Maestro Suling dari Palipi

Oleh: J Anto

SENI musik Batak beruntung punya maestro seperti Marsius Sitohang (65). Tumbuh dan besar sebagai seniman opera batak sejak 1969, ia tak hanya dikenal sebagai maestro sulim (suling), tapi juga tak lelah mengajarkan ensambel gondang batak kepada kaum muda. Sebuah upaya agar gondang batak tak luruh sebagai identitas budaya orang Batak.

Pada 1981, masa kejayaan grup-grup opera batak mulai pudar. Pertunjukan musik, teater, dan  nyanyian yang dilakukan berpindah dari satu kampung ke kampung dalam siklus waktu panjang, mulai terdesak berbagai hiburan kesenian yang bisa ditonton gratis masyarakat di televisi. Juga kemunculan pertunjukan ke­senian modern seperti keyboard. Belum lagi kemunculan video tape, disusul video compact disk, dsb.

Para seniman rakyat yang dulu hidup bak kaum bohemian, lalu kembali ke tengah masyarakat. Ragam pekerjaan dilakoni. Ada yang jadi sopir, buruh bangunan, berdagang, dsb. Saat jaya, terdapat 43 grup opera batak di Su­mut. Marsius Sitohang adalah salah satu  bintang musik panggung opera.

Ia bermain pada grup Opera  Batak Dos Roha pimpinan Uhun Sitohang, yang tak lain pamannya sendiri. Ia juga  di grup Saut Cinta Nauli, yang didirikan ayahnya, Mangumbang Sitohang. Uhun Sitohang dan Mangumbang Sitohang sebelumnya juga pemusik pada Opera Tilhang Parsahapi pimpinan Tilhang Gultom, yang disebut-sebut sebagai perintis opera batak.

Becak Dayung

Saat pensiun sebagai pemusik opera batak, Marsius Sitohang memilih tinggal di Kampung Martoba, Medan Amplas. Tanah lapang di Kampung Martoba adalah pentas terakhirnya. Seorang marga Sitohang di situ menawari tinggal di kampung itu. Ia tak menampik. Saat itu ia sudah dikaruniai 2 orang anak. Selain karena era kejayaan opera batak sudah berakhir, ia juga ingin anak-anaknya,  'makan sekolah'. Tak seperti dirinya.

"Saya  hanya sekolah sampai kelas 2 SD karena keasyikan main opera batak," tutur Marsius, Senin (6/8). Ia lalu memilih jadi tukang becak dayung. Sebuah pekerjaan yang tak menuntut persyaratan pendidikan, hanya ketrampilan mengayuh pedal sepeda dan kekuatan otot.

Becak disewa dari seorang juragan becak. Tiap hari ia harus setor Rp2.000 kepada pemiliknya. Dalam sehari ia umumnya bisa mengantongi penghasilan Rp5.000. Dipotong setoran, ia bisa membawa pulang ke rumah Rp3.000.

Ia biasa mangkal diseberang Mesjid Raya Medan. Dulu sebuah pangkalan bus antar kota, lalu  berubah jadi plaza. Kurang lebih 4 tahun  membecak, sebuah peristiwa lalu mengubah jalan hidup Marsius.

Suatu hari, bersama penarik becak lain, mereka berkumpul di kedai tuak dekat Stadion Teladan. Lazimnya kedai tuak, di situ orang tak hanya minum tuak atau bermain catur, atau asyik kombur. Tapi juga bersenandung sembari diiringi petikan gitar. Saat itulah ia menunjukan kemahiran bermain suling. Diam-diam seorang lelaki memerhatikan permainannya. Usai main,  lelaki itu menghampiri Marsius.

"Ayo gabunglah main sama grup musik aku, nanti kalau ada panggilan, bisanya kau main sama kami?"

"Bisa," jawab Marsius spontan. Lelaki itu, M Marpaung. Rupanya ia pimpinan grup musik Pirtondi Martogu. Sebuh grup musik yang kerap tampil di pesta-pesta adat Batak. Sejak itulah Suling Marsius kembali berbunyi. Jika ada panggilan main, ia tak menarik becak. Dari bermusik  ia bisa mengantongi honor Rp3.000 sampai Rp 4.000 sama kalau ia menarik becak seharian.

Dosen Luar Biasa

Pada 1985, Pirtondi Martogu diundang main ke Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Saat itu seingat Marsius diadakan seminar musik tradisional Batak. Pesertanya para dosen dari beberapa perguruan tinggi seperrti USU, Universitas HKBP Nomen­sen, dan IKIP Negeri Medan. Usai bermain peserta seminar meminta pemain yang berani memeragakan cara memain­kan setiap ensambel gondang. Ternyata hanya Marsius yang berani tunjuk tangan.

Lalu satu persatu ia memainkan taganing, hasapi, serune, dan suling. Saat memainkan suling, Marsius membawakan lagu Andung-andung, Pinasa Sidungdungon, dan Did­ang-didan. Tak lama setelah bermain di TBSU, suatu hari M Marpaung tergopoh menemui Marsius  di pangkalan becaknya. M Marpaung menun­jukkan sebuah surat. Isi surat itu meminta agar  Marsius ke Kampus USU bertemu dengan Rizaldi Siagian.

"Ayolah kita segera ke  kampus!”

"Urusan apa, Pak?”

"Nggak tahulah aku, ayolah kita ke sana. Mana tahu urusan uang."

Vespa  milik M Mar­paung pun lalu distater, lalu me­laju ke arah Kam­­pus USU di Padang Bulan. Mereka pun bertemu Kepala Ju­ru­san Etnomusikologi USU, Rizaldi Sia­gian. Setelah berkenalan, Rizaldi Siagian lalu berkata, "Saya minta tolong, kalau bisa Bapak membantu mengajar kami dulu di sini."

Marsius terkejut, nyaris terlonjak men­dengar permintaan itu. "Aku tak bisa tulis-menulis. Mana bisa aku, Pak. Menulis aku nggak bisa."

"Oh, bukan menulis, tapi Bapak praktik langsung."

"Bagaimana praktik langsung?"

"Kalau Bapak tiup suling, Bapak tunjuk­an ke mahasiswa, kayak begini caranya, itu saja bilang sama mahasiswa. Nggak ada menulis not lagu. Tapi honornya sedikit."

"Oh kalau begitu bisa, soal honor tak apa-apa, yang penting demi perkembangan musik tradisional Batak."

Begitulah sejak itu (1985), Marsius yang tak bisa baca tulis itu lalu menjadi dosen luar biasa di Program Etnomusikologi USU. Ada 20 mahasiswa yang diajarnya, salah satunya adalah Irwansyah Harahap, yang kemudian dikenal sebagai seniman dan komposer. Ada juga Ben Pasaribu musisi terkenal, Ritaonhy Hutajulu, dan Thompson HS, yang sejak 2000 dikenal sebagai  penggerak revitalisasi opera batak.

Ia mengajar 2 kali sepekan. Honor awalnya Rp170 ribu, lalu seiring waktu naik menjadi Rp1,2 juta dan terakhir Rp2,2  juta. Enam bulan setelah mengajar, ia diundang bermain di Kementrian Kehutanan RI di Jakarta. Di situ ia juga berkenalan dengan Mendikbud (waktu itu), Fuad Hasan.

"Kalau ke Medan, cari saya, pesan suling," tuturnya. Di kampus Rizaldi Siagian juga menugaskan Marsius mengum­pulkan kembali sejumlah pemusik eks opera batak. Ia lalu keliling  ke sejumlah daerah. Lalu terkumpulah "Sapeltek" Kaladius Simbolon (Siantar) pemain sarune etek, Roi Sagala (Belawan), Osner Gul­tom (Porsea) pemain sarune bolon, Mar­nginar Sitorus (Laguboti) pemain taganing, dan Sarikawan Sitohang (Binjai) pemain hasapi.

Keliling Negara

Begitulah  dipimpin Rizaldi Siagian, yang juga ikut bermain sebagai pemusik,  me­reka melanglang ke sejumlah negara, se­perti Belanda, Swiss, Uzbekistan, Australia, Irlandia, Korea Selatan, Jepang, Ame­rika, dan Jerman.

Pada 1989 mereka tampil di Osaka, di Kota Kochi, kampung halaman Mitsubishi. Lalu pada 1992 mereka tampil memenuhi undangan KIAS di Amerika Serikat. Di sini Rizaldi juga menjadi narasumber kegiatan. Pada1994 mereka diun­dang ke Adelaide Festival dan tahun itu juga  tampil di sejumlah negara Eropa.

"Pokoknya sudah keliling kota-kota di  empat benua, orang mengira saya sudah kaya," ujarnya tertawa. Seiring itu, namanya makin luas dikenal. Ia  banyak diundang bermain di pesta-pesta adat, berduet dengan Sarikawan Sitohang, saudaranya. Jika Marsius dikenal 'raja sulim', Sarikawan dikenal sebagai 'raja' hasapi.

Kehebatan per­ma­in­­an suling Mar­­sius diakui para seniman. Ri­zaldi Sia­gi­an  yang mem­ba­wanya ke kam­pus, me­nilai cara me­mainkan su­ling Marsius menge­jutkan dan sangat liar. Dalam arti ar­ti­ku­lasi, ke­­cepatan dan kontrol ter­hadap per­mainan antarinstrumen gon­dang sangat dikuasai.

"Ia juga bisa ke luar dari melodi dasar gondang hasapi dan melakukan impro­visasi-improvisasi yang memperkuat ar­tikulasi dan memunculkan tensi-tensi dalam bermusik yang diujungnya bisa dise­lesaikan," kata Rizaldi saat dihubungi via telepon, Selasa (7/8). Semua yang dilakukan Marsius, menurut Rizaldi bukan karena ia pernah bersekolah musik. Tapi semata dilakukan secara intuitif.

Marsius mengakui sejak kecil memang sering dibawa ayahnya ikut melihat pertun­jukan opera batak pimpinan Tilhang Gul­tom. Telinganya juga akrab mendengar gon­dang pada acara-acara adat saat masih tinggal di Palipi. Banyak repertoar musik gondang yang mengiringi acara-acara religi melekat di benaknya. Itu membuatnya bisa mengiringi lagu apa saja secara spontan.

Sebagai pemusik, ia juga tak menampik kehadiran alat musik digital. Semisal peng­gunaan keyboard. Apresiasi masya­rakat terhadap gondang batak telah banyak berubah. Pesta-pesta adat orang Batak  kini lebih sering mengundang grup musik modern.

"Kalau mengundang grup musik tradisi, katanya membo­sankan. Pembukaannya sama semua, bikin bosan kata mereka," tutur Marsius. Padahal jika disimak cermat, tiap lagu yang dinyanyikan sebenarnya punya tangga nada berbeda. Namun perbedaan ini tak mudah ditangkap  orang, terlebih orang tersebut baru pertama kali mendengar. Berbeda dengan keyboard.

"Kalau keyboard intronya  bisa dibuat dengan nada dangdut atau pop, itu yang membuat masyarakat lebih suka,"  katanya.

Tiga puluh tahun lebih bermain suling, mengajar, dan mengenalkan gondang batak ke masyarakat, pada 2014 ia mendapat anugerah sebagai salah satu maestro musik tradisional. Tiap tahun, ia mendapat uang apresiasi dari pemerintah, jumlahnya Rp25 juta.

Selain mengajar di Jurusan Etno­mu­si­ko­logi USU Medan, ia juga mengajar kaum difabel di dua sekolah, yakni sekolah difabel di Pasar VII Lubuk Pakam yang dikelola GKPI dan di Titi Kuning yang dikelola Yayasan Karya Murni.

"Aku sekarang bersyukur sudah bisa hidup dari musik, tak lagi marah sama pe­me­rintah,  walaupun tak juga kaya," katanya terkekeh. Marsius dikaruniai 6 anak, 2 di an­taranya sudah meraih gelar sarjana. Seorang anak­nya juga me­ngikuti ki­pra­h­nya se­ba­gai pe­mu­sik tra­disi.

()

Baca Juga

Rekomendasi