang apalagi secara kultur keyakinan itu adalah bagian dari kearifan lokal. Ada unsur logis di balik semua itu. Pembahasan tentang itu akan dibahas tersendiri di luar tulisan ini.
Berinteraksi dengan alam, memiliki makna mengenali dan menikmati keindahan alam untuk kemudian tergerak untuk melindungi bumi. Dengan tema ini, manusia diingatkan bahwa dirinya bergantung pada alam.
Dengan tema ini pula kita diharapkan dapat menemukan cara menarik dan menyenangkan dalam merasakan dan menghargai hubungan antara manusia dengan alam. Setiap orang dapat menjawab panggilan untuk ‘berhubungan dengan alam’, berinteraksi, mengenali, dan menikmati keindahan dan kekayaan alam di sekitarnya.
Sebagai bagian dari lingkungan, manusia adalah makhluk yang paling bertanggungjawab terhadap kelestarian lingkungan hidup. Apalagi sebagian besar kerusakan lingkungan itu disebabkan oleh ulah manusia. Dengan kata lain, manusia harus memulihkan kembali interaksinya dengan lingkungan itu sendiri. Salah satunya dimulai dengan mengubah cara pikir dan perilakunya terhadap lingkungan.
Di masa lalu, khususnya oleh masyarakat tradisional, interaksi manusia itu terikat oleh aturan-aturan yang kemudian dikenal sebagai satu kebudayaan. Demikian juga masyarakat nusantara. Aturan-aturan itu pada hakekatnya bertujuan itu untuk menciptakan keharmonisan.
Aturan-aturan yang mengatur cara hidup manusia agar bisa sejalan dengan alam melekat dalam nilai-nilai ketradisian, menjadi acuan sehari-hari. Jika ditelusuri, nilai-nilai penghormatan akan alam itu dapat ditemui di hampir setiap suku bangsa di Indonesia.
Pada dasarnya, nilai-nilai itu mengerucut pada dimensi spiritualitas yang menjadi dasar terbentuknya kebudayaan itu. Karena digerakkan oleh spiritualitas itulah, maka nilai-nilai itu bersifat holistik dan saling bersinerji dengan dimensi-dimensi lain. Antara lain pada adat, sosial, politik dan hukum yang mereka yakin dan patuhi. Namun pergeseran nilai dan cara hidup manusia telah membuat hubungan itu rusak. Interaksi manusia dengan lingkungan menjadi terganggu.
Mengutip pendapat Darwin, lingkungan tak lagi dipandang sebagai makhluk hidup yang harus dipenuhi kebutuhannya. Bahkan juga tak dilihat sebagai bagian penting yang mengatur kelangsungan kehidupan itu sendiri. Sebaliknya, alam hanyalah faktor pendukung demi keberlangsungan hidup manusia yang dalam istilah Marx merupakan sumber produksi.
Karena manusia mendapatkan unsur-unsur yang diperlukan dalam hidupnya dari alam, maka eksploitasi terhadapnya mutlak dilakukan. Apalagi semakin tinggi kebudayaan manusia, makin beragam pula kebutuhan hidupnya. Pergeseran nilai-nilai itu berlangsung dengan cepat. Tidak hanya terhadap fisik alam itu sendiri, tetapi juga integritas manusia.
Disharmoni
Sekarang yang terjadi adalah adanya disharmoni antara manusia dengan lingkungan. Salah satunya dikarenakan manusia menjadi kehilangan cara untuk mempraktikkan nilai-nilai budayanya itu karena lingkungan yang menjadi sumber pengetahuan dan inspirasi itu telah musnah. Karenanya manusia menjadi makhluk yang terlunta-lunta dengan nilai-nilai yang dianutnya sendiri.
Dampak tersebut membuat hubungan manusia dan lingkungannya menjadi disharmoni. Keduanya tak lagi saling memberi dan menerima. Relasinya justru terbalik, saling merampas satu sama lain. Keadaan inilah yang tengah kita alami. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya kini kita mengalami fase di mana manusia dan lingkungan sudah saling bermusuhan. Meski sesungguhnya alam tidak pernah memberikan sesuatu yang buruk pada manusia. Apa yang diperoleh manusia tak lain adalah dampak dari apa yang dilakukan manusia itu sendiri kepada alamnya.
Untuk itu salah satu cara memulihkan kembali hubungan manusia dengan lingkungan dapat dilakukan dengan pendekatan budaya. Penghormatan akan alam itu dapat ditemui di hampir setiap suku bangsa di Indonesia. Pada dasarnya, nilai-nilai itu mengerucut pada dimensi spiritualitas yang menjadi dasar terbentuknya kebudayaan itu. Karena digerakkan oleh spiritualitas itulah, maka nilai-nilai itu bersifat holistik dan saling bersinerji dengan dimensi-dimensi lain..
Sekadar contoh, praktik memberikan sesaji sebagaimana yang biasa dilakukan masyarakat tradisi tidak ada kaitannya dengan dunia klenik. Melainkan sebagai aktualisasi dan ekspresi manusia terhadap lingkungannya. Sesaji itu menjadi media yang mengikat batin manusia dengan lingkungan. Dengan kata lain sebagai bentuk interaksi jiwa mereka kepada lingkungan tempat mereka hidup. Banyak nilai-nilai budaya yang sarat ekologis yang sekarang ini terancam punah.
(Penulis adalah pegiat Ekokultur)