Indonesia Menunggu Ratu Adil

Oleh: Bersihar Lubis.

Kapan gerangan sang “Ratu Adil” atau Satrio Piningit datang ke Indonesia? Dalam mitos Jawa, dia akan membawa Nusantara menuju negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem kertoraharjo (kaya sumber daya alam dan subur, aman, tentram, dan sejahtera).

Syahdan, ketika Bung Karno diadili di Landraad Bandung pada 1 Desember 1930, pernah meng­ung­kapkannya de­ngan bagus. “Tuan-tuan Hakim, apakah se­babnya rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu Adil”. Tak lain karena hati rakyat yang menangis itu tak habis-habisnya menung­gu-nunggu datangnya pertolongan.

Sebagaimana orang yang dalam kegelapan tak berhenti-hentinya menung­gu-nunggu kapankah matahari terbit?” kata Bung Karno, kala itu.

Ah, saya ngeri membayangkan, karena jika mengikuti mitos Jawa itu, kelak di masa datang gunung-gunung akan me­letus, bumi berguncang-guncang, laut dan sungai akan meluap. Bahkan, ber­pa­du dengan masa kesewe­nang-wena­ngan, masa orang-orang licik berkuasa, dan orang-orang baik akan tertindas.

Tetapi, setelah masa yang paling berat itu akan datang zaman penuh kemegahan dan kemuliaan. Zaman keemasan Nu­santara dengan datangnya sang “Ratu Adil” atau Satrio Piningit.

Zaman krisis itu dinamai “Kala Ben­dhu.” Sering disebut sebagai era “Goro-goro.” Padahal, seka­rang saja korupsi me­­raja-lela. Banjir melanda negeri ka­rena kerusakan lingkungan. Jurang antara si kaya dan si miskin mence­maskan. Kri­minalitas menakut­kan. Bahaya daurat nar­koba mengancam.

Saya masygul, apakah penderitaan itu akan semakin klimaks,  barulah sang “Ratu Adil” datang?

Rasanya cukup sudah bangsa ini didera krisis pasca jatuhnya rezim Orde Lama pada 1966, maupun lengsernya rezin Or­de Baru pada 1998 silam. “Goro-goro” lagi? Ah, janganlah,  Gusti Allah!

Konon, kedatangan Ratu Adil tidak terduga. Dia diyakini akan mengakhiri za­man “Kala Bendhu”. Kedatangan Ratu Adil akan disambut segenap rakyat de­ngan senang hati.  Bahkan, pajak di­gam­barkan akan dikurangi dari seribu menjadi ha­nya seratus dinar.

Kita memang tidak hidup dalam mitos. Namun mimpi masyarakat yang adil dan makmur selalu berkumandang setiap kali HUT kemerdekaan negeri ini dirayakan. Dia menjadi kerinduan kolektif di sanu­bari anak bangsa. Kapan gerangan?

Angka Berbicara

Memperingati perayaan HUT ke-73 Kemerdekaan RI,  saya gembira karena ternyata penda­patan per kapita Indonesia Perekonomian Indonesia pada 2017 yang diukur menurut Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 13.588,8 triliun. Dengan jumlah pen­du­­duk 261,8 juta jiwa maka PDB per­ka­pita Indo­nesia mencapai Rp 51,89 juta se­ta­ra US$ 3.876,8. Naik 8,1% dibanding ta­­hun lalu yang  hanya Rp 47,97 juta/ta­hun.

Dus, pendapatan perkapita 2017 nyaris mencapai Rp4,3 juta sebulan. Tahun lalu hampir Rp 4 juta sebulan.

Namun jika dikonfirmasi dengan Upah Minimum Provinsi (UMP), saya terse­nyum kecut. UMP di seluruh tanah air ma­sih berkisar di antara Rp 1,4 juta hingga Rp 3,6 juta. Tertinggi di DKI Jakarta se­besar Rp 3,6 juta, dan terendah di Jawa Tengah senilai Rp 1,4 juta. Adapun di Sumatera Utara senilai Rp 2,1 juta.

Padahal jumlah buruh berjibun di negeri ini.  Kemenperin men­catat terdapat 15,25 juta tenaga kerja di sektor ma­nufaktur per Agustus 2015. Saya yakin jum­lahnya lebih besar, karena angka itu baru yang tercatat saja.

Bahkan, jumlah petani – menurut data BPS – mencapai  37,75 juta orang pada 2015, hanya berpendapatan rata-rata se­ki­tar Rp 1.034.500 sebulan. Mungkin, naik sedikit pada 2018

Saya kira pendapatan per kapita yang nyaris Rp 4,3 juta lebih sebulan itu terlalu be­sar bagi puluhan juta jiwa penduduk ne­geri ini. Tapi sebaliknya hanya secuil bagi mereka yang berpendapatan besar.

Gaji Dirut Pertamina dan perbankan BUMN misalnya berkisar ratusan juta rupiah per bulan. Itupun masih ada bonus yang besar saban tahun.

Bahkan, menurut Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFlD), keka­ya­an empat orang terkaya di Indonesia sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin.

Masih ada versi Bank Dunia, bahwa 10% orang terkaya menguasai 77% total ke­kayaan nasional. Sedangkan 200 juta lebih warga hanya menikmati tak lebih dari 25%.

Rupanya, pendapatan total ekonomi sua­tu Negara dalam setahun atau GNP (Gross National Product), termasuk di da­lam­nya pendapatan orang-orang kaya di­­himpun dengan pendapatan kelas mene­ngah, buruh, petani, nelayan dan me­reka yang berada di bawah garis ke­mis­kinan, lalu dibagi dengan jumlah pen­duduk, se­hing­ga muncullah angka Rp 4,3 juta lebih itu.

Aduhai, orang miskin pun seolah-olah terangkat marta­batnya, tapi ternyata pahit dalam realitas.

Sebenggol Sehari

Badan Pusat Statistik (BPS) men­catat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2018 ada seba­nyak 25,95 juta orang. Jumlah terse­but mengalami penurunan sebesar 633,2 ribu orang, dari yang sebelum­nya tercatat sebesar 26,58 juta orang pada September 2017.

Inilah pertama kali angka kemis­kinan meraih satu digit, hanya 9,82% dari se­mula 10,12%. Garis kemis­ki­nan juga menjadi Rp 401.220 per ka­pita per bulan pada Maret 2018. Angka ini naik 3,63% dibanding September 2017 sebesar Rp 387.160 per kapita per bulan. 

Garis kemiskinan jika diambil ra­ta-rata sehari sekitar Rp 13.000 lebih se­hari. Angka-angka ini menikam ha­ti nu­rani. Sekilogram beras saja paling murah Rp 10.000. Paling ma­hal Rp 13.000 sekilo. Aduh, tinggal Rp 3.000 lagi. Untuk ongkos angku­tan kota di Me­dan yang Rp 5.000 pun tak cukup.

Setiap kali merayakan HUT Ke­mer­­dekaan RI, realitas itu terasa pe­dih. Jum­lah mereka mencapai 25,95 juta, atau sekitar 9,87,7% dari pendu­duk Indo­nesia.

Ternyata angka Rp 13.000 lebih itu ti­dak mencapai pendapatan US$ 2 per hari, menurut standar Bank Dunia. Ang­­ka Rp 13.000 lebih itu masih di bawah US$ 1. Jika demikian, jumlah penduduk miskin mestinya lebih be­sar lagi.

Saudaraku, sebangsa dan setanah air. Bagaimana mereka bisa hidup ha­nya dengan Rp 13.000 lebih per ha­ri? Jika beras sudah terbeli, mung­kin, lauk pauk­nya hanya cabai bulat dan garam. Bagai­mana hendak men­ciptakan generasi baru yang berdaya saing?

Belum lagi kebutuhan seperti bia­ya pendidikan, dana kesehatan, dan apalagi biaya pembeli surat kabar se­bagai sarana pencerdasan bangsa, rasanya jauh pang­gang dari api. Ber­belanja ke plasa sudah tidak masuk kamus kehidupan mereka.

Bung Karno pernah menulis di ha­rian Pikiran Rakyat (1934). Dia mengiritik pemerintah kolonial kare­na pendapatan rakyat kian merosot. Sebelum zaman malaise (1930), ber­pen­dapatan 8 sen sehari. Tapi setelah itu,  merosot menjadi sebenggol (2,5 sen) sehari. Padahal, ran­­sum di pen­jara saja 14 sen sehari.

Syukurlah, pada Maret 2018, ting­kat ketimpangan pengeluaran pendu­duk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,389. Angka ini menu­run sebesar 0,002 poin jika diband­ingkan dengan Gini Ratio September 2017 yang sebesar 0,391.

Agar dipahami GINI rasio teren­tang di antara 0 hingga 1. Jika 0 ber­arti tidak ada kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Tapi semakin me­naik menuju 1 kesenjangan sema­kin menganga lebar.

Tapi, ah, istilah rasio GINI itu ter­lalu akademis. Jauh tinggi di awan, tak ter­jangkau oleh nalar rakyat. Toh, ada se­bersit kegembiraan. Saya perca­ya me­reka tetap asyik mengikuti pera­yaan HUT Kemerdekaan, seperti lom­ba balap karung dan sebagainya. Sejenak melu­pakan kemiskinan yang sudah merasuk ke tulang sumsum. Mer..deka! ***

Penulis adalah jurnalis.

()

Baca Juga

Rekomendasi