Oleh: Jannerson Girsang
Perlukah kita membaca buku lagi setelah selesai kuliah? Apakah membaca buku itu soksokan sehingga di ruang publik hampir tidak kita temui orang membaca buku? Apa sih buku itu sebenarnya, mengapa kita harus membacanya?
Hidup Baru
Apakah sebuah buku (hard copy) hanyalah sekian gram kertas, tinta atau lem. Kalau buku hanya demikian, maka dia bukan bahan bacaan sebagai sumber pengetahuan, inspirasi, melainkan hanya pantas menjadi pengisi rak buku perpustakaan supaya terlihat megah, atau penghias ruang tamu supaya terlihat intelek, kalau sudah tak dipakai dijual ke tukang loak yang harganya dihitung per kilogram.
Konferensi UNESCO pada 1964 berusaha untuk mendefinisikan sebuah buku untuk keperluan perpustakaan sebagai "publikasi cetak non-berkala, setidaknya empat puluh sembilan halaman, tidak termasuk halaman sampul".
Kini, buku tersedia dalam bentuk hard copy, PDF, yang diposting di internet. Ada e-book, buku audio (audio books, atau talking books). Benda yang umumnya berbentuk segi empat itu bukan hanya kumpulan kertas atau bahan lainnya yang dijilid menjadi satu pada salah satu ujungnya dan berisi tulisan atau gambar, dimana setiap sisi dari sebuah lembaran kertas pada buku disebut sebuah halaman.
Buku menyimpan hidup baru, dari dalamnya pembaca beroleh sesuatu yang baru. “Ketika anda menjual sebuah buku kepada seseorang Anda tidak hanya menjual 12 ons kertas, tinta dan lem. Anda menjual hidup baru. When you sell a man a book you don't just sell him 12 ounces of paper and ink and glue. You sell him a whole new life. (Christopher Morley yang hidup 1890 – 1957, seorang wartawan dan penulis novel berkebangsaan Amerika).
Kalau buku adalah hidup baru, maka dengan membeli sebuah buku, kita bukan hanya membeli sekian kilogram kertas dan sekian botol tinta, tetapi beroleh pengetahuan dan jiwa seorang penulis. Membaca buku meraup kedua-duanya, pengetahuan dan jiwa si penulis, utuh.
Ide, gagasan, inspirasi
Hasil karya rasa dan cipta manusia dalam bentuk buku adalah kumpulan gagasan, ide yang hidup! Gagasan itu ditangkap oleh hati, dicerna oleh otak, dan kemudian dituliskan dari hati, menggerakkan hati manusia untuk menghargai ciptaan,mencintai ciptaan.
Buku adalah sebuah kumpulan gagasan, ide yang hidup! Membaca buku tidak hanya menemukan pengetahuan, tetapi juga memperoleh jiwa penulis bukunya. Tak salah kiranya saya selipkan nasehat Hernowo, dalam bukunya Mengikat Makna: Membaca dan Menulis yang Memberdayakan (2009) yaitu memadukan membaca dan menulis, melibatkan diri pribadi yang paling dalam, dan menggunakan teknik “brain-based writing”.
Para penulis menulis gagasan yang ditangkap oleh hati, dicerna oleh otak, dan kemudian dituliskan dari hati. Para penulis yang menulis dengan hati akan mampu menggerakkan hati manusia untuk menghargai ciptaan,mencintai ciptaan, bahkan menciptakan hidup yang lebih baik.
Books open your mind, broaden your mind, and strengthen you as nothing else can. (William Feather). Buku membuka pikiran, memperluas cakrawala berpikir, menguatkan Anda yang tidak bisa dilakukan yang lain.
Mari sejenak menyimak pengalaman membaca Mandino, penulis buku The Greatest Salesman In The World, buku best seller di Amerika yang bukunya terjual lebih dari 50 juta eksemplar dan buku-bukunya sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 25 bahasa. Di balik kisah suksesnya, Mandino yang hidup antara 1923-1996, ternyata memiliki pengalaman unik membaca, keluar dari penderitaan dan keputusasaan.
Pria ini membuktikan, siapa saja yang melek huruf bisa meraih sukses seperti yang dialaminya melalui membaca buku. Mandino bukanlah seorang akademisi.
Sebelum sukses menjadi seorang penulis terkenal, Mandino--nama lengkapnya Augustine “Og” Mandino II mengalami penderitaan hebat. Mandino adalah veteran perang Vietnam. Setelah menyelesaikan tugas militernya, dia beralih profesi menjadi salesman asuransi. Pekerjaan baru ini menuntutnya bekerja siang hari dan dan duduk di bar di malam hari.
Pola kerja salesmen asuransi membuatnya menjadi seorang pecandu alkohol dan akhirnya tidak bisa mempertahankan pekerjaannya.
Bak kata pepatah, sudah jatuh ketimpa tangga! Dalam kesulitan seperti itu, Istrinya Miriam "Mimi", bersama anak tunggal mereka, meninggalkannya. Mandino kehilangan segalanya: pekerjaan, rumah dan keluarganya. Menghadapi suasana kehampaan hidup, mantan pilot pembom ini hampir saja bunuh diri.
Menariknya, Mandino mencurahkan rasa frustrasinya di perpustakaan. Hingga suatu ketika, dia tiba di perpustakaan Concord, New Hampshire. Di sana Mandino menemukan buku klasik karya W. Clement Stone, Success Through a Positive Mental Attitude.
Buku ini membuat kehidupannya lebih baik, tidak hanya lepas dari alkohol. Bahkan dengan pengetahuan yang diperolehnya dari buku-buku itu, Mandino menemukan dirinya kembali, dan memiliki keberanian untuk memulai kembali hidupnya.
Dia kemudian melamar pekerjaan di Combined Insurance. Di kantor barunya, Mondino menerapkan prinsip-prinsip mencapai sukses dari buku-buku yang dibacanya. Mandino meraih kesuksesan demi kesuksesan.
Bahkan kemudian, dia menulis pengalamannya sendiri dalam The Greatest Salesman In The World, buku yang pernah menjadi best seller dan klasik di bidangnya. Bukunya terjual lebih dari 50 juta eksemplar dan sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 25 bahasa.
Pengalaman John Naisbit, penulis terkenal, membaca buku membuatnya menjadi seorang penulis terkenal dunia dan telah menghasilkan berbagai buku best seller. Karya-karyanya mendunia dan memberi inspirasi bagi umat manusia melalui buku-buku terkenalnya Megatrend, Megatrend 2000, Mindset dan lain-lain.
Saya memiliki dua buku, How to Run Writing and Editing Business, Pedoman Menulis Otobiografi, yang memberi saya pengetahuan, inspirasi sehinga percaya diri menulis. Usia kedua buku itu sudah belasan tahun, tetapi masih menyimpan daya tarik, kekuatan menginspirasi sehingga saya tetap menggunakannya. Coretan-coretan, catatan-catatan saya sisipkan di dalamnya, begitu juga bekas stabilo atas hal-hal yang saya anggap penting. Membaca buku harus memberi makna dalam kehidupan kita.
Membaca buku: bukan soksokan!
Sebuah ulasan menarik ditulis Iqbal Aji Daryono praktisi media sosial, penulis buku "Out of The Truck Box", menulis sebuah artikel di situs www.detik.com, Selasa 25 April 2017 dengan judul Masihkah Perlu Kita Membaca Buku?
Iqbal menemukan hal menarik dalam keseharian kita soal membaca buku. Menurutnya, membaca masih dikira anak kuliah, membaca itu sok intelek, sok berkelas, entah sok apa lagi. Kita belum memandang membaca sebagai suatu kegiatan pengetahuan dan inspirasi. Kita belum menjadikan buku sebagai teman, menenteng buku atau membaca buku saat masa-masa istirahat kita di ruang tunggu rumah sakit, terminal, stasion atau bandara, seperti di negara-negara yang memiliki nilai literasi yang lebih tinggi dari kita.
Di sisi lain, banyak kegiatan membaca kita saat ini, terutama setelah teknologi internet yang berkembang pesat. Data Perpustakaan Nasional, pada 2016, sebanyak 132,7 juta penduduk Indonesia tercatat sebagai pengguna internet, “Tapi praktiknya justru banyak digunakan untuk bermedia sosial. Harusnya digunakan langkah positif untuk membaca yang bermanfaat,” tambah Rizki Wardana, seperti dikutip harian Radar Semarang, Kampanye Membaca, Jadikan Buku sebagai Teman.
Senada dengan Rizki, Iqbal juga melihat realitas sosial yang berkembang di era medsos, kita bisa melihat bahwa tidak semua aktivitas membaca di sana dapat mengantarkan kita kepada literasi. “Terlalu banyak bacaan di era kekuasaan internet yang justru menjauhkan kita dari pengetahuan, kecerdasan, dan kebijaksanaan. Saking gampangnya internet menyebarkan tulisan, bahkan tulisan sampah sebusuk apa pun bisa bertebaran dengan ganasnya,” katanya.
Apakah kita perlu merancang kampanye kembali kepada buku cetak konvensional, sembari meninggalkan bacaan yang limpah ruah di internet? Iqbal menjawab tidak. Saya juga setuju. Zaman akan terus berubah, teknologi terus berkembang, dan siapa pun yang melawan teknologi akan tergilas.
Iqbal Aji Daryono mengusulkan agar kita meletakkan buku dan koran sebagai dua instrumen paling pokok dalam aktivitas membaca. Ada benarnya. Dalam hal ini dia lebih sepakat jika bacaan di internet, termasuk tulisan ini, diposisikan sebagai pengganti koran. Bukan pengganti buku.
Sementara itu, posisi buku sementara ini tetap tidak bisa dilenyapkan. Bukan dalam artian semata buku tercetak (sebab kertas ataukah PDF bukan soal penting), melainkan buku dalam makna tulisan yang mendalam, terperinci, membahas suatu hal ihwal dalam konstruksi pemahaman yang utuh.
Membaca bukan soksokan!. Kampanye membaca seharusnya menganjurkan membaca yang utuh, tidak sepotong-sepotong, teratur dan berkesinambungan. Pekerjaan ini melatih kita memahami sesuatu secara utuh, melatih kita merespon sesuatu dengan utuh, tidak “asbun”, tidak asal komentar! Semoga!
Penulis adalah penulis buku buku biografi, tinggal di Medan. Bisa diakses melalui email [email protected]