Oleh: Fadil Abidin
KONSTITUSI kita mengatur bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Kondisi ini menyebabkan semua warga negara berhak untuk ikut serta dalam memegang jabatan di pemerintahan, termasuk di antaranya menjadi anggota legislatif. Artis, selebritis, seniman, atau orang-orang yang selama ini berkecimpung di dunia hiburan juga berhak ikut mendaftarakan diri menjadi calon anggota legislatif (caleg).
Syarat formal menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota berdasarkan Pasal 240 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu termasuk mudah dipenuhi oleh semua Warga Negara Indonesia. Syaratnya antara lain, telah berumur 21 tahun atau lebih, bertempat tinggal di wilayah NKRI, dapat berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, berpendidikan paling rendah tamat SMA sederajat, dan seterusnya.
Pendaftaran caleg memang telah usai beberapa waktu lalu. Fenomena artis menjadi caleg bukanlah hal yang baru. Di Pemilu 2019 tercatat ada 71 nama artis dari 10 partai politik yang mendaftar menjadi calon anggota DPR RI. Jumlah ini meningkat dibanding Pemilu 2014 yang mengajukan 60 artis dari 9 partai. Dari jumlah tersebut sebanyak 15 orang selebritis yang terpilih sebagai anggota DPR.
Dari 71 artis tersebut, bukanlah semua artis papan atas. Beberapa di antaranya artis lama yang sudah tidak muncul lagi ke publik, ada pula artis pendatang baru. Ada bintang film, pemain sinetron, penyanyi, pemusik, pembawa acara, komedian, mantan atlet ternama, dan lain sebagainya yang terkadang kita bingung mengapa mereka bisa disebut artis atau selebritis.
Jika di pemilu-pemilu sebelumnya Partai Amanat Nasional (PAN) yang sering diplesetkan sebagai Partai Artis Nasional karena banyaknya artis yang mendaftar lewat PAN, untuk Pemilu 2019 situasinya telah berubah. Kini Partai Nasdem menjadi parpol yang paling banyak mengajukan bakal caleg dari kalangan artis.
Ada 27 artis yang mendaftar caleg lewat Partai Nasdem. PDIP ada 13 orang, PKB 7 orang, Partai Berkarya 5 orang, Partai Demokrat 4 orang, Partai Golkar 4 orang, PAN 4 orang, Partai Gerindra 3 orang, Partai Perindo 3 orang, dan PSI 1 Orang.
Faktor Penyebab
Banyak faktor penyebab mengapa para artis tersebut mendaftarkan diri jadi caleg. Secara pribadi, bisa jadi karena ingin alih profesi menjadi anggota DPR. Ada yang ingin tampak lebih terhormat sebagai wakil rakyat sekaligus pejabat negara. Ada juga yang merasa masa kejayaan sebagai artis telah lewat. Ada pula yang hanya coba-coba, tapi tak sedikit isu yang mengatakan bahwa mereka hanya ditempatkan sebagai pengumpul suara belaka (vote getter).
Bagi partai politik, mengusung para artis dalam barisan caleg mempunyai banyak keuntungan tersendiri. Daya pikat seorang artis dinilai bisa diandalkan untuk mendongkrak perolehan suara partai politik dalam pemilihan legislatif (pileg).Faktor popularitas artis jika dikelola dengan baik bisa dikonversi menjadi elektabilitas yang kuat.
Kecenderungan artis yang berkecimpung di dunia politik akan semakin bertambah. Itu akibat dari sistem Pemilu yang dijalankan di Indonesia adalah sistem proporsional terbuka. Sehingga semua parpol akan mencari caleg yang memiliki popularitas tinggi di mata masyarakat.
Pemilu 2019 akan semakin sengit, ada sejumlah aturan baru yang membuat parpol makin sulit untuk bisa memperoleh suara dan kursi. Ada kenaikan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dari 3,5 persen jadi 4 persen. Jumlah parpol peserta pemilu juga bertambah, hal ini mengubah konstelasi politik menjadi kompetisi yang sangat sengit. Untuk lolos ambang batas parlemen 4 persen bukan suatu perkara mudah. Konversi suara jadi kursi juga berubah dari sistem kuota menjadi sistem sainte lague.
Parpol mencalonkan para artis karena alasan pragmatisme yang mendesak. Artis punya persyaratan untuk bisa diterima dengan cepat oleh pemilih. Artis punya modal sosial dan finansial sehingga kerja-kerja pemenangan akan lebih mudah dilakukan artis ketimbang kader-kader yang mungkin perlu bekerja ekstra keras. Jadi, artis dipilih karena posisi strategis untuk jadi pengumpul suara bagi partai di tengah ketatnya kompetisi Pemilu 2019.
Padahal, caleg dari kalangan artis tidak selamanya bisa menjamin menjadi sarana efektif untuk mendongkrak perolehan suara. Pemilu 2014 contohnya, dari 60 artis yang mendaftar, yang terpilih 15 orang. PAN yang paling banyak mengusung artis, perolehan kursi di DPR tidak terlalu meningkat secara pesat. PDIP yang mengusung sedikit artis malah menjadi partai pemenang.
Faktor lain adalah masyarakat juga sudah sadar dan telah melek politik. Mereka lebih selektif dan menggunakan akal sehatnya dalam memilih wakil rakyat. Sehingga artis-artis yang terpilih kebanyakan selain mempunyai modal popularitas, juga punya modal sosial, finansial, dan juga intelektual. Artis-artis seperti ini biasanya akan terpilih kembali menjadi anggota dewan, bahkan tingkat elektabilitasnya mampu mengalahkan tokoh-tokoh politik yang berpengalaman. Contohnya Rieke Diah Pitaloka, caleg artis dari PDIP dari Dapil Jabar VII, mampu meraup suara 255.044 suara, tertinggi di antara semua artis.
Harapan
Kita berharap partai pengusung tidak memilih artis hanya untuk vote getter semata. Tetapi juga melihat potensi dan kapasitas artis tersebut layak atau tidak untuk duduk di parlemen. Partai punya kewajiban untuk membina dan mengembangkan kapabilitas artis sehingga mampu menjalankan tugas-tugas sebagai wakil rakyat dan anggota parlemen yang mempresentasikan aspirasi dan kepentingan konstituennya.
Faktor popularitas artis harus diikuti dengan kompetensi. Hal ini agar tidak dipermasalahkan oleh publik mengapa artis tersebut bisa masuk ke dunia politik. Apabila nanti mereka terpilih menjadi anggota parlemen, tapi tidak mengerti fungsi legislatif itu seperti apa. Tidak punya pemahaman dalam menjalankan fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran, hal ini tentu sangat menyedihkan.
Selain itu, apabila nanti seorang artis sudah resmi menjadi anggota parlemen, maka mereka harus meninggalkan profesinya sebagai pekerja seni. Seorang artis yang masuk ke dunia politik praktis sebenarnya tidak etis punya dua profesi dalam waktu yang bersamaan. Menjadi wakil rakyat bukanlah pekerjaan sambilan yang bisa dikerjakan di waktu senggang. Menjadi wakil rakyat harus sepenuh waktu, sepenuh jiwa, tenaga, dan pikiran.
Seharusnya ada aturan tertulis maupun kode etik yang mengatur agar mereka meninggalkan profesinya sebagai artis. Apalagi buat mereka yang baru terpilih, tidak punya punya background politik, banyak sekali yang harus dipelajari, sehingga kalau sambil mengerjakan profesi yang lain tidak fokus atau terbagi maka akan tertinggal pengetahuannya dengan orang-orang yang punya pengalaman politik yang lebih panjang.
Selama ini ada beberapa artis yang belum mau meninggalkan keartisannya. Mereka masih menerima job sebagai artis, bahkan secara rutin mengisi acara di televisi. Padahal caleg yang terpilih sudah diberi fasilitas dari negara berupa rumah, mobil, aneka tunjangan dan fasilitas serta gaji yang tidak sedikit. Karena itu, artis yang terpilih harus bisa fokus mengabdikan diri kepada negara. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan