Sisi Negatif Kapitalisme dan Korupsi

Oleh: Edo Maranata Tambunan S.H

‘’Efektif dan berhasil tidaknya pene­ga­kan hukum tergantung tiga unsur sis­tem hukum, yakni struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture).’’

Lawrence M. Friedmann

Teori diatas merupakan polemik yang te­ngah terjadi dan di­hadapi bangsa kita, sungguh rumit dan begitu ba­nyak mani­pulasi. Korupsi, kolusi, dan ne­potisme (KKN) sepertinya su­dah me­nga­wal bangsa ini sejak lahir dengan In­deks Persepsi korupsi (IPK) oleh setiap pe­mangku jabatan dari hulu hingga ke hilir. Semuanya sontak menyatu dalam ope­rasi tangkap ta­ngan (OTT) yang dila­kukan oleh KPK.

Tatkala substansi hukum dan struktur hukum yang hadir seolah-olah setengah hati dalam memberantas korupsi. Tam­bah lagi sikap dan budaya pancasilais tidak tercermin sebagai landasan kehi­du­p­an berbangsa dan bernegara, dalam upa­ya membangun bangsa ini lebih baik dan humanis.

Mengutip konsep Segitiga Fraud (Fraud Triangle), korupsi ter­jadi disebab­kan oleh tida faktor; tekanan (pressure), pem­­benaran diri (justification), dan ke­sempatan (opportunities). Dari sisi te­ka­nan, korupsi dapat terjadi karena adanya te­kanan baik dari dalam (internal) mau­pun dari luar (eksternal). Te­kan­an dari dalam dapat berupa gaya hi­dup yang mewah dan masa­lah keua­ngan.

Hal berikutnya adalah pembenaran si­kap. Seseorang mela­ku­kan korupsi ka­rena merasa apa yang dilakukannya ada­lah sesuatu yang salah, dan merasa orang lain juga melakukan hal serupa. Ba­gian terakhir adalah kesempatan. Ke­sem­patan muncul karena pengawasan yang kurang pada suatu sistem. Sistem yang ada dan lemah tidak mampu men­dukung dalam upaya pencegahan mau­pun pengawasan atas tindakan korupsi.

Sisi Negatif Kapitalisme

Sifat hedonisme dan pembangkangan terhadap Negara semakin menggeluti. Ko­rupsi menunjukkan tantangan serius ter­hadap pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan kesejah­te­­raan bangsa. Kapitalisme yang meng­glo­­bal saat ini menjadi seperti rezim im­perialisme. Kapitalisme mengatur ke­hi­dupan bahkan mengatur peradaban ma­syarakat. Kapitalisme menjelma menjadi sua­tu kekuasaan imajiner dalam suatu Ne­gara. Bedanya dengan Negara adalah Ne­gara mem­punyai territorial yang ber­daulat sedangkan kapotalisme tidak.

Untuk mengidentifikasi faktor penye­bab korupsi dan hu­bungannya dengan ka­pitalisme, perlu diketahui terlebih dahulu bagaimana kedudukan kapitalis­me di Indonesia. Dengan memahami stru­k­tur, sifat, atau tipe kapitalisme yang ada di Indonesia maka tidaklah suli un­tuk menghubungkannya dengan korupsi. Se­bagai dimensi lain dari sisi negatif sis­tem kapitalisme.

Kapitalisme di Indonesia adalah ka­pitalisme yang bersifat kapi­talisme per­kon­coan (crony capitalism). Disebut ka­pi­ta­lisme perkoncoan karena dapat di­lihat hubungan erat antara pengusaha-pe­ngu­saha dengan pejabat-pejabat Negara dalam menjalankan praktik kapitalisme­nya. Selain itu, kapitalisme perkoncoan nam­pak pada pembangunan proyek de­ngan tender yang tidak transparan dan ter­tutup. Jika melihat perban­dingan, pro­yek Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang di­serahkan pada rakyat sepenuhnya da­pat selamat dari korupsi, sedangkan proyek Pembangunan Prasarana Pendu­kung Desa Tertinggal (P3DT) yang di­la­kukan dengan tender sering terindi­kasi ada­­nya korupsi.

Sistem Pemerintahan Yang Lemah

Agaknya, bangsa kita sangat sulit melepaskan diri dari pa­rasit korupsi semacam ini. Masih saja ada hambatan, bahkan platform untuk menjadi Negara maju belum terarah secara optimal. Bila menelisik pada sistem pemerintahan Indonesia belumlah begitu apik (sempur­na). Proses perumusan, pe­nyu­sunan, pe­lak­sanaan, pengawasan, dan pertang­gung­ja­wab­an anggaran belum sepenuh­nya dilakukan secara maksimal dan kon­fre­hensif.

Tidak kokohnya hukum tampak pada roda pemerintahan masih dijalankan di­atas terminal korupsi yang justru member ruang untuk melakukan tindakan ko­rupsi. Paling celaka adalah ketika me­lakukan penyusunan undang-undang (UU). Da­lam penyusunan UU, korporasi akan melakukan suap kepada pihak le­gislatif. Anggap saja produk hukum pe­sanan kaum kapitalis. Dengan mengakali per­aturan, maka pengusaha akan bebas da­lam mencari keuntungan melebihi pro­yek pemerintah, bahkan menentukan kaklulasi biaya produksi.

Di Indonesia, sistem pemerintahan ma­sih sangat lemah dan buruk. Korupsi tidak hanya dilakukan dari pemerintah daerah tetapi juga sampai ke pemerintah pusat. Korupsi tidak hanya terjadi pada institusi eksekutif dan legislative tetapi juga pada yudikatif. Sengkrawut korupsi meng­akibat­kan pembangunan mang­krak. ‘’Ta­hun 2018 ada 15 kepala daerah (yang ter­jaring OTT KPK), ‘’ kata K­a­biro Humas KPK Febri Diansyah ke­pada war­­tawan, Sabtu (4/8/2018) dalam detik news.

Korupsi Sistemik

Korupsi di Indonesia dapat dika­te­gorikan sebagai korupsi yang sistemik. Hal itu diilhami dengan maraknya aksi ko­rupsi di tanah air. Di Indonesia, ke­se­luruhan proses apapun yang me­nyangkut pe­nyelenggaraan Negara baik dari awal hingga akhir senantiasa dapat ditemukan adanya indikasi tindak korupsi. Oleh karena itu, menyelesaikan kurupsi di Indonesia dibu­tuhkan perbaikan yang secara sistemik pula, dengan melakukan per­baikan dari dimensi perseorangan, sis­tem hukum dan sistem perekonomian.

Pertama, perbaikan perseorangan. Pen­d­idikan di Indonesia haruslah berda­sar­kan pendidikan Pancasila. Salah satu hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar dalam proses pendidikan adalah Ketuha­nan Yang Maha Esa (sila ke-1). Hal ini me­rupakan modal dasar agar sis­tem pen­di­dikan menghasilkan orang yang tidak ha­nya memikirkan materia­li­tas atau du­niawi tetapi juga memikirkan akhi­rat. Pola pikir yang seimbang antara akhi­rat dan duniawi ini diharapkan dapat me­­no­lak mentah-mentah pemikiran ka­pi­talis­me yang hanya menuntut keun­tu­ngan. Se­hingga, orang tidak lagi ber­orien­tasi pada keuntungan tetapi beralih pada orien­tasi kebenaran, kebaikan, dan kese­jah­teraan.

Kedua, perbaikan dalam sistem peme­rin­tahan. Proses pe­ru­musan, penyusunan re­gulasi dan pertanggungjawaban serta pe­ngawasan (monitoring) dalam ang­gar­an perlu dilakukan evaluasi besar-be­saran. Hal demikian dilakukan untuk me­ngu­rangi adanya celah untuk melakukan ko­rupsi. Bila perlu memangkas birokrasi yang panjang.

Ketiga, perbaikan dari sistem pere­ko­nomian. Sistem per­ekonomian Indonesia seharusnya tidak berdasarkan kapi­ta­lisme. Sejatinya Indonesia memiliki sis­tem perekonomian yang berdasarkan nilai-nilai luhur yang dimilikinya. Sistem per­ekonomian di Indonesia seharusnya sistem perekonomian yang berlandaskan Pancasila, yakni Ekonomi Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan yang bersumber pada ideologi Pancasila sebagaimana tercantum pada sila ke empat yaitu, ekonomi kekeluargaan dan kerakyatan.

Terbukti, proyek IDT yang berdasarkan prinsip Ekonomi Kerakyatan dapat terhindar dari korupsi sedangkan proyek P3DT yang berdasarkan prinsip kapitalis tidak dapat terhindari dari korupsi. Hal ini menandakan bahwa lingkungan atau sistem dalam Eko­nomi Kerakyatan dapat menghindari ter­jadinya korupsi. Dengan implementasi Ekonomi Kerakyat­an, maka faktor dari luar seperti lemahnya sistem atau ling­kungan yang menyebabkan korupsi akan dapat dihindari.

Penutup

Apabila ketiga perbaikan (pendidikan, sistem pemerin­tahan, dan sistem pereko­nomian) telah dilakukan dengan optimal, maka otomatis eksistensi korupsi sebagai be­ban negara akan menghilang dengan sen­dirinya. Dengan demikian episode-episode korupsi yang dilakoni usai sudah. Tidak perlu ada aksi korupsian dikandang sendiri me­ngingat negara ini masih sangat lemah dari berbagai aspek (hukum, politik, ekonomi, budaya, maupun religiusnya). Sehingga as­pek-aspek tersebut harus dibenahi menuju pem­bangunan negara seutuhnya dengan meminimalisir sisi negatif sistem kapitalisme di Indonesia. Semoga. ***

Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca.+sarjana USU Semester II

()

Baca Juga

Rekomendasi