Oleh: Ahmad Afandi
TEMPAT tinggal yang nyaman adalah idaman bagi setiap keluarga. Akan semakin lengkap andai bisa mendapatkan lingkungan sekitar yang aman beserta masyarakat bermoral baik. Tak perduli dengan sebesar apapun bayaran yang harus dikeluarkan, kita tetap berusaha memenuhinya.
Begitulah ungkapan yang dapat penulis simpulkan dari pengalaman rekan penulis yang baru pindah ke Kota Medan. Letak alamatnya di pinggir Jalan Letda Sujono dan beliau baru pindah satu bulan yang lalu. Ditemankan secangkir teh hangat, ia menuturkan “hanya yang baik-baik saja” dari Kota Medan. Ia menjelaskan keramahan warga Medan dari setiap titik sudut jalan. Tentu, senyum ini selalu mengiringi percakapan hangat kami malam itu.
Tepat 1 Juli 2018 nanti, Kota Medan resmi berumur 428 tahun. Setiap penyair kota ini sibuk menyiapkan puisi terbaiknya dari ikon terbaik pula. Pejabat di kota ini sibuk memberikan sumbangsih harta, tenaga, waktu atau bahkan sudah menyiapkan sebuah kata sambutan. Setiap karyawan selalu menyediakan senyum terlebar dari aktifitas yang dijalankan di tempat kerjanya sebagai bukti kredibilitasnya.
Lalu para pelajar dengan khidmat mengikuti upacara bendera di sekolahnya senin nanti. Tentu dedikasi yang positif untuk menghargai kota sejuta kesejukan ini. Seakan selalu ditakdirkan baik, ulang tahun Kota Medan dibarengi dengan momentum kemenangan pemimpin provinsi Sumatera Utara. Bagaimanapun, harapan terus mengalir ke gedung-gedung dewan di sana.
Rasanya tak perlu lagi menjelaskan profil letak Kota Medan ke khalayak ramai. Jumlah 14,1 juta jiwa sudah cukup membuktikan status kota terbesar ke-3 di Indonesia. Kota Medan adalah kota yang sangat heterogen. Meskipun secara kolektif penduduk asli ibu kota Sumatera Utara ini adalah etnis Melayu, namun, kota ini justru bermula dari perkampungan yang didirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi dari etnis Karo.
Seiring masa kolonial Belanda, pembukaan perkebunan besar-besaran di pesisir timur Sumatera mengundang suku-suku lain untuk pindah dan mencari penghidupan di Medan. Bahkan perantau dari Tiongkok dan India pun berdatangan untuk mengadu nasib di kota ini.
Menyoal bentuk fisik Kota Medan, umpama sebuah warna, Kota Medan adalah pelangi. Beragam warna yang mencerminkan pembangunan merata di kota ini. Keindahan bangunan bersejarah Kota Medan dirawat dengan baik. Dua bangunan sejarah etnis Melayu, Istana Maimun dan Mesjid Raya Al-Mashun menjadi ikon penting senantiasa mendatangkan pelancong dari dalam dan luar kota. Masyarakat Medan pun juga demikian.
Sering kali tidak melupakan rumahnya sendiri dengan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Kota Medan. Makanya Medan tidak pernah sepi. Perekonomian Kota Medan dalam keadaan terus menanjak dengan persentase konsumen pun cukup banyak. Maka tak heran imigran pengusaha-pengusaha dari luar kota berdatangan silih berganti.
Ragam Toleransi
Medan umpama kota yang hanya berisi taman dengan bunga penuh warna-warni. Struktural, Medan berisi masjid, klenteng, gereja, serta tempat peribadatan umat lainnya secara berdekatan. Ketika kita mengira hanya akan menemukan mesjid di jalanan kota, kita juga bisa melihat tempat ibadah umat selain muslim berdiri di Kota Medan.
Semua agama, suku dan ras hidup berdampingan tanpa memandang mayoritas dan minoritas. Hidup berdampingan dengan menunjukkan toleransi berupa menghargai ibadah antar umat beragama. Senyum dan ramah tamah masyarakat Medan tergambar dengan jelas ketika bertegur sapa. Saling menghargai semakin ditunjukkan kala tiba hari raya dari agama masing-masing. Tidak ada saling menghujat satu sama lain.
Selain etnis dari Sumatera Utara, etnis pendatang seperti Jawa, Minang, Aceh, Tionghoa, Tamil turut memperkaya kemajemukan kota Medan. Penduduk dari Jawa yang didatangkan secara masif sejak zaman pembukaan perkebunan oleh Belanda akhirnya menjadi etnis dengan populasi terbesar di kota Medan.
Etnis Tionghoa terbesar di Indonesia juga terdapat di Medan. Etnis Tamil dari India bisa ditemukan di kampung Madras (dulu dikenal dengan nama Kampung Keling). Bahkan secara etimologis nama kota ini diyakini berasal dari kata Tamil, Maidhan (Maidhanam), yang berarti tanah lapang.
Etnis Tamil dari India juga terbilang majemuk. Mereka ada yang memeluk agama Hindu, Sikh, Islam dan Katolik. Gereja Katolik Annnai Velankani berarsitektur seperti kuil India. Kuil Shri Mariamman merupakan kuil Hindu terbesar di Sumatera Utara. Sedangkan beberapa gurdwara (tempat ibadah agama Sikh) juga dapat ditemukan di berbagai tempat di Medan. Medan, bahkan menjadi kota dengan jumlah penganut Sikh terbesar di Indonesia. Keragaman yang demikian telah menjadikan Medan sebagai inspirasi bagi penerapan toleransi dan pluralisme. Kota yang sejak awal amat beragam ini adalah salah satu warisan budaya bagi bangsa ini.
Orang-orang yang belum mengunjungi Kota Medan akan beranggapan bahwa masyarakat di kota ini terkenal sangar serta cenderung mudah marah. Memang, dilihat dari logat bahasa masyarakat Medan mengindikasikan hal serupa dengan pendugaan orang-orang banyak. Bahwa Medan kejam, kasar. Sebab dominasi masyarakat batak masih sangat kental di tengah-tengah kota. Gaya bicara orang Batak tegas dan jelas dalam menyampaikan kata per kata. Dengan nada yang jelas, suara yang dihasilkan lenih besar dari perkiraan pendengarnya. Sehingga seseorang yang belum biasa mendengarnya memunculkan asumsi demikian.
Ragam bahasa masyarakat Medan mencerminkan kedaulatan kota. Berisi sejumlah etnis, menjadikan ragam bahasa di Medan menjadi ciri khas sendiri. Misalnya, orang Medan akan mengatakan sepeda motor dengan sebutan kereta. Mobil dengan sebutan motor. Suatu kebalikan bahasa yang biasa dimaknai sebagai suatu pembodohan oleh orang selain Medan. Tapi di sanalah letak kespesialannya. Orang akan mudah memahami bahwa bahasa tersebut hanya dimiliki oleh orang Medan. Belum lagi istilah “ketua” di Kota Medan selalu diantu. Yang menjadi panutannya akan dipanggil dengan sebutan ketua.
Melalui kebiasaan sederhana tersebut tak heran masyarakat di dalam Kota Medan lebih mudah menjalin hubungan selayaknya keluarga sendiri.
Baik logat bahasa yang terucap atau bahasa yang digunakan orang-orang Medan dianggap sedikit brutal, namun masyarakatnya tetap menjunjung nilai kemanusiaan. Bahkan orang-orang Medan yang dianggap sangar sangat mudah diambil hatinya dan menjadi saudara jika sudah sangat dekat. Ramah, murah senyum dan mudah berterima kasih kepada orang lain menjadi poin yang menggembirakan jika ada pendatang baru di kota ini.
Sebagai sambungan dari ungkapan rekan penulis dengan seluruh kegembiraannya tinggal di Kota Medan, penulis hanya menyelipkan harapan yang sama-sama kami doakan malam itu. Tentu, kita tidak mengharapkan perubahan kearifan lokal Kota Medan, hanya singgunangan kecil untuk pemipin baru di Sumatera Utara agar terus memenuhi kesejahteraan masyarakat Medan serta Sumatera Utara. Dan semoga masyarakat Medan semakin dewasa dalam mengahadapi semua permasalahan. Kita doakan bersama-sama.***
Penulis adalah Mahasiswa Perbankan Syariah Universitas Potensi Utama Medan