Oleh: Jauza. Malam merangkak diam-diam, menggantikan mega yang sudah lingsir beberapa waktu silam. Samar-samar, berkas cahaya rembulan menyelinap. Dari balik jendela, jalanan kosong menatapku. Siluet fatamorgana dari dua orang yang saling mencinta, menari dengan ceria di bawah langit berbintang.
Aku menghela napas. Rasanya, belum lama saat aku menjadi bagian dari orang-orang yang sebelumnya menyemut di tempat ini. Sekarang, nyaris semua orang sudah minggat. Alunan musik sudah berhenti. Gaduh dan riuh pun menjelma menjadi sunyi. Kecuali satu-dua pelanggan, saat ini, di sini hanya ada aku dan pelayan kafe yang terus-menerus menatap jam dinding dengan bosan.
Di hadapanku, dua cangkir kopi sudah kehilangan kepulnya. Kopi di satu cangkir sudah nyaris tak bersisa. Sementara, kopi di cangkir lain masih menanti orang yang akan menyesapnya. Aku juga menanti.
Aku menatap pelayan kafe yang sekarang menatapku. Tatapannya nanar serta sedikit ragu-ragu. Mungkin, dadanya berkecamuk dengan keinginan untuk mengamuk atau sekadar mengusirku. Tetapi, apa yang bisa dilakukannya? Aku tertawa kecil. Dia tidak bisa mengusirku. Tidak akan bisa. Setidaknya, tidak hari ini. Bukan hanya karena aku adalah seorang pelanggan tetap. Kuharap, manajer kafe sudah mengingatkan si pelayan akan hal itu. Bahwa setahun sekali, setiap tanggal sembilan di bulan Februari, akan ada orang aneh yang melalukan reservasi untuk satu meja tepat di samping jendela. Pesanannya hanya dua cangkir kopi. Satu cangkir tanpa gula sama sekali, dan yang satunya dengan dua sendok gula dan satu sendok krimer. Selalu seperti itu dan tak pernah berubah. Seolah ini adalah bagian dari ritual yang sangat sakral.
Tak lama, semua orang pulang ke peraduan. Semua, kecuali aku dan si pelayan kafe. Namun tetap saja meski ia ada disana, aku seolah sendiri, karena si pelayan kafe sudah membawa dirinya berkelana ke alam mimpi. Di sudut ruang, kulihat ia duduk terkantuk-kantuk dengan kepala yang terus mengangguk-angguk. Ya, sekarang aku ditinggalkan sendirian, dengan hanya berteman kenangan. Kenangan yang seharusnya sudah mati. Tenggelam, dalam derasnya arus waktu.
Setiap siang di akhir pekan, aku selalu datang ke tempat ini. Sekadar untuk menyesap kopi sambil menyaksikan orang-orang yang berlalu lalang. Juga, jalanan ramai yang perlahan menjadi lengang. Setelah itu, aku akan merutuk lalu pergi, sambil berjanji untuk tidak akan kembali. Namun bodohnya, aku selalu saja kembali. Berulang-ulang kali. Untuk satu alasan yang tak begitu kupahami. Ya, setiap siang di akhir pekan, aku selalu saja datang. Tetapi, setahun sekali pada tanggal sembilan di bulan Februari adalah hal yang berbeda. Karena ini, adalah tanggal dimana aku pertama sekali bertemu denganmu. Juga tanggal kita terakhir kali bertemu.
Detik demi detik berdetak. Di luar, rinai turun. Derau mewarnai malam yang syahdu. Ah. Hujan. Inilah saat dimana jasad-jasad kenangan yang telah lama mati mulai kembali dihidupkan, atau kembali menghidupkan diri. Jasad-jasad itu kemudian mewujud menjadi bayang-bayangmu. Bayang-bayang yang terus saja muncul seperti hantu. Aku bisa melihat bayang-bayang itu meski hanya dengan sudut mataku, atau bahkan dengan mata yang terpejam. Aku menggerutu. Kenapa? Kenapa aku masih terus saja mengingatmu? Kenapa aku masih saja terjebak pada satu waktu? Terus-menerus, berada di tempat yang sama dengan kaki yang terantai ke tanah? Sebenarnya, apa yang salah? Bukankah seharusnya rasa itu sudah musnah, selayaknya penggal-penggal kisah yang kita bakar bersama-sama, di hari kita memutuskan untuk berpisah?
***
Siang itu, seperti biasa, aroma kopi memenuhi udara di antara kita. Kau duduk di hadapanku. Namun, tidak seperti biasa. Kau menggigit bibir. Matamu mengerjap berkali-kali, seperti berusaha menyembunyikan gelisah yang ada di dalam hati. Kegelisahan itu menular pula padaku. Untuk beberapa saat, tidak ada satu pun kata yang mewujud dalam suara.
“Kita harus mengakhiri ini,” ujarmu akhirnya.
Kesunyian pecah, bersama dengan hatiku. Kurasakan darah mengalir dari pecahan-pecahan itu. Aku tidak menjawab apa pun. Saat itu, semua kosa kata yang ada di kepalaku seolah menghilang entah kemana.
“Selama ini, kita hanya saling menyakiti. Kita tidak bisa bertahan lebih lama lagi,” kau melanjutkan. “Betapa kerasnya pun kita mengingkari nyata, kenyataan akan tetap sama. Kita terlalu berbeda, kita tahu itu. Sejak awal, kita tahu. Bahwa pada akhirnya, akan seperti ini jadinya. Dengan kepercayaan yang berbeda, selama ini kita hanya mengulur-ulur waktu perpisahan saja.”
Seiring kata-kata itu, kepedihan merasuk semakin dalam ke hatiku, memburai luka yang semakin menganga disana. Bibirmu masih terus bergerak untuk mengucapkan sesuatu. Tetapi, aku tidak bisa mendengar apa pun lagi. Aku juga tidak bisa mengatakan apa-apa. Bahkan, saat kau beranjak pergi ke pintu kafe yang dibiarkan terbuka.
Selama ini, aku tak hentinya berdoa pada Tuhan agar kelak kita dipersatukan. Tetapi ternyata Ia telah menakdirkan kita untuk berpisah, sejak hari dimana kita memulai kisah. Ya, seperti kisah yang terpatri rapi dalam lembar-lembar buku favoritmu, di halaman terakhir, pasti akan ada tulisan ‘tamat’, entah itu tersirat atau tersurat.
Saat ini, di hadapanku tak ada dirimu. Hanya ada kursi kosong yang balas menatap tatapan senduku. Tepat di depan kursi itu, kopi dingin masih penuh mengisi cangkir, menanti seseorang untuk menyesapnya.
***
Sang waktu terus melagu, seiring detaknya yang terus saja melaju. Di kejauhan, samar-samar aku bisa merasakan kehadiranmu. Namun, kehadiran itu makin lama makin mengabur ke dalam kelamnya malam. Lalu tak lama lagi, kelam itu akan pergi. Menghilang! Mati! Tereliminasi, oleh terangnya cahaya mentari, yang kelak akan jadi penanda bahwa inilah akhirnya. Akhir dari sebuah upaya mewujudkan asa yang sia-sia dan tak berguna.
Aku memusatkan pandanganku pada secangkir kopi di hadapanku. Percuma. Ya, percuma saja. Selama apa pun kami menantinya, orang yang kami tunggu tidak akan datang. Tidak akan ada yang kembali duduk pada kursi kosong di hadapanku untuk menyesap kopi itu. Aku sudah tahu itu sejak awal. Aku sudah tahu. Lalu, kenapa aku masih saja datang kesini? Kenapa aku masih saja berada disini, menanti, bersama secangkir kopi itu?
Dengan satu gerakan lemah, aku meraih salah satu cangkir yang ada di hadapanku dan mereguk sisa kopi terakhir disana. Rasa pahit memenuhi lidahku, kerongkonganku, lalu mengalir turun ke hatiku, sebelum kemudian mengedar ke seluruh tubuhku.
Aku bangkit. Ini menjelang pagi. Mau tak mau, aku harus segera pergi. Kehidupan harus terus kulanjutkan. Maka dengan berat hati, kutinggalkan secangkir kopi itu. Secangkir kopi, yang masih saja terus menanti, meski kepulnya sudah sejak lama pergi. Secangkir kopi itu, seperti sebagian dari hatiku yang masih saja tertinggal di tempat ini.
“Selamat tinggal,” bisikku lirih.
Bisikan itu menguap ke udara, lalu mengembara entah kemana.
Medan, 3 Mei 2017