"Namanya sudah jodoh," ujar Johan saat ditemui Minggu (1/7). Setiap sembahyang di sana, ia mengaku susah memarkirkan mobilnya. Maklum, persis di halaman depan vihara, beberapa kedai kopi, bengkel motor, dan becak motor mangkal di sana. Keberadaan mereka, tak hanya membuat kendaraan roda empat tak bisa parkir dan harus cari parkir jauh di tempat lain, tapi juga telah menutupi rumah ibadah tersebut. Umat yang hendak pertama kali bersembahyang ke vihara ini, banyak dibuat kecele karena keberadaan bangunan vihara yang "tersembunyi" itu.
"Memang susah juga. Pedagang ini juga cari rezeki di sini, tapi umat yang mau sembahyang ke vihara juga butuh suasana nyaman," ujar Tio A Kuang (47), pengurus Vihara Kwan Tik Kong Pulo Brayan. Tio A Kuang ditemui saat menghadiri acara ulang tahun Dewa Chang Tien She di Vihara Setia Buddha Jalan Tirtosari, Medan Tembung, Minggu (1/7).
Menurut Tio A Kuang ia sudah mendekati pedagang secara kekeluargaan untuk membahas keluhan umat tersebut. Hasilnya, para pedagang sepakat, setiap perayaan ulang tahun Dewa Kwan Tik Kong, terutama pada hari Raya Imlek hari pertama dan kelimabelas, juga pada perayaan bulan kelima dan ketujuh, para pedagang dan pemilik bengkel sepakat untuk menutup usaha mereka. Namun untuk hari-hari biasa belum tercapai kesepakatan.
Hati nurani dan toleransi
Tokoh agama dan budayawan Berry CWT, yang juga Kepala Vihara Setia Buddha Medan Tembung, mengimbau para pedagang dan pemilik bengkel mau bertindak arif. Dalam arti mau mengedepankan hati nurani dan toleransi. Mengelola tempat usaha dengan memunggungi rumah ibadah dan menghambat kenyamanan orang yang hendak bersembahyang bukan perbuatan bijak.
"Dalam kepercayaan kami, menghalangi umat yang hendak mencari karma baik adalah tindakan tidak baik, termasuk untuk usaha dagang mereka sendiri," ujar Berry CWT. Karma baik justru akan diterima para pedagang dan pemilik bengkel jika mereka secara suka rela memindahkan usaha mereka ke tempat lain sehingga tidak menghalangi akses umat yang hendak bersembahyang.
Ada sebelum RI lahir
Berry juga berharap pihak Pemko Medan juga mau memerhatikan masalah ini. Vihara Kwan Tik Kong Pulo Brayan sendiri menurut Tio A Kuang usianya sudah tergolong tua. Diperkirakan telah mencapai 164 tahun.
"Itu bisa dilihat dari ukiran tulisan Mandarin yang menunjukkan angka 1774 yang tercetak di meja abu sembahyang," tambah Tio A Kuang. Menurut cerita ayahnya juga, dulu saat pendirian Vihara Kwan Ti Kong di Jalan Irian Barat, abu mejanya juga diambil dicari abu meja sembahyang di Vihara Kwan Tik Kong Pulo Brayan.
Ia sendiri meneruskan kepengurusan vihara itu dari ayahnya, Tio Seng Hok yang telah mengelola vihara sejak 1956 - 1991. Menurut Tio A Kuang, saat ayahnya masih hidup banyak umat dari berbaga daerah datang untuk bersembahyang dan berobat secara non medis.
"Bahkan sampai pernah ada umat dari Tiongkok dulu yang bersembahyang ke sini dan berobat ke ayah," katanya. Melihat usia vihara tersebut sudah tua, bahkan sudah ada sebelum Republik Indonesia lahir, Berry CWT berharap Pemko Medan mau menyahuti keluhan umat. (ja)