Mencabut Gelar Akademik Pelaku Korupsi

Oleh: Djoko Subinarto

Pencabutan gelar akademik dan ijazah pa­ra koruptor tampaknya layak dipertim­ bang­­kan sebagai bagian dari upaya pem­be­rantasan dan penangkalan korupsi di ne­geri ini.

Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nation Develop­ment Program) mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau we­wenang publik untuk kepentingan pri­badi melalui cara-cara penyuap­an, pe­me­rasan, kolusi, nepotisme, penipuan dan peng­gelapan.

Menurut kajian yang dilakukan Sheila Co­ronel (2002), penyusun buku bertajuk “Investigating Corruption: A Do-It-Your­self Guide”, dilihat dari skala dan in­ten­sitasnya, secara garis besar praktik ko­rupsi dapat dibagi dalam tiga kelom­pok.

Pertama, retail corruption. Yaitu prak­tik korupsi tingkat ringan yang kerap ter­jadi di masyarakat dalam kehidupan se­hari-hari mereka. Contohnya, ketika se­orang pengendara motor terpaksa me­nye­rah­kan sejumlah rupiah sebagai ‘uang damai’ kepada seorang petugas agar ia bisa lolos dari tilang, setelah ter­bukti yang bersangkutan melanggar atu­ran lalu-lintas.

Kedua, petty corruption. Korupsi jenis ini biasanya melibatkan para pejabat pe­me­rin­tah tingkat rendah dan me­nengah yang bekerja di lembaga-lembaga pe­me­rintahan yang bertugas mengurusi dan me­layani uru­san-urusan publik, seperti da­lam soal urusan pajak, penerbitan ser­tifikasi, pengeluaran surat izin atau pelak­sanaan proyek-proyek yang dibiayai dana pemerintah.

Ketiga, grand corruption. Praktik ko­rupsi ini melibatkan keputusan-ke­pu­tusan pemerintah pada tingkat paling atas, yang biasanya melibatkan per­mai­nan politik kelas tinggi dari mereka yang sedang memegang tampuk kekuas­aan.

Korupsi merupakan masalah yang kom­pleks. Ia bersifat multidimensional, baik menyangkut sebab dan akibatnya. S­ecara demikian, korupsi bukan hanya bisa dilihat sebagai masalah struktur po­litik dan kekuasaan semata, tetapi juga bisa dilihat sebagai masalah struktur eko­nomi, budaya, sosial atau pun moral ke­lom­pok dan moral perseorangan.

Selain menurunkan tingkat pertum­buh­an ekonomi, praktik korupsi juga me­rongrong sendi-sendi tata pemerin­tahan yang baik dan berkeadilan. Hal ini pada gi­li­rannya menjadikan wibawa pemerin­tah melorot dan kepercayaan masyarakat ke­pada pemerintah luntur.

Inti dari tata kelola pemerintahan yang baik dan berke­adilan adalah adanya pe­la­yanan publik yang andal. Praktik ko­rup­si menghapus pelayanan publik yang an­dal ini. Kajian yang dilakukan di Bos­nia-Herzegovina, Ghana, Honduras, Indo­nesia dan Latvia menunjukkan ins­titusi-institusi peme­rintahan dengan tingkat korupsi yang tinggi cenderung mem­­berikan pelayanan publik dengan kua­litas sangat ren­dah. Dan kalangan yang paling dirugikan dalam hal ini adalah kelompok masyarakat miskin.

Di sisi lain, praktik korupsi menjadi­kan masyarakat diperlakukan secara dis­kri­minatif di muka hukum. Praktik ko­rupsi me­niadakan prinsip persamaan se­mua war­ga negara di muka hukum. Hu­kum hanya menjadi alat penopang ke­pen­tingan mere­ka yang kuat secara ke­kuasaan dan secara finansial. Lagi-lagi yang harus menjadi kor­ban pertama dalam hal ini adalah ke­lompok masyara­kat miskin yang tuna akses ter­hadap sumber-sumber kekuasaan mau­pun sum­ber-sumber finansial.

Khusus yang menyangkut grand corrup­tion, tentu saja para aktor uta­manya adalah orang-orang yang ber­pen­didikan tinggi. Mereka ini sebagian besar adalah produk perguruan tinggi kita, yang kemudian dinilai oleh sementara kala­ngan patut digugat karena menjadi pro­du­sen koruptor di Indonesia. Lantas, ada­kah yang salah dengan sistem pendidikan kita?

Salah satu persoalan pokoknya bisa jadi berasal dari makin berorientasinya sistem pendidikan kita pada hasil akhir nan pragmatis berupa perolehan nilai, ge­lar atau pun selembar ijazah yang ber­mua­ra pada keuntungan materi. Padahal, pe­pa­tah Latin mengatakan, manusia be­lajar bu­kan untuk memperoleh nilai be­rupa ang­ka-angka yang kadang bersifat re­latif dan subjektif. Juga bukan untuk me­­raih gelar atau menggondol secarik ker­tas bernama ijazah. Belajar itu adalah pro­ses tanpa akhir untuk meraih kemajuan diri insani.

Faktanya, sebagian besar lembaga pendidikan kita-dari tingkat dasar hingga ting­kat tinggi-justru menanamkan ke­ya­kinan bahwa belajar adalah alat untuk mengejar nilai dan surat tanda kelulusan serta penghargaan-penghargaan lain semisal hadiah, pujian atau pun gelar.

Nilai, gelar maupun surat tanda kelulusan itu kemudian dipakai untuk syarat meraih jabatan dan kekuasaan. Parah­nya, karena sejak duduk sebagai siswa hingga mahasiswa pola pemikiran mereka telah berorientasi kepada hasil akhir nan pragmatis, maka tatkala jabatan dan kekuasaan telah digenggam, jabatan dan kekuasaan itu pun lantas hanya sebatas menjadi alat untuk menggapai keuntungan materi demi semata-mata kepentingan pribadi. Tidak lebih dari itu. Sama sekali tidak ada kepentingan lebih besar lagi yang harus diperjuangkan.

Lebih parahnya, orientasi hasil akhir nan prag­matis berupa keuntungan materi itu dibarengi dengan budaya instan yang maunya ingin serba cepat. Kedua faktor inilah yang kemudian men­dorong sebagian pemegang jabatan dan kekuasaan di negeri ini cenderung mengambil jalan pintas dalam meraih kekayaan. Salah satu jurusnya adalah dengan melakukan praktik korupsi.

Jadi, tak perlu heran, meski mereka berpendidikan tinggi, memiliki sederet gelar, mengerti hukum, baik hukum negara maupun hukum agama, mereka sama sekali tidak segan-segan, tidak malu-malu, melakukan praktik korupsi lantaran dorongan ingin serba cepat itulah: ingin cepat kaya, ingin cepat mapan, ingin cepat terpandang.

Didorong oleh kegeraman melihat kenyataan sebagian lulusan perguruan tinggi kita justru menjadi pelaku korupsi, sementara kalangan sejak beberapa waktu lalu mengapung­kan wacana mengenai pencabutan gelar akademik dan pen­cabutan ijazah para pelaku korupsi. Sudah barang tentu, ini gagasan yang bagus yang perlu kita dukung agar bisa terwujud.

Sebagai salah satu bentuk tanggung jawab moral, institusi-institusi pendidikan tinggi kita memang sudah saatnya memiliki keberanian untuk mencabut gelar akademik dan ijazah alumninya tatkala alumni bersangkutan nyata-nyata berstatus sebagai pelaku korupsi. Pencabutan gelar dan ijazah ini diharapkan pula dapat memberikan efek jera kepada para pemegang gelar akademik lainnya untuk tidak coba-coba melakukan korupsi.

Korupsitelah menjadi musuh luar biasa bagi negara kita. Partisipasi seluruh elemen masyarakat dibutuhkan untuk menekan agar virus korupsi tidak terus menyebar dan meng­gerogoti bangsa dan negara ini. Pencabutan gelar akademik dan ijazah pelaku korupsi merupakan salah satu bentuk partisipasi nyata yang dapat diberikan oleh institusi pen­didikan tinggi kita dalam ikut secara aktif mengupayakan pemberantasan dan penangkalan korupsi.***

- Penulis adalah kolumnis dan esais

()

Baca Juga

Rekomendasi