Oleh: Azmi TS. ALAM SEMESTA yang terbentang maha luas ini buat perupa adalah tempat untuk menuangkan segala keindahan dan kedamaian. Banyak hal yang bisa mereka ungkapkan tentang miniatur alam semesta, ke dalam sehelai kain bernama kanvas. Hal ini mengingatkan tentang beberapa perupa sering melukis lanskap fenomena alam, flora, fauna hingga epos.
Belum semua lanskap alam itu cocok dan pas buat perupa merekam semua tentang hal itu. Paling sering lanskap alam yang selalu dijadikan arena adalah Bali. Dengan semua keajaibannya, kawasan ini menjadi magnit hebat di Indonesia. Alam Bali banyak menyimpan kisah dari yang tradisional, hingga modern tanpa pernah masyarakatnya melenyapkan ciri lokal (klasik).
Ciri lokal (klasik) alam Bali dengan ritual sampai kehidupan masyarakatnya jadi satu kesatuan, disebut kesenian tersendiri. Akhirnya perupa Indonesia ketika menetap di Bali seakan tertarik ke dalam pusaran lanskap alam itu. Banyak upacara keagamaan (ritual) seperti ngaben, tarian, potret dan cara berbusana orang Bali pun jadi sasaran empuk dilukis.
Perupa yang jadi amsal adalah Gunawan Bagea, Cris Suharso, I Made Sinteg, Hasim, Saiman Dullah dan Roger San Miguel. Pelukis asing juga banyak melukiskan tentang aktivitas sekelompok orang sedang bertaruh untuk sang jagoan “ayam”.
Mereka sungguh-sungguh untuk menuangkan ke atas kanvasnya terkait ritual tadi. Medium yang dipakai pun beragam. Ada cat minyak, cat air, pastel atau campuran.
Menariknya Cris Suharso justeru menyalin lanskap alam itu dengan banyak keunikan-keunikan. Antara lain dengan sekelompok orang dengan cerita di baliknya. Boleh dibilang lukisan cat airnya, merupakan lanjutan dari gaya realis-impresionise. Selain berisikan simbol tertentu lukisan bergaya ini lekat dengan label keindahan dan kedamaian.
Berbeda dengan Gunawan Bagea cucu dari pelukis Hendra Gunawan. Dia lebih menonjolkan figur-figur Bali, tapi tidak berada jauh dari gaya sang kakeknya. Dari sisi warna dia memang lebih mentereng. Semua dalam goresan garis yang tegas dan kokoh. Cara mereka menampilkan keindahan dan kedamaian juga sangat tertata rapi pada lukisan I Made Sintag. Bahkan dia sangat menguasai episode seluk beluk cerita klasik Bali berupa epos.
Lukisan lain yang mengeksploitasi alam Bali dari perupa, itu identik dengan cerita khayal, folklor, hingga epos. Jadi bisa pula perupa ini signifikan lini senilukis Indonesia dari penggayaan bentuk ‘realisme-impresionionis’. Walaupun saat ini lukisan yang bergaya ini sudah lama tak dilirik, tapi nyatanya selera publik yang menentukan.
Lukisan lukisan bergaya realisme-impresionis juga banyak dikoleksi dan terpajang di museum dan galeri di belahan bumi ini. Lukisan lanskap tak hanya mengungkap tentang alam semesta, tapi juga menggambarkan budaya termasuk tentang epos. Kekurangan penghayatan terhadap lanskap alam seperti merusak dan menghilangkan keindahan, tentunya mengabaikan sinyal keseimbangan.
Kebiasaan untuk tak bisa menjaga segala apa yang tersedia dari keseimbangan alam, cepat atau lambat menuai kehancuran. Ketika kesimbangan alam terus diabaikan yang jadi korban adalah generasi penerus.
Peristiwa tak terduga berupa duka pun bertubi-tubi menghantam. Marilah menempa diri sejenak untuk merenungkan mendeteksi sinyal awal dari alam itu agar tak menjadi murka.
Lukisan yang di contohkan ini bukan bermaksud menyakralkan, tetapi melihat dari sisi keindahan rupa. Banyak hal lain yang bisa menyuarakan atau menggelitik rasa simpati terhadap lanskap alam serta kemurkaan. Mungkin saja kemurkaan adalah cara alam untuk menyediakan berjuta pesan tentang rasa suka berikutnya.
Jadi jangan cepat berburuk sangka terhadap murkanya Tuhan Maha Pencipta, untuk mengingatkan makhluk ciptaannya di muka bumi nusantara ini. Petiklah hikmat dan keikhlasan menerima takdir dan memetik pelajaran untuk sinyal kemurkaan itu, bukan melawan hakikatnya. Sinyalnya jelas. Alam telah memberi lebih tanpa meminta balas atas jasa dari yang berlimpah ruah itu!