MENCARI ilmu adalah sebuah kewajiban bagi setiap orang. Terlebih ilmu-ilmu agama yang menjadi kunci sukses dan kebahagiaan di dunia hingga kelak di akhirat. Kewajiban mencari ilmu di sini berlaku sepanjang kita masih menghirup udara di dunia ini. Itulah mengapa, ada pepatah bijak yang mengatakan, “belajar sepanjang hayat”. Belajarlah selama hayat masih dikandung badan.
Berbekal ilmu pengetahuan, setiap orang dapat menjalani kehidupan ini sesuai aturan yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Dengan terus belajar, kita jadi semakin tentang apa saja yang seharusnya dikerjakan dan menjauhi setiap hal yang dilarang oleh-Nya. Hal yang mesti dipahami bersama, bahwa Tuhan memberikan beragam aturan itu bukan untuk mengekang para hamba-Nya, melainkan untuk kebaikan dan kebahagiaan kita semua.
Berbicara tentang kewajiban mencari ilmu, dalam novel karya Susan Arisanti ini dikisahkan tentang lika-liku Nawaila, seorang gadis remaja dalam mencari ilmu di sekolah sekaligus menimba ilmu-ilmu agam di pondok pesantren. Mulanya, Nawaila tak pernah berpikir akan menjalani kehidupan di pondok pesantren. Semua berawal saat kedua orangtuanya mengetahui Nawaila berpacaran di sekolah. Tak hanya berpacaran, Nawaila juga termasuk anak yang bandel. Suka keluyuran dan membolos.
Maka, orangtua Nawaila pun bertindak tegas. Meminta Nawaila keluar dari sekolah dan memasukkannya ke sekolah yang ada fasilitas pondok pesantrennya. Dengan harapan perilaku putrinya itu berubah. Tentu saja Nawaila merasa sangat kesal dan menolak keras keinginan kedua orangtuanya itu. Tapi apalah hendak dikata, ia tak mampu melawan kehendak kedua orangtuanya.
Nawaila pun akhirnya melanjutkan sekolah sekaligus mondok di luar kota. Dengan berat hati ia pun meninggalkan segala fasilitas dan kemewahan dari orangtuanya. Dan betapa terkejutnya Nawaila ketika di pondok pesantren tersebut justru ia malah dipertemukan kembali dengan mantan pacarnya. Sungguh Nawaila tak mengira bila Harris, mantan pacarnya yang pendiam itu ternyata adalah putra kiai sepuh di pondok tersebut.
Nawaila yang semula ingin segera move on dari masa lalunya bersama Harris, justru kemudian dihadapkan sebuah pilihan yang sulit. Ternyata move on itu terasa sangat sulit bagi Nawaila. Seringnya bertemu dengan Harris, membuat benih-benih cinta kembali bersitumbuh subur dalam hatinya. Namun, ia harus menelan kekecewaan yang dalam saat mengetahui bahwa Harris sudah dijodohkan dengan Kintan, gadis muda yang juga mencari ilmu di pondok tersebut. Sialnya, Kintan tinggal satu kamar dengan Nawaila.
Novel remaja ini cukup menarik dan meninggalkan pesan moral dan hikmah yang berguna bagi generasi muda di negeri ini. Salah satu pesan penting dalam novel ini adalah; bahwa orang baik itu tidak dilahirkan, tapi dibentuk, berproses, dan akhirnya ia bisa disebut sebagai insan kamil atau manusia yang sempurna.
Peresensi: Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen