Oleh: Moh.Nurul Huda
PESATNYA perkembangan teknologi dan informasi menyebabkan gejala baru terhadap pola kehidupan manusia. Gejala demikian secara seksama memberikan kekhawatiran yang mendalam terhadap seluruh dampak yang dimiliki. Meski tak bisa dipungkiri bahwa pesatnya perkembangan itu juga berkontribusi terhadap dekatnya jarak dan kepraktisan dalam meniti beragam hal. Namun dampak yang kentara dari dimensi digital juga memberikan candu pada “generasi setelahnya.” Beranjak dari kenyataan itulah, Marc Prensky membagi dua generasi menjadi generasi digital immigrants dan digital native.
Istilah digital immigrants yang disebutkan oleh Marc Prensky didefinisikan sebagai generasi yang lahir sebelum tahun 1990-an. Generasi inilah yang ketika lahir belum bertemu dengan teknologi. Bertolak belakang dengan generasi native, Marc mendefinisikan istilah demikian sebagai generasi yang lahir mulai tahun 2000-an. Yang tentu saja sejak lahir teknologi sudah berada di sekitarnya. Lepas dari klasifikasi demikian, seperti yang telah disebut dimuka, bahwa pertumbuhan teknologi sampai saat ini, secara sadar telah memberikan candu kepada generasi digital.
Shin Yee-Jin penulis buku “Mendidik Anak di Era Digital” menjelaskan secara lugas tentang candu yang dimiliki oleh generasi demikian. Candu itu ialah ketergantungan yang dimiliki oleh generasi native terhadap kehidupan dunia maya, hingga berdampak pada pola disiplin dan kontrol diri pada setiap jiwa. Inilah sesungguhnya permasalahan lama yang tak kunjung mereda tentang kekhawatiran kekuatan teknologi yang tak bisa dibendung hingga memberikan efek “globalphobia.” Terlepas dari konteks demikian, harus diakui bahwa perkembangan teknologi dan informasi khususnya di Indonesia memberikan asupan yang sangat berarti bagi kebutuhan segalanya.
Bahkan lebih jauh dari itu, salah satu tiang pancang penanda kemajuan zaman yang kita sebut dengan istilah internet sangat berkontribusi bagi dunia pendidikan, informasi, komunikasi dan lain sebagainya. Itulah mengapa, bola dunia tampak terasa sempit dan dunia bagai tak berjarak. Sebab semua kehidupan nyata mulai terasa dekat, meski itu berada di dunia maya. Pun bagi generasi immigrants, sesungguhnya hal yang tampak seperti itu menjadi kemewahan dan sangat membantu dalam menjalankan beragam hal termasuk bisnis dan kebutuhan lainnya.
Namun hal demikian berbanding terbalik dengan generasi native. Kebanyakan generasi native secara seksama justru banyak menyalahgunakan kelebihan teknologi. Tengoklah generasi saat ini yang sedikit banyak bermain gadget dan bahkan media sosial. Maka kebanyakan generasi tersebut justru tak menggunakan fasilitas yang diberikan dengan sesuai kebutuhan, namun justru bisa dikatakan berlebihan. Lebih jauh dari itu, telah banyak kita lihat tentang banyaknya anak- anak yang bahkan separuh hidupnya digunakan untuk bermain gadget dan menelusuri dunia maya, tanpa menghiraukan ceramah dan perintah orang tuanya.
Dampak-dampak demikian tentu saja tak mengapa tatkala kehidupan yang seperti itu digunakan untuk menambah wawasan dan literasi media semata. Hanya saja, tentu hal demikian sangat berbahaya bila digunakan dengan sebaliknya. Melihat kenyataan tersebut, maka cukup mafhum tentang Peringatan Neil Postman pada tahun 1992 lalu. Dalam buku “Technopoly; The Surrendur Of Culture to Technology” Postman mengatakan bahwa “jika para pelajar mendapatkan pengajaran cukup tentang sejarah, efek sosial, dan dampak psikologis dari teknologi, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang mengetahui bagaimana menggunakan teknologi dan bukan sebaliknya, generasi yang diperbudak teknologi.”
Beranjak dari ungkapan Neil Postman demikian, sudah selayaknya itu menjadi tamparan keras bagi kehidupan kita khususnya. Sebab mau diakui atau dipungkiri, kurangnya pengajaran dan wawasan tentang dampak baik dan buruk teknologi menjadikan perbudakan teknologi dewasa ini sudah berada pada setiap lini. Dan itulah mengapa, para petinggi Google, Yahoo, Apple, dan bidang TI lainnya yang berada di Silicon Valley Amerika menyekolahkan anak mereka ke Waldorf—sekolah yang tidak menyediakan fasilitas komputer. Senada dengan itu, di Perancis anak-anak SD dan SMP juga dilarang keras untuk menggunakan ponsel. Begitupun di Jerman dan Finlandia, anak-anak sangat dibatasi dalam mengoperasikan gadget (Red: Mendidik Anak di Era Digital).
Melihat kenyataan yang demikian parahnya, sesungguhnya perlu kita gaungkan semangat untuk literasi media. Memang dalam beragam hal, literasi media ini sudah menjadi wacana sejak lama. Hanya saja, pengaplikasiannya baru bersifat sementara dan hanya menyentuh di muka.
Diperlukan implementasi yang lebih sempurna agar rekonsiliasi media menjadi perihal yang bersahabat dan menguntungkan seluruh kalangan. Dalam konteks ini, perlu kita meniru negara Kanguru. Seperti yang telah dipraktikkan di sana, literasi media menjadi bagian paling kentara pada setiap kurikulum sekolahan. Karena itulah sedari dini anak-anak diajari beragam hal tentang dampak baik dan buruk teknologi, begitupun cara mengakses teknologi yang sehat dan bermartabat.
Tak hanya sampai disitu, peran dari orang tua untuk mengontrol setiap anaknya juga sangat penting, agar anak mengetahui secara jernih fungsi teknologi sehingga tak digunakan sesukanya. Pun demikian, pengontrolan ini juga bisa digunakan sebagai edukasi kepada anak- anak agar mengetahui pentingnya berteknologi. Selain itu, hal ini juga mengajarkan kepada generasi digital supaya tak terjebak pada informasi-informasi yang mengarah pada ujaran kebencian, terorisme, dan perihal buruk lainnya. Dan selanjutnya, ini merupakan kebutuhan yang sangat penting dan harus dijaga, sebab mereka adalah generasi penerus bangsa. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
***
Penulis adalah pengajar di Rumah Perkaderan Monash Institute dan Alumnus Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang