Oleh: J Anto.
MUSIK mengatasi segala perbedaan. Saat lagu Indonesia Pusaka mengalun dari vokal 5 mahasiswa diiringi alunan petikan dawai 9 pemain guzheng dan suara klung-klang klung-klang dari gesekan bambu angklung, ratusan penonton, tak terkecuali Walikota Medan Dzulmi Eldin, seperti terkesima.
"Suara petikan dawai guzheng memang membangun nuansa damai bagi orang yang mendengar." Begitu komentar rata-rata orang. Bahkan beberapa penonton mengaku merasa bulu kuduknya merinding. Terutama saat mendengar lagu Indonesia Pusaka yang mengobarkan semangat patriotisme itu.
Suara dawai yang bak gemercik air pegunungan mengalir berpadu angklung, sekalipun dalam tempo lambat, mampu menimbulkan sensasi tersendiri dalam hati penonton. Adegan itu terjadi pada pentas kolaborasi 9 pemain guzheng dari Program Studi Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya USU, 4 pemusik Jede Music School, dan 4 pemain angklung dari USU.
Pentas kolaborasi itu membawakan 3 buah lagu, Indonesia Pusaka, Subaru dan Mo Li Hua. Tak hanya kolaborasi alat musik, kostum yang mereka kenakan juga memerlihatkan nuansa keragaman sekalipun didominasi merah. Warna yang melambangkan kebahagiaan.
Jika empat pemain puteri guzheng dari Jede Music mengenakan pakaian tradisional perempuan Tionghoa, yakni qi po atau cheongsam, sementara dua pemain puteri dari Prodi Sastra China USU, mengenakan busana gamis, berupa baju terusan memanjang menutupi mata kaki dipadu jilbab. Sedangkan 3 pemain putra, berbusana yang sekilas menyiratkan pada baju koko dan 4 perempuan pemain angklung mengenakan cheongsam.
Pementasan itu menandai pembukaan Kongres Asosiasi Program Studi Mandarin Indonesia (APSMI) II dan Seminar Internasional tentang “Perkembangan Bahasa dan Budaya Tiongkok di Dunia Internasional”. Kedua perhelatan itu diselenggarakan Program Studi Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya USU bekerjasama dengan APSMI pada 19 Juli 2018 di Aula Farmasi, Fakultas Farmasi USU.
Tampil sebagai pembicara dalam acara seminar Gao Yan MA dari Huaqiao University Tiongkok, Director of Language Center National Taiwan Ocean University Keelung Taiwan, Yaying Huang PhD, Rektor Universitas Widya Kartika dan Dirk Buisskool dari Utrecht University Netherland, Dr Murpin Josua Sembiring, SE, Msi.
Sekalipun pementasan itu berlangsung singkat, tak lebih dari 15 menit, namun bagi pelatih dan pimpinan Jede Music (grup musik guzheng di Medan), Ngartini Huang, acara itu punya arti simbolis, yakni mengenalkan guzheng (kecapi Tiongkok) sebagai salah satu musik tradisional Tiongkok.
Guzheng memang bukan sekadar alat musik seperti suling atau gitar. Selain bisa dimainkan sendiri, juga bisa difungsikan seperti orkestra mini. Pemain yang sudah mahir, mampu memainkan kedua tangan mereka secara serentak untuk menghasilkan melodi dan bas.
Guzheng Mulai Berjamur
Ihwal keterlibatan Ngartini Huang dalam pentas kolaborasi, ada kisahnya. Suatu hari di bulan April 2018, ia bertandang ke Kampus USU mengantar puterinya mendaftar SBMPTN di Prodi Sastra China. Saat bertemu seorang dosen yang mengenalnya, ia lalu dibawa ke sebuah ruangan. Bola mata Ngartini mendadak berbinar melihat 4 buah guzheng teronggok di sebuah gudang di Kompleks Fakultas Ilmu Budaya USU.
Gudang itu menyerupai sebuah ruang konser. Full AC dan kedap suara. Segala alat musik ada di situ. Alat-alat musik itu koleksi dari program studi etnomusikologi. Saat mendapat penjelasan dari Sekretaris Program Sastra China USU, Niza Ayuningtyas, alat musik itu sudah lama tak dimainkan, sebagai pemusik, hati Ngartini langsung gundah.
"Wah sayang, padahal guzheng ini bisa kita perdengarkan untuk kebaikan seluas-luasnya," tuturnya. Ia lalu meneliti kecapi-kecapi itu. Beberapa bagian mulai terlihat berjamur. Mungkin diakibatkan suhu ruangan yang lembab dan sekian tahun tidak dimainkan. Kualitas kecapi itu memadai untuk pertunjukan di depan publik. Harganya per buah bahkan ditaksir antara Rp 8 - 9 juta.
Saat bertemu Ketua Prodi Sastra China Muhammad Pujiono PhD, Ngartini menyinggung soal keberadaan guzheng yang beberapa tahun lalu pernah didengarnya. Sayang jika alat musik itu dianggurkan.
"Saya mau mengajar guzheng ke mahasiswa jika Bapak tertarik," ujar Ngartini. Ia teringat pesan gurunya, seorang master guzheng sohor tingkat dunia, Profesor Sun Wen Yan, yang juga pengajar di Shanghai Conservatory of Music. "Bermain guzheng itu bukan untuk kepuasan diri, tapi juga orang lain. Ilmu guzheng juga jangan untuk sendiri, tapi sebarkan untuk orang lain."
Tak butuh waktu lama bagi Pujiano untuk memikirkan tawaran itu. Memorandum ofo Agreement pun segera disiapkan. Ngartini, mulai September 2018 akan mengampu mata kuliah peminatan, seni budaya Tiongkok dan ekstrakurikuler guzheng. Saat Pujiono menantang Ngartini untuk membuat pentas kolaborasi dengan dosen dan mahasiswanya, Ngartini tak menampik.
Padahal, seorang dari tiga mahasiswa yang ditunjuk untuk mamainkan guzheng saat pertama kali ditawari untuk bergabung, Evan Christopel Marpaung, mengaku bingung.
"Guzheng, apa itu guzheng?" Begitu reaksi Evan. Ia ketua mahasiswa Sastra China stambuk 2016. Dua mahasiswa lainnya, Jefry Kennedy Hasibuan dan Antonius Bukit idem ditto. Setelah diberi penjelasan dan diperlihatkan alatnya baru, Evan mengangguk-angguk, sekalipun rasa penasaran masih bersemayam.
"Lo, bukankah guzheng untuk kaum perempuan, apa laki-laki bisa nanti?" Begitulah situasi yang dihadapi Ngartini saat mulai melatih. Padahal waktu berlatih praktis hanya 3 bulan. Beruntung, dua orang dosen yang terlibat dalam proyek itu, Niza Ayuningtyas dan Vivi Adriyani Nasution, sedikit banyak sudah mengenal guzheng meski keduanya belum pernah memainkan.
"Begitu ditunjuk, saya langsung setuju. Soalnya saat kuliah di Universitas Jinan, Guangzhou, teman sekamar saya punya guzheng. Walau saya sebenarnya lebih tertarik ke alat musik erhu," ujar Niza. Erhu adalah alat musik gesek Tiongkok, sejenis biola. Rekan Niza, Vivi yang juga menempuh program pascasarjana di Jinan University, bahkan pernah sesekali memetik guzheng milik temannya, walau tak serius.
Dibatasi rezim waktu, Ngartini membuat siasat. Ia tak meminta kelima pemain 'karbitan', begitu istilahnya, belajar guzheng dari dasar. Mereka tak perlu belajar notasi. Tapi disuruh menghapal melodi dari tiga buah lagu yang akan dibawakan dalam pentas kolaborasi.
Sewa pun Jadi
Beruntung, semangat berlatih kelimanya juga menggebu. Niza dan Vivi bahkan menyewa guzheng tiga bulan untuk dibawa berlatih di rumah. "Kalau hanya berlatih sepekan sekali di Jede Music School, mana cukup? Apalagi kami juga sibuk dengan tugas kuliah, kepanitiaan seminar dan kongres," ujar keduanya.
Sedang Evan dkk, memilih datang ke markas Jede Music School milik Ngartini. Tentu waktunya di luar jam kursus murid-murid. Sebenarnya ada 4 buah guzheng koleksi program etnomusikologi. Sayang karena soal prosedur, tak bisa dipinjam atau dipakai.
Selama berlatih di bawah bimbingan Ngartini, mereka tak hanya disuruh menghafal lagu, tapi juga diajari komposisi badan saat memainkam guzheng. Posisi dan bentuk tangan, termasuk ekspresi wajah mereka saat tampil di depan publik.
"Selain dituntut memiliki kecepatan tangan, saat main kita disuruh senyum serta lihat ke arah penonton, namun di situlah masalahnya," ujar Vivi. Ia mengaku saat bermain, perhatian matanya masih tertuju ke arah dawai-dawai guzheng. Takut salah petik.
Hal ini juga diakui Niza. "Saat saya melihat ke arah penonton, saya jadi lupa harus memetik dawai yang mana. Susah."
Niza, Vivi, dan Ngartini saat ditemui di ruang Progdi Sastra China, Fakultas Ilmu Budaya, USU, Senin (13/8) ditemani M Pujiono, dan puteri Ngartini, Jocelyn Paramita – pemain guzheng yang telah mengantongi sertifikat grade 10 dan Evan Christoper Marpaung.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, pentas kolaborasi itu menurut Niza dan Vivi merupakan awal yang baik untuk mengenal keragaman seni budaya bangsa Tiongkok. Apalagi di Medan, para pemusik guzheng juga elemen dari bangsa Indonesia. Pentas kolaborasi itu memang jadi simbol indahnya keberagaman, baik dalam arti fisik mupun simbolik.
"Musik dari mana saja memang bisa dinikmati siapa pun. Orangtua saya sendiri saat lihat saya berlatih memainkan lagu Indonesia Pusaka, ia langsung berkomentar suara guzheng membuat hatinya terasa tenang, damai...." ujar Vivi.
Begitulah musik memang tak mengenal sekat etnisitas, agama, bahkan ruang. Siapa saja bisa mendengarkan, siapa saja bisa memainkan, syaratnya hilangkan dulu purba sangka!