Apalagi Si Sariburaja

Oleh: Marina Novianti

SIAPA namamu?”

“Kenapa kau tanyakan lagi, Ito?”

“Sebutkanlah. Aku suka men­dengarmu menyebutkan nama­mu.  Sebutlah lagi.”

Boasa? Kenapa kau suka? Kau kan sudah hapal namaku.  Da­lam tidurmu semalam pun, kau panggil-panggil aku.  Pada­hal aku di sebelahmu.”

“Ah.  Sudahlah.  Sebutkanlah. Tak pernah cukup bagiku men­de­ngarnya sekali, dua kali, bera­pa kali  pun!”

Bola matamu sarat kegemas­an, ketaksabaran, tumpah gel­egak cinta. Untukku, semoga ha­nya untukku! Aku benar-be­nar rindu mendengarmu bercerita tentang namamu, Pareme.  Le­kat-lekat kutatap matamu, tak sabar menantikan cericit burung sawah yang melantun dari bibir­mu. Di sini, di hutan Sabulan ini.

“Baiklah.  Aku Si Boru Pare­me.  Ompung doliku langit. Om­pung boruku mentari. Amangku angin.  Inangku bumi. Aku ila­lang. Batangku menari bersama angin. Akarku menyusu pada bu­mi. Kau, Saribu Raja, kau bela­lang. Melompat-lompat kau keli­lingi aku. Kau gerigiti seludang­ku, hingga meliuk kegelian.  Hi­jaumu, hijauku, bersatu oleh pen­dar sinar ompung kita.”

Lirihmu bukan hanya mem­bu­atku merinding. Seluruh ram­butmu turut meliuk, seolah men­jelma jadi ilalang, seperti yang kau ceritakan.  Pareme, Pareme! Saribu Raja namaku, seribu rasa­ku untukmu.

Bahkan dengan perutmu yang membuncit oleh kandungan de­lapan bulan, kecantikanmu se­ma­kin perempuan. Kau meman­carkan sinar kehidupan dua in­san, dagumu tengadah menan­tang siulan bambu berduri dan ker­lip mata binatang buas di seki­tar kita.

Sejak kita tumbuh besar ber­sama, sudah kusadari, kau adalah separuh tondiku. Bukan hanya ka­rena kita silinduat marporhas. Bukan karena aroma keringatmu saat menumbuk beras. Bukan li­uk tubuh liatmu manortor de­ngan iringan gondang. Bukan leng­king nyanyian burung sa­wahmu saat bersembah pada le­luhur kita. Bukan!

Dagu keras kepalamu itulah yang selalu membuatku terpeso­na. Hitam bola matamu yang me­lebar saat kau menginginkan sesuatu; dan memang, cepat atau lambat, pasti kau dapatkan. 

Kau, Pareme, selalu membu­atku menoleh dua kali padamu setiap kali hendak membuat ke­putusan.  Bahkan saat aku dan se­rulingku menaikkan somba-somba untuk Ompung Debata Mula Jadi na Bolon, suara Om­pung berbisik di telingaku, ”Ma­inkan yang bagus! Jangan ber­henti bersuling sebelum dagu Pa­reme ikut terangkat ke langit.”

Ingatkah kau malam saat ba­pak kita Guru Tatea Bulan ma­rah, karena kau ketahuan berma­in-main dengan si Homang?

Da­lam gelap, diam-diam ku­jilati butir air mata yang lolos da­ri pelupuk mata. Sekeras apa­pun kupaksa agar tak menangi­simu. Saat tubuhmu terlempar ke rumput, rambut panjangmu ter­urai menutupi dagu kayumu, aku tak tahan lagi. Kubawa seru­lingku berlari menjauh, ke pun­cak Pusuk Buhit.  Di sana, kutiup segenap amarah menuju bintang-bintang. Dalam klimaks, seruling kulemparkan ke langit, kuhun­jam­kan pada bulan, sambil ber­teriak.

”Untuk apa lagi aku berseru­ling? Siapa yang hendak kuman­terai agar mengangkat dagunya pa­damu, Ompung? Sudah tertun­duk dia! Dagu bercahaya itu, ki­ni merapat pada dada berisi luka! Oooi!”

“Ambil serulingmu.” Suara Om­pung Mula Jadi na Bolon menggelegar di pendengaranku.

“Ambil serulingmu, jaga ba­ik-baik. Bukan hanya lagu yang terlantun darinya. Nada-nada se­rulingmu memanggil roh kekuat­an dan penghiburan dari langit nomor tujuh.  Ibotomu Si Boru Pa­reme adalah kecintaan semua penghuni langit. Bila dia ber­gembira, pintu-pintu langit ber­derak terbuka menumpahkan pa­su-pasu bagi tanahmu.”

Pareme, selama ini kau selalu jadi penentu arah langkah, pi­lihan keputusanku. Malam itu di puncak Pusuk Buhit, aku tersa­dar: hati dan mata Ompung Mula Jadi na Bolon pun tercondong padamu, Ito!

Ketika Bapak kembali meng­a­muk, meraung pada langit me­ngutuki perutmu yang membun­cit, mana sanggup hatiku meli­hatmu hancur? Mana sampai tondiku membiarkanmu me­nang­gung amarah Bapak sendi­rian?

Waktu Bapak menjambak rambut panjangmu yang kusut masai. Waktu Bapak menampari wajah piasmu yang sembab. Waktu piso gaja dompak Bapak tinggal sejengkal lagi dari perut­mu. Apa yang bisa kuperbuat, selain melompat dan melindu­ngi­mu?

Unang sai muruk ho, Bapa! Unang tu boru mi. Tu ahu baen, Bapa. Ahu do i. Ahu do i!”

Angin tertegun di langit Si­anjur Mula-mula. Ujung piso Ba­pak membeku tepat di kulit wa­jahku. Perlahan asin darah dari kulit yang terbelah sayatan piso, mengisi sudut bibir pecahku. Pertanda aku belum mati ditusuk Bapak.

Hal pertama yang kulihat ada­lah kelam mata Bapak menom­bak jiwaku dalam-dalam. Suara pertama yang kudengar adalah sedu-sedanmu, Pareme. Hanya su­ara itu yang terus terngiang di kupingku. Pun saat kita berdua terseok digiring mereka yang diperintah Bapak  membinasa­kan kita, dua pendosa. Ketika me­reka akhirnya memilih tidak membunuh kita. Abang dan ka­kak kandung mereka. Ketika mereka meninggalkan kita sete­ngah telanjang di tengah hutan Sabulan. Dengan membawa ulos kita yang mereka lumuri darah kam­bing, sensasi pertama yang akhirnya terasa oleh inderaku ada­lah dingin. Dingin yang me­nu­suk hingga jantung.

Kita dibuang, Pareme. Kau, Boru ni Raja, si Rumondang Bu­lan, dibuang ke pelosok Sabulan. Kita dibuang, seperti abang ter­tua kita Si Raja Uti. Abang dibu­ang karena tubuhnya dianggap cacat di mata halak sahuta kita.

Kita, dibuang karena tondi kita dianggap cacat oleh mereka. Aku tahu, Ito, selama kita masih bersama. Kau dan bayi dalam kandunganmu tak akan pernah bi­sa hidup tenang. Karena aib yang mereka pasangkan pada kita, akan terus hidup di hati mereka. Selama mereka melihat kedua wajah kita yang serupa; karena kau memang kembaran­ku, itoku. Apa yang harus kula­kukan, untuk menjamin kau dan anakmu, hidup? Apa menurut­mu?

Karena ketika Si Raja Uti da­tang dalam wujud babiat telpang, seketika aku sadar. Kau dan anak­mu akan dijaganya. Abang kita tahu caranya melindungimu dari segala makhluk di Sabulan.

Anak kita akan belajar cara ber­tarung monsak seperti hari­mau darinya. Aku, hasian? Aku hanya membuat hidupmu terpa­par bahaya. Semua yang melihat kita bersama akan teringat ama­rah Bapak. Bahkan anakmu yang masih dalam kandungan, takkan pernah menganggapku sebagai bapaknya. Karena aku memang bukan.

Dia akan memandangku se­ba­gai laki-laki yang telah me­nyusahkan hidup kalian berdua. Jadi, Pareme, apa lagi yang bisa kuperbuat, selain meninggalkan­mu di tengah Sabulan, dalam pen­jagaan Babiat Telpang?

Tiga saja permintaanku, Ito. Per­tama, namai anakmu Si Raja Lontung. Padanya bermuara angin dari seluruh penjuru, bah­kan lebih. Bukan delapan, tapi sembilan. Kedua, simpanlah cin­cin peninggalan keluarga kita, yang sempat kubawa dari peti penyimpanan bapak kita Guru Tatea Bulan.

Berikan pada Si Lontung saat dia dewasa nanti. Cincin ini akan memberinya petunjuk tentang is­trinya. Ketiga, Pareme, kuatlah. Kau perempuan, ibu dari si sia sa­da ina. Walau cadas jalanmu, walau marsak jiwamu, ketahui­lah: ompung kita Mula Jadi na Bolon takkan pernah mengizin­kan sembilan marga dilahirkan rahim biasa. Kau perempuan pi­lihan, Pareme.

Sabulan tak pernah seindah saat kau hidup di dalamnya. Si­anjur Mula-mula padam cahaya­nya sejak jejak kaki rusamu ter­hapus di sana. Seluruh tano na uli ini, hidup mengada dari te­tesan air mata, peluh dan da­rahmu, kembar dampitku.

Aku, Si Saribu Raja, terlahir pengembara. Aku dan seruling­ku, punya janji dengan Debata: menceritakan kisah mula-mula pada dunia. Sesekali, saat pur­nama, pandanglah ke langit utara, sendengkanlah telinga. Di sana akan kau lihat dukaku ter­gantung. Akan kau dengar alu­nan andung-andung. Untukmu, hanya untukmu, perempuan ber­dagu kayu.

MN, Juni 2018

Keterangan:

Ito = panggilan untuk lawan jenis yang sebaya atau bersaudara

Boasa = mengapa

Ompung doli = kakek

Ompung boru = nenek

Amang = bapak

Inang = ibu

Tondi = jiwa

Silinduat marporhas = kembar dengan jenis kelamin berbeda

Manortor = menari

Somba-somba = kidung puji-pujian untuk leluhur

Unang sai muruk ho, Bapak! Unang tu boru mi. Tu ahu baen, Bapak. Ahu do i. Ahu do i! =

Jangan kau marah, Bapak. Jangan marah pada anak perempuanmu. Marahlah padaku, Bapak, Aku yang salah. Aku yang salah!

Piso gaja dompak = senjata khas Batak bergagang bentuk gajah, dianggap sakral dan hanya digunakan mereka yang memiliki kemampuan sakti

Rumondang Bulan = bulan yang bersinar terang

Halak sahuta = sanak saudara sekampung

Babiat telpang = harimau pincang

Monsak = ilmu bertarung khas Batak

Si sia sada ina = Ibu yang satu memperanakkan sembilan orang

Marsak = kesedihan mendalam

Tano na uli = tanah yang indah

Andung-andung = kidung ratapan

()

Baca Juga

Rekomendasi