Memperbaiki PPDB Online dan Zonasi Sekolah

Oleh: Risya Pramana Situmorang

Seperti tahun-tahun yang lalu, proses penerimaan siswa baru sudah menggunakan Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) online. Tahun ajaran baru periode 2018/2019 ini pun diselenggarakan dengan cara yang sama yaitu pendaftaran, se­leksi calon siswa baru, pengumuman hasil seleksi dan proses pendaftaran ulang. Tujuan utama dari penyelenggaraan PPDB online adalah untuk menghadirkan penerimaan peserta didik baru yang bersifat terbuka, non-nepotisme, aksesibilitas dan adil.

Tiap tahapan dalam penerimaan peserta didik baru meru­pakan proses yang penting untuk dihadapi oleh para siswa. Hal ini disebabkan karena proses seleksi yang diikuti oleh sis­wa akan menentukan hak untuk bisa belajar di sekolah yang diinginkan. Sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 31 ayat (1) bahwa setiap warga negara berhak menda­patkan pen­didikan.

Berdasarkan data PPDB Sumut 2018, terdapat 1535 sekolah menengah yang terdiri dari SMA dan SMK yang me­nye­leng­ga­rakan PPDB. Jadwal pendaftaran secara online akan di­selenggarakan pada tanggal 25-30 Juli 2018. Namun di luar pen­­daftaran online, pemerintah provinsi juga membuka pen­daftaran offline yang dilakukan pada tanggal 2 sampai 4 Juli 2018.

Masalah Penerimaan

Dalam praktek di lapangan, banyak permasalahan yang dite­mui dari PPDB. Antusias siswa terhadap sekolah unggul me­nempatkan sekolah-sekolah dengan jargon sekolah favorit. Kondisi ini se­pertinya terjadi di banyak wilayah. Dampaknya, banyak siswa-siswa pintar dan punya nilai UN tinggi berdu­yun-duyun mendaftar ke sekolah favorit. Jika kalah seleksi, akan mencari sekolah alternatif yang "levelnya" lebih di bawah. Keadaan seperti ini yang menjadikan proses seleksi peserta didik rawan akan diskriminasi.

Permasalahan dalam seleksi calon sis­wa baru sebenarnya sudah menjadi isu klasik yang sering terjadi saban tahun ajaran baru. Meskipun tahun 2018 ini menerapkan PPDB sistem online, pe­nyim­pangan masih berpotensi terjadi. Beberapa masalah yang sering selalu menjadi "duri dalam daging" bagi sekolah negeri khususnya dapat diidentifikasi sebagai berikut: pertama, ba­nyaknya pihak sekolah yang belum taat aturan. Padahal sudah ada peraturan yang dikemas dalam petunjuk teknis (juknis) bagi tiap penyelenggara pendidikan.

Namun tampaknya pelanggaran demi pelanggaran pun terjadi tanpa adanya proses evaluasi dari pemerintah provinsi. Keserakahan sekolah dalam menampung jumlah siswa hingga "overload" menjadi biang keroknya. Menurut Permendikbud No. 24 tahun 2007 bahwa idealnya jumlah satu rombel (rom­bongan belajar) tiap kelasnya maksimum 32 siswa. Namun, sekolah nakal sering menambah menjadi 35 hingga 40 siswa per kelas. Akibatnya sering terjadi alih fungsi ruang non-kelas menjadi ruang kelas. Misal, ruang laboratorium untuk praktikum bisa disulap jadi ruang kelas.

Kedua, menumpuknya calon siswa baru pada sekolah favo­rit memberikan efek samping (side effect) pada sekolah ter­sebut. Padahal Kemendikbud tidak pernah menerapkan sistem grade seko­lah. Sekolah yang dianggap favorit akan meng­anggap diri pada level atas. Akibatnya, kualitas sekolah tidak akan tergarap dengan baik. Sekolah favorit sebenarnya bukan standar yang diinginkan oleh pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Sekolah yang punya kualitas adalah sekolah yang memenuhi kriteria Standar Nasional Pen­didikan (SNP) dalam proses penilaian akreditasi sekolah. Ma­sa­lahnya, sekolah fa­vorit sering terjebak oleh legitimasi ma­sya­rakat dan penetapan regulasi dari pemerintah sebagai acuan dalam standar nasional.

Ketiga, banyaknya praktek titip meni­tip anak di sekolah-sekolah yang dianggap favorit. Kepala sekolah akan dibuat pu­sing karena akan dikejar-kejar oleh orang yang memiliki kua­sa. Biasanya para pejabat-pejabat pemerintah akan meni­tipkan anak atau kerabatnya. Parahnya lagi, "deal-deal" sema­cam ini terjadi tanpa mengikuti mekanisme yang semestinya. Calon siswa baru diterima tanpa memperhatikan persyaratan dan mekanisme seleksi. Dampaknya, kepala sekolah akan mem­buat data fiktif terhadap jumlah rombel yang diterima.

Kebijakan PPDB dan Zonasi

Penting bagi pemerintah pusat dan daerah untuk bersinergi dalam mengantisipasi masalah seleksi calon siswa baru yang tiap tahunnya terjadi. Beberapa kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah dalam memonitoring implementasi PPDB mulai tahun ajaran 2018/2019 ini adalah sebagai berikut: pertama, pe­merintah harus menjamin bahwa pelaksanaan PPDB ber­langsung secara terbuka, non-nepotisme, aksesibilitas dan adil. Tiap sekolah harus patuh terhadap peraturan yang telah dibuat agar terjadi pemerataan. Khususnya dalam porsi daya tampung, perlu ada monitoring yang ke­tat. Pemerintah daerah dapat melibatkan kelompok masyarakat bahkan media massa dalam proses monitoring pelaksanaan PPDB. Akuntabilitas terhadap proses PPDB perlu dijaga agar memastikan kualitas pendidikan di Sumut tetap terjaga.

Kedua, kejelasan aturan dalam sistem zonasi perlu dikaji. Penulis mengapresiasi kebijakan pemerintah dalam pendidikan berbasis zonasi. Pendidikan berbasis zonasi memberi ruang bagi pemerata­an sekolah. Zonasi sekolah dapat meng­hindari anggapan masyarakat terhadap sekolah favorit dan non-favorit. Namun, kendala yang sering dialami ma­syarakat khususnya orang tua adalah masalah teknis dalam zonasi sekolah. Data tentang pemetaan wilayah dianggap masih mi­nim sehingga banyak kebingu­ngan me­ngenai jarak rumah dengan suatu seko­lah. Data yang digunakan untuk pemetaan harus valid untuk mencegah adanya bias data dalam suatu wilayah.

Ketiga, implementasi terhadap regulasi Peraturan Gubernur (Pergub) Sumatera Utara No. 52 tahun 2017. Regulasi daerah terhadap penerimaan peserta didik baru berfungsi sebagai acuan. Artinya regulasi ini akan mengatur hingga ke daerah dan mengantisipasi adanya masa­lah-masalah baru yang mun­cul dalam PPDB. Selanjutnya dinas pendidikan dae­rah yang terkait harus menerjemahkan regulasi Pergub menjadi lebih teknis.

Adanya petunjuk teknis (juknis) akan mengatur proses pe­netapan aturan wilayah (zonasi), jadwal pendaftaran, seleksi hingga pengumuman nilai akhir. Selain itu, dinas pendidikan juga harus memfasilitasi masyarakat dengan membuka akses pengaduan terhadap pelanggaran. Selanjutnya, adanya sanksi dari laporan-laporan yang masuk akan memberikan efek jera bagi sekolah-sekolah yang berusaha main curang. Selain itu, dinas pendidikan juga harus tegas dalam penetapan jumlah rombel untuk tiap jenjang pendidikan mulai dari SD/MI, SMP/MTs hingga SMA/MA/SMK. Itu artinya penetapan terhadap jumlah rombel harus disesuaikan dengan jumlah kelas. Se­hingga rasio rombel dan kelas di sekolah menjadi ideal.

Penutup

Sekali lagi, penyelenggaraan PPDB yang bersifat terbuka, non-nepotisme, aksesibilitas dan adil perlu dukungan dari semua pihak. Terlepas dari kelemahan yang masih ditemukan, kita perlu mendukung agar pengampu kebijakan dalam sistem pendidikan nasional dapat berbenah diri dan mampu me­nyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Penerimaan peserta didik baru dengan menerapkan PPDB online dan zonasi sekolah harus dijalankan sebagaimana mes­tinya. Namun tetap memperhatikan kua­litas dan integritas da­lam mencapai peningkatan akses layanan pendidikan. Per­soalan terhadap kualitas layanan akses pendidikan harus dise­lesaikan dengan cara yang arif dan bijaksana. Oleh ka­rena itu, bu­tuh pemikiran serius dan du­kungan secara aktif maupun pasif dari semua pihak agar dapat mencapai tujuan pendidikan yang berkualitas. Semoga! ***

Penulis adalah dosen Prodi Pendidikan Biologi - UKSW

()

Baca Juga

Rekomendasi