Jangan Ada Lagi Julukan Kota Medan

Oleh: Indra Syahputra

TAHUN 2017 merupakan tahun dimana kota Medan mendapatkan penghargaan berturut-turut. Pres­tasi yang patut untuk diapresiasi dan diacungi jempol untuk kepemerintahan kota Me­dan. Akan tetapi seolah penghargaan yang diberikan seperti panggangan yang jauh dari apinya. Jauh dari yang di­ha­rap­kan oleh masyara­katnya. Diawal ta­hun 2017 kota Medan mendapatkan Pia­la Wa­hana Tata Nugraha (WTN) untuk Ka­te­gori Lalu Lintas untuk Kota Me­tropo­litan dari Menteri Perhubu­ngan Re­publik Indonesia (31/01).

Disusul dengan dua kategori penghar­ga­an pada ajang Indonesia Attractiveness Award (IAA) 2017. Kedua penghar­gaan ter­sebut yakni untuk kategori Kota Ter­baik In­donesia 2017 dan Kota Terbaik Per Region Su­matera (29/9/2017). Dan yang terakhir kota Medan kembali ber­hasil meraih sem­bilan penghargaan pada acara Rating Kota Cerdas Indonesia (RKCI) 2017 (11/12).

Sembilan penghargaan itu masing-ma­sing kategori Kota Besar dengan Ra­ting Lingkungan Cerdas (Smart En­vi­ron­ment), Kesiapan Infrastruktur (In­fra­struc­ture Readiness), Mobilitas (Smart Mobility), Ekosistem Teknologi Finan­sial, Ekonomi Cerdas (Smart Economy), Eko­sistem Inovasi, Ekonomi Kompetitif, Sosial Cerdas (Smart Social), dan Kese­hat­­an Cerdas (Smart Health).

Sebagai masyarakat atau warga yang bermukim di kota Medan merasa bangga dengan pencapaian yang telah didapatkan oleh kota Medan tersebut. Akan tetapi, sangat disayangkan bila yang diharapkan tak sesuai dengan yang ada dilapangan. Pemerintah yang melihat hal ini seolah hanya bisa menyaksikan dan tak bisa bisa berbuat banyak. Parahnya kondisi jalan berimbas pada pengerjaan drainase yang buruk sehingga bila hujan menggu­yur kota Medan, maka air hujan yang turun hanya menggenangi jalanan.

Masih teringat dibenak kita, jalanan di kota Medan dimana-mana hancur dan tak layak untuk dilewati terutama yang ter­jadi di Jalan Sutomo, Krakatau dan Ce­­mara. Disepanjang jalan ini selalu men­jadi pusat perhatian bagi masyarakat yang melintas, jalan yang rusak bak ma­kanan yang harus dikonsumsi setiap ha­rinya oleh pengendara yang melintas, apa­lagi ketika kota Medan diguyur hujan maka seakan tak bisa berkata lagi, jalanan yang berlubang layaknya kolam, dipenu­hi lumpur dan bebatuan dengan ukuran yang besar. Hingga sewaktu-waktu bisa saja mengancam keselamatan pengen­dara yang lewat jalan ini. Dengan rusak­nya jalan berimbas pada lambannya laju ken­deraan karena was-was akan terjadi se­suatu yang tak diinginkan, alhasil ke­ma­cetan panjang pun tak dapat diindari.

Maka tak heran bila di tahun 2017 yang lalu kota Medan dijuluki sebagai kota sejuta lubang, tak becusnya pihak pemerintahan dalam mengelola jalanan.

Kondisi jalan kota yang tak memenuhi per­syaratan, penger­jaan jalan yang meng­gu­nakan metode tambal sulam tambal su­lam seolah tak ada artinya bila kualitas pe­ngerjaan masih jauh dari yang di­ha­rap­kan, maka jangan heran ketika sudah diperbaiki akan hancur kembali seiring dengan berjalannya waktu dan curah hujan di kota Medan yang tak dapat di­prediksi dan volume kenderaan yang me­lintas pun tak dapat dipungkiri.

Sindiran Keras

Penghargaan demi penghar­gaan yang di­dapatkan silih berganti, media sosial pun seakan ramai dipenuhi komentar dan pujian kepada pihak Pemerintahan kota M­e­dan. Alhasil bukan banyak pujian yang di­dapatkan karena keber­hasilan kota Medan mendapatkan predikat se­ba­gai kota Terbaik Indonesia pada akhir tahun yang lalu, malah ribuan komentar pedas yang didapatkan dari para netizen terhadapat postingan yang beredar kala itu. Ne­tizen yang memang berdomisili di kota Medan malah menyuruh untuk me­mu­langkan kembali penghargaan yang sudah didapat­kan akibat dari kondisi di­lapangan karena tidak sesuai dengan pen­capaian yang terlihat.

Kerusakan jalan nampaknya masih menghantui masyarakat yang bermukim di kota Medan. Persoalan jalanan yang ru­sak seolah tak akan ada habisnya. Li­hat­lah sekarang dijalan Timah, berlanjut ke ja­lan Asia, A R Hakim, Ismailiyah dan ma­sih banyak lagi jalan-jalan lainnya. Se­olah mati satu tumbuh seribu, bagai­mana tidak kualitas jalanan yang diper­baiki seolah dikerjai asal-asalan. Belum lagi, lubang yang tadinya kecil dibiarkan begitu saja tanpa adanya perhatian se­hingga lama-kelamaan semakin mem­besar.

Ditambah lagi bila hujan turun dan meng­guyur kota Medan dengan waktu yang cukup lama, jalanan akan rusak pa­rah akibat dari genangan air yang ber­ada di jalan raya. Buruknya drainase tak da­pat menampung curah hujan yang tu­run, maka dampak dari sini jalanan akan dilewati para pengendara dengan kondisi yang masih tergenang air. Bermula dari rusak sedikit maka akan berangsur-angsur semakin parah.

Julukan Medan sebagai kota sejuta lubang nampaknya belum berakhir untuk kota Medan. Sebab banyaknya lagi ja­lanan yang masih rusak dan belum terlihat ada­nya perbaikan. Mungkin saja akan ada ju­lukan lain yang akan disematkan untuk kota Medan, sebab masih banyak­nya per­masalahan yang sampai hari ini be­lum ter­selesaikan dengan baik. Per­soal­an para pe­dagang yang masih terlihat di berjualan di bahu jalan, sampah yang menumpuk ma­sih menjadi pemandangan yang biasa ter­lihat setiap harinya, pungli masih me­ngakar disetiap lokasi parkiran serta ke­ma­cetan seolah sudah menjadi hal yang biasa.

Berbenah

Kota Medan yang dijuluki sebagai kota sejuta lubang seha­rusnya menjadi pukulan yang berat bagi pihak Peme­rin­tahan. Medan yang dikenal sebagai kota Metropolitan ke tiga di Indonesia seharusnya menjadi contoh untuk kota-kota yang lainnya. Apalagi penghar­gaan yang didapatkan sudah lebih dari satu penghargaan. Namun apa yang terlihat, bukan menjadi semangat untuk masa pemba­ngunan ditahun berikut­nya. Malah terlihat lagi apa yang tidak kita harapkan.

Seharusnya pihak Pemerintahan tidak hanya diam dengan kondisi yang terjadi hari ini. Apalagi kota Medan saat ini memasuki umur yang ke 428 ta­hun. Umur yang sudah dikatakan sa­ngat tua sekali. Seharusnya pembe­na­han dalam semua aspek sudah bisa dila­kukan menyeluruh, apa yang men­jadi permasalahan yang ada dilapangan tidak sampai berlarut-larut yang bisa ber­dampak besar dan semakin sulit pe­ngerjaannya.

Permasalahan yang terjadi dilapa­ngan bisa saja teratasi, asalkan pihak Pe­merintah dan masyarakat kota Me­dan bisa saling bekerjasama dan sama-sama bekerja. Bijak melihat kondisi yang ada dilapangan, sebagai contoh bahwa buruknya drainase seolah men­jadi pekerjaan tahunan yang harus dise­lesaikan hal ini tentunya akibat dari perilaku masyarakat yang membuang sampah sembarangan dan pihak pe­me­rintah tidak sering menge chek se­cara rutin gorong-gorongnya, para pe­da­gang yang enggan menggeser barang dagangannya karena pemerintah tidak menyediakan tempat yang nyaman untuk para pedagang berjualan.

Melalui Hut kota Medan yang ke 428, sudah seharusnya kota Medan bisa berbenah ke arah yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Jangan sampai kota Medan mendapat julukan untuk ke­sekian kalinya. Cukuplah sudah, kita juga sebagai masyarakat yang bermu­kim di kota Medan merasa malu dengan apa yang terjadi. Bukan saja ketika kita berada di kota Medan, akan tetapi se­dikit banyaknya akan terasa tersing­gung bila orang lain mengatakan demi­kian kepada kita saat berada di luar. Semoga saja kota Medan bisa berbenah ke depannya. ***

Penulis adalah Alumni LPM Dinamika dan Relawan Go River Indonesia.

()

Baca Juga

Rekomendasi