Bahasa Melayu di Asia Tenggara

Oleh: Shafwan Hadi Umry

BAHASA Melayu di masa lalu dalam pergulatan sejarah telah men­catat betapa dunia Melayu telah me­nem­pa ke­agungannya dari zaman ke zaman. Berbagai kerajaan yang per­nah hadir di wilayah Nusantara te­tap menjunjung bahasa Melayu dan se­kaligus memartabatkan bahasa itu se­bagai lambang jati diri bang­sa. Kuasa bahasa raja-raja Nusantara di­tan­dai pemakaian bahasa Melayu se­bagai bahasa diplo­masi, politik dan ekono­mi.

Beberapa yang menonjol adalah, kerajaan Sriwijaya, Banten, Champa dan Malaka. Dari kera­­jaan itu masing-masing telah melahirkan beberapa figur dan pemikir . Misalnya di Cham­pa, melahirkan tokoh Jaya Indra­war­man I, seorang filosof bijaksana. Sri­wi­jaya memun­culkan tokoh Dharma­pala serta Banten memunculkan Sultan Fatahillah alias Raden Fattah. Sementara di Malaka temyata mela­hir­kan Tun Sri Lanang dan Laksamana Hang Tuah.

Pernyataan daya kreatif bahasa Melayu dalam judul di atas bukanlah sekedar mengada-ada. Istilah cukup tepat dan beralasan, mengingat bahasa Melayu hadir sebagai lingua franca zaman perdagangan rempah-rempah dahulu. Keber­adaan lingua franca tidak sekadar mengatur ejaan, tetapi mendudukkan bahasa perdagangan rempah-rempah menjadi penerjemah gagasan budaya yang paling canggih sampai sekarang.

Tahan Uji

Daya kreatif bahasa Melayu (baca: bahasa Indonesia) sebagai contoh soal adalah bahasa yang dipakai sejak lingua franca di pasar dan bandar, masa sastra elite peranakan, Pujangga Baru, Angkatan 45 hingga perkem­ba­ngan bahasa Indonesia modern. Per­gaulan bahasa Melayu dengan konsep ar­tistik dari bcbcrapa pujang­ga In­donesia seperti Amir Hamzah, Su­tan Tak­dir Alisyahbana dan Su­tardji C.Bachri menunjukkan betapa bahasa Melayu (Indonesia) itu tahan uji untuk mencoba mcnye­la­ras­kan­nya. Budaya­wan Umar Kayam per­nah pernah me­muji daya kreatif ba­hasa Melayu yang mem­beri magis baru kepada puisi Me­layu-Indonesia. Prof. Ismail Hussein (Ke­tua I Gapena Malaysia) di masa hi­dupnya telah pula memberi komen­tar dan sambu­tan apresiatif terhadap daya kreatif bahasa Melayu. Namun dibalik ke­gi­rangannya ten­tang kebera­daan ba­hasa Melayu, beliau juga tidak dapat menyem­bu­nyikan kekha­wa­ti­rannya tentang peng­gunaan bahasa ter­­sebut. la mene­gas­kan tentang ke­pri­badian bahasa Melayu yang ber­tahan tanpa dina­mika akibat golo­ngan elite kota kos­mopolitan kurang me­­main­kan pe­ranan dalam pem­bi­naan sastra baru.

Dalam scbuah forum diskusi Us­mail Hussein (1982) mengatakan, apa­bila daya kreatif bahasa Melayu di In­donesia menampilkan keberha­si­lan­nya dalam menerjemahkan lintas bu­daya, maka scjarah pembinaan bahasa dan persuratan Melayu di Malaysia kehilangan daya kreatif masyarakat eli­tenya. Beliau menaruh harapan ke­pada kaum pengarang untuk me­ning­katkan mutu pemikir dan yang mereka pa­par­kan. Keakraban elite pribumi dengan rakyat menjadikan mereka amat relevan dalam proses pembentu­kan demokrasi baru.

Pengalaman Malaysia dalam pembinaan bahasa nasional­nya sama yang dihadapi oleh Brunei Darusalam dan Singa­pura sebagai “negara-negara Melayu”. Keterbatasan dalam kuanti­tas penduduk pemakai bahasa Melayu dan jumlah yang minim di bidang peng­­kajian membcrikan alter­natif ke­pada mereka untuk meng­in­te­gra­sikan diri ke dalam pem­bi­naan bahasa bersama Indonesia yang me­rupakan mayoritas pengguna bahasa Me­layu (Indonesia) di kawa­san Nusantara. Dibentuklah badan kerja sama ke­bahasaan seperti Ma­jelis Bahasa Bru­nai-Indonesia Me­layu (MA­BBIM).

Posisi Indonesia yang memiliki bahasa persatuan agaknya membawa akibat kuatnya dorongan untuk me­ngem­bangkan suatu bahasa ke­bang­saan yang lebih baku dan mapan. Dari su­dut ini mencuat nilai simbolik Sum­pah Pemuda 1928 yang menjunjung ba­hasa persatuan bahasa Indonesia.

Dinamis

Bahasa Indonesia kini cukup gen­car mengintegrasikan banyak penga­ruh dari berbagai bahasa asing dan dae­rah. Kecendrungan menerima pe­ngaruh dari berbagai bahasa daerah dan bahasa asing menyebabkan ba­hasa Indonesia semakin canggih un­tuk di­ikuti. Tulisan “esei-esei In­do­nesia yang paling canggih sulit di­ikuti.

“ Gaya bahasanya semakin cang­gih Barat, kosa katanya semakin cen­de­rung ke kosa kata Sansekerta “, de­­mi­kian kata Ismail Hussein. Untuk me­­nanggapi komentar saudara jiran ini. Prof Anton Moeliono menyata­kan, ba­hasa yang mempunyai kaidah yang tetap dan yang mempunyai leksikon te­tap tidak boleh ditambah dan tidak berubah-ubah lagi, cepat atau lambat dan menjadi bahasa yang mati atau menjadi bahasa klasik yang tidak digunakan baik lisan maupun tulisan. Namun beliau juga meng­isaratkan, bahasa yang selalu berubah dan yang tidak terkendali lagi baik dalam segi kata dan tata kalimat berarti sebuah bahasa yang kacau.

Hal ini membuktikan pembakuan dalam bahasa tidak melupakan daya kreatif bahasa itu untuk berkembang sccara dinamis. Proses mengambil dan memberi antara unsur-unsur bu­da­ya Nusantara dan unsur-unsur bu­daya negara industri baru berjalan de­ngan gencar. Komunikasi jasa in­formasi dapat memberikan dan me­mainkan peranan yang lebih jauh da­lam proses mengambil dan mem­be­ri terhadap kosa kata.

Banyak kosa kata bahasa (Malay­sia) diambil sebagai pungutan dalam bahasa Indonesia. Misalnya, setakat, ka­­wasan, berehat dan lain-lain. Namun, kereta tak terpakai, (mobil be­kas), pintu kecemasan (pintu da­rurat) toko per­solekan (salon ke­can­tikan),dan kedai buku (toko buku),pos laju (pos kilat), alat pembesar suara (alat pengeras suara) masing-masing bertahan pada kaidah katanya. Namun, kita tidak begitu peduli. Untuk apa membeda-bedakan bentuk kata itu karena artinya sama. Terma­suk juga tidak dipersoal­kan mana yang dulu sampai pengiriman surat apakah secara laju atau secara kilat. Ter­nyata untuk alat pelantang suara, ko­sakata Malaysia lebih suka yang besar dibandingkan Indonesia suka yang ke­ras. Itu juga tak usahlah diperde­batkan.

Dunia Melayu banyak menyum­bang ke kosa kata modern. Ambillah kata ceramah yang berasal dari kata”cerewet “ gengsi (kata Minang) yang berarti lagak, canggih (bermakna bebal dalam kata Melayu) mantan (bahasa Melayu Pasemah Palembang) yang bermakna ‘bekas; Kata mantan sering diikuti nama jabatan (mantan lurah, mantan camat, mantan bupati dan mantan gubernur) dan tidak boleh dipakai pada kata ‘mantan istri’ atau ‘mantan pacar’karena istri dan pacar bukan kata nama/jabatan.

Penyumbang terbesar dalam Ka­mus Bahasa Indonesia tetap dikuasai ba­hasa Melayu di samping bahasa Sansekerta dan bahasa Arab. Ke­da­tangan kaum pendatang untuk ber­da­gang sejak zaman dahulu (Belan­da, Por­tugis, China, Tamil, dan Ing­gris) dal­am proses sambar-me­nyambar da­lam kata pinjam-memin­jam itu te­lah memperkaya kosa kata Indo­ne­sia.***

*Penulis adalah dosen dan sastrawan

()

Baca Juga

Rekomendasi