MEMBICARAKAN fakta bumi tanpa pohon memang terdengar mengerikan. Akan tetapi, hal ini perlu diperbincangkan mengingat semakin maraknya penebangan pohon demi memenuhi kebutuhan hidup manusia, malah ada yang sengaja membakar hutan hanya demi kepentingan segelintir golongan.
Dampak penipisan jumlah pohon dari hal yang paling ringan, kertas merupakan salah satu bagian primer dalam menunjang kegiatan belajar siswa. Sebagaimana diketahui, kertas terbuat dari kayu atau pohon.
Bayangkan jika pohon semakin menipis, hal ini menyebabkan jumlah produksi kertas akan berkurang. Lalu dampaknya bagi siswa atau mahasiswa, segala kegiatan mencatat di buku, mengerjakan ujian di lembaran, atau membuat tugas dalam bentuk hardcopy akan berkurang.
Dengan begitu, biaya untuk keperluan sekolah pun bisa diminimalisir. Berbahagialah para mahasiswa penggiat skripsi jika hal itu terjadi. Akan tetapi, tidak hanya itu saja yang akan terjadi jika pohon lenyap dari muka bumi ini. Berikut beberapa hal yang perlu direnungkan jika pohon tidak ada lagi di daratan ini.
Ketika hujan turun, akar pohon berfungsi untuk menyerap air. Sekitar 60-80 persen air dapat diserap oleh hutan. Dari situlah tersedianya cadangan air. Pohon juga mencegah terjadinya erosi dan menjaga kesuburan tanah. Akan tetapi, jika hutan terus dibabat tanpa ada usaha penanaman kembali, maka hilanglah tempat cadangan air.
Di saat musim kemarau, kekeringan akan melanda dan di musim hujan, banjir akan membludak. Ditambah lagi, fakta bumi tanpa pohon berarti adalah musibah bagi hewan. Sebagian besar hewan hidup di hutan. Jika hutan digunduli, pohon ditebas, maka secara perlahan hilanglah habitat alami mereka.
Jika mereka tidak dapat bertahan dengan keadaan habitat yang baru, maka mereka akan terancam punah. Bukan hanya spesies fauna yang akan terancam, tetapi juga flora. Dengan semakin berkurangnya jumlah pohon, keberagaman flora pun akan hilang. Rusaknya habitat yang perlahan mengancam kelestarian hewan dan tumbuhan, akan merusak sistem rantai makanan yang sudah ada.
Vital
Selain sebagai habitat bagi ratusan spesies hewan, pohon mempunyai peranan yang sangat vital untuk kelangsungan hidup. Kemampuannya berfotosintesis dapat menghasilkan oksigen. Dengan adanya tumbuh-tumbuhan, manusia dapat bernafas dengan bebas tanpa dipungut biaya. Jika harus menghadapi fakta bumi tanpa pohon, maka sumber produksi oksigen pun akan hilang.
Sebaliknya, jumlah karbondioksida akan meningkat. Tentu ini akan menjadi bencana besar. Manusia tidak dapat menghirup oksigen secara bebas, malah bisa jadi harus menggunakan tabung oksigen. Masalahnya, jika menggunakan alat itu, sampai kapan cadangan oksigen akan tersedia? Lalu bagaimana pula nasib hewan-hewan, yang tidak dapat menggunakan tabung oksigen seperti manusia?
Semakin berkurangnya jumlah pohon mengakibatkan meningkatnya karbondioksida. Akibatnya, kenaikan permukaan laut akan terjadi, ikan tidak dapat berkembang biak dengan baik dan terumbu karang pun akan musnah. Dampak kerusakan alam dapat mengacaukan sistem kerja alam.
Tumbuhan musnah, hewan akan punah dan sistem mata pencaharian manusia akan kacau. Selain itu, kelaparan dan penyakit tropis akan menyergap. Fakta bumi tanpa pohon bisa segera terjadi apabila manusia terus melakukan penebangan liar dan pembakaran hutan.
Pernahkah Anda menonton film The Lorax? Film animasi ini menceritakan tentang sebuah kota yang tidak ditanami pohon bahkan tumbuhan apa pun. Alhasil, segala tanaman yang ada di sana hanyalah plastik.
Meskipun hanya cerita fiktif, tetapi film ini dapat memberikan gambaran fakta bumi tanpa pohon. Apa yang akan terjadi jika yang terhampar di bumi hanyalah daratan yang penuh gedung-gedung dan lautan saja.
Cuaca telah menjadi kekuatan yang mematikan. Banjir bandang makin sering terjadi di kawasan di seluruh dunia. Kemarau berkepanjangan meningkatkan ancaman bahaya kelaparan di Afrika.
Belum lama ini, Potsdam Institute for Climate Research mengadakan konferensi mengenai dampak perubahan iklim dan memperingatkan bahwa iklim yang tidak stabil juga dapat mengganggu stabilitas masyarakat.
"Konsekuensi pemanasan global tidak hanya menyebabkan kerusakan ekonomi, juga mengancam masyarakat termiskin di dunia," demikian kesimpulannya.
Pemanasan
Ilmuwan iklim Wallace Broecker memperkenalkan istilah "global warming" alias pemanasan global tahun 1975 dalam makalahnya yang terkenal tentang perubahan iklim. Seberapa besar dampak perubahan iklim memang masih belum jelas, dan kini masih jadi perdebatan di kalangan ilmuwan dan aktivis lingkungan.
Berbagai perundingan kini semakin sering dilakukan untuk mengantisipasi dan mencari cara untuk mengatasi berbagai dampak yang telah dan akan terjadi akibat perubahan iklim, melakukan putaran perundingan COP 23 dalam upaya memperlambat kenaikan temperatur global. Ini adalah lanjutan dari Perjanjian Paris dua tahun lalu yang dipuji sebagai terobosan. Ketika itu, hampir semua pemerintahan dunia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca.
Kesepakatan tersebut itu adalah indikator, seberapa jauh manusia telah menyadari betapa pentingnya untuk bertindak sekarang. Tapi masih banyak yang harus dilakukan. Sejauh ini, hanya ada janji-janji yang dibuat berdasarkan kesepakatan global. Namun konferensi-konferensi, termasuk COP23, hanya sebagian dari solusi.
Dale Jamieson, professor filsafat dan studi lingkungan di York University, memperingatkan agar orang tidak terlalu berharap pada "orang-orang terkenal yang datang ke Bonn dan menyatakan pada dunia mereka akan berkomitmen dan mengusulkan aksi-aksi alternatif".
"Kebanyakan hal penting tidak terjadi di COP," kata Jamieson. Kekuatan utama adalah tekanan masyarakat demokratis kepada para politisi, agar mereka melakukan perubahan yang lebih besar dan membentuk dunia seperti yang manusia inginkan”.
Dalam kasus Amerika Serikat, setelah Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari kesepakatan iklim, kota-kota dan negara bagian di seluruh negeri itu malah melangkah maju dan bertekad untuk memenuhi target tentang perubahan iklim.
Gubernur negara-negara bagian AS juga telah menetapkan target pengurangan emisi mereka sendiri yang seringkali lebih progresif daripada target nasional, tidak hanya di AS tapi juga di bagian lain dunia.
Baru-baru ini, sejumlah kota metropolitan terkemuka termasuk London, Los Angeles, Paris, Mexico City, Kopenhagen, Barcelona, Vancouver dan Cape Town melakukan langkah itu.
Robert Costanza, ekonom di Crawford School of Public Policy di Australia mengatakan, hal seperti itu akan lebih sering terjadi karena "inisiatif lokal memiliki kekuatan besar." Dia mengatakan, manusia memerlukan perubahan radikal yang lebih luas. (rr/dwc/kkp/ar)