• Oleh: Fatimah Usman
Labbaikallahumma labbaik........
Kalimat seruan ini disebut kalimat talbiyah, yang sudah mulai terdengar di bulan Zulkaidah, karena kloter-kloter awal jemaah haji dari Indonesia sudah mulai diterbangkan ke Arab Saudi menuju Tanah Suci Makkah al Mukarramah. Bagi orang-orang yang sudah pernah berangkat ke tanah suci baik untuk melaksanakan ibadah haji ataupun umrah, kalimat talbiyah ini tentulah mempunyai makna dan kenangaan tersendiri yang tersimpan di lubuk hati sehingga menjadi satu kerinduan yang tak terperi untuk bisa melakukannya lagi.
Labbaikallahumma Labbaik........ Aku datang memenuhi panggilanMu.
Labbaika Laa Syarika Labbaik...... Aku datang padaMu, tak ada sekutu bagiMu.
Akan tetapi, kerinduan orang-orang yang datang ke taanah suci Makkah al Mukarramah dan Madinah al Munawwarah tidak hanya terbesit dalam hati orang-orang yang sudah pernah datang kesana. Jika ditanyakan kepada kaum muslimin yang ada di seluruh dunia ini dan belum pernah kesana pasti jawabannya adalah mau dan ingin sekali. Bahkan, anak kecil sekalipun jika ditanya apakah ia mau berkunjung ke tanah suci, jawabannya pasti mau sembari bercita-cita akan mengunjungi tanah suci untuk menyaksikan Ka’bah dan melaksanakan ibadah haji dan umrah. Apa gerangan yang memotivasi dan membuat orang-orang mukmin merindukan kehadiran dirinya untuk bisa datang memenuhi panggilan yang mulia ini?
Dikisahkan, Nabi Ibrahim mendapat perintah untuk membangun Ka’bah yang kala itu bernama Bait al Atiq. Nabi Ibrahim membangun Ka’bah dibantu anaknya, Ismail yang masih remaja. Setelah bangunan Ka’bah selesai, Allah mewahyukan kepada nabi Ibrahim agar ia menyeru manusia di muka bumi ini untuk datang mengunjungi Ka’bah yang mulia. Allah berfirman: “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” (QS. Al-Hajj: 27-28). Akan tetapi, Nabi Ibrahim mengadu kepada Allah bahwa dia tak sanggup untuk menyampaikan atau menyerukan risalah Allah tersebut kepada seluruh manusia dikarenakan ia meyakini suaranya takkan dapat mencapai mereka. Maka Allah berfirman: “Serulah kamu... nanti Aku yang akan menyampaikannya kepada seluruh manusia di muka bumi ini”. Nabi Ibrahim kemudian berdiri di atas sebuah batu besar dan menyerukan kepada manusia.
Seruan nabi Ibrahim tersebut dijawab oleh seluruh manusia yang ada di bumi. Dinyatakan pula bahwa yang menjawab seruan nabi Ibrahim itu tidak hanya seluruh umat manusia, tetapi juga dijawab oleh seluruh makhluk hidup seperti pepohonan, tumbuh-tumbuhan, hewan yang ada di muka bumi. Bahkan bayi-bayi yang masih di dalam kandungan ibunya pun juga sudah menjawab seruan nabi Ibrahim tersebut. Menurut riwayat lain dalam tafsir al-Maraghi, manusia yang masih di dalam tulang sulbi sekalipun juga menjawab seruannya. Dan segala sesuatu yang mendengar suaranya menjawabnya; baik batu-batuan, pohon-pohonan, dan lain sebagainya didengar pula oleh semua manusia yang telah Allah catat bahwa ia akan mengerjakan haji sampai hari kiamat. Jawaban mereka, "Labbaika Allahumma Labbaik (Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah. Kami penuhi seruan-Mu, Ya Allah).
Dalam lafadz lain, diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'Anhuma, ia berkata: Ibrahim berdiri di atas batu lalu menyeru, “Wahai manusia, diwajibkan haji atas kalian. Orang-orang yang masih di sulbi para laki-laki dan di rahim para wanita mendengarnya. Lalu orang-orang beriman menjawabnya dan orang-orang yang telah Allah catat akan berhaji sampai hari kiamat dengan kalimat “Labbaika Allahuma Labbaika” (Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah. Kami penuhi seruan-Mu, Ya Allah).” (Diriwayatkan Al-Faqihi dengan sanad shahih)
Tentu panggilan/seruan Allah melalui panggilan haji adalah salah satu bentuk panggilan yang begitu indah bagi insan muslim. Panggilan haji bisa dikatakan implementasi dari hakikat perjanjian manusia kepada Allah. Perjanjian manusia kepada Allah tentang kesaksian tauhidullah (tauhid kepada Allah) merupakan ikatan yang dibuat manusia sejak ia berada dalam alam ruh. Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. Al-A’raf: 172).
Ayat tersebut menunjukkan bahwa kebutuhan umat manusia terhadap kekuasaan dan pengaturan Allah adalah suatu hal yang fitrah, yang telah tertanam dalam jiwa manusia sejak ia dilahirkan. Ayat ini turut menceritakan saat Allah menerima janji-janji dari umat manusia yang berisi pengakuan di atas ketuhanan Allah kelak di hari kiamat, Allah akan menanyai setiap manusia tentang pelaksanaan janji yang pernah mereka ucapkan itu. Demikian pula tafsir ayat tersebut dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Jarir (yakni Ibnu Hazim), dari Kalsum ibnu Jubair, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi Muhammad SAW. telah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah mengambil janji dari sulbi Adam Alaihi salam di Nu'man tepat pada hari Arafah. Maka Allah mengeluarkan dari sulbinya semua keturunan yang kelak akan dilahirkannya, lalu Allah menyebarkannya di hadapan Adam, kemudian Allah berbicara kepada mereka secara berhadapan, "Bukankah Aku ini Tuhan kalian?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi)." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan, "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap (keesaan Tuhan), atau agar kalian tidak mengatakan, sampai dengan firman-Nya, 'orang-orang yang sesat dahulu.”
Tentulah Insan muslim harus bergembira atas ikatan janji yang telah diikrarkan sejak di alam ruh terhadap Allah ini. Ikatan janji tauhid (mengEsakan Allah) tersebut diperindah di sela-sela kehidupan manusia dengan rutinitas ibadah yang bersifat ibadah badaniyah dan ibadah maliyah, dimana ibadah-Ibadah yang dilaksanakan insan muslim semakin menguatkan ikrar janji dirinya kepada Allah. Yang lebih menentramkan lagi tentu dengan adanya seruan/panggilan haji yang mana seluruh makhluk hakikatnya telah menjawab “Labbaikallahumma Labbaik” Aku datang memenuhi panggilanMu), “Labbaika Laa Syarika Labbaik” (Aku datang padaMu, tak ada sekutu bagiMu). Maka, persaksian manusia atas la ilaha illa allah (tiada tuhan selain Allah) adalah hakikat sebuah syahadah yang hakiki dan ibadah haji sebagai penunjukkan jati diri insan muslim mempersembahkan diri hanya ibadah kepada Allah semata.
Dengan demikian, wajar saja jikalau kita yang mengaku insan muslim memiliki kerinduan yang mendalam terhadap panggilan untuk berangkat ke tanah suci. Ditambah lagi panggilan haji tersebut juga salah satu bentuk pengingat diri kita sebagai insan muslim yang telah mengikat janji kepada Allah dengan “fitrah” diri akan mengEsakan Allah. Sungguh beruntunglah bagi insan muslim yang telah memenuhi panggilan Allah dalam melaksanakan ibadah haji dan sungguh amat naif pula bagi insan yang tidak memiliki rasa kerinduan akan panggilan haji. Semoga kita yang belum memenuhi panggilan Allah tersebut akan segera memenuhi panggilan haji yang sejatinya telah menjadi kerinduan diri teramat sangat. Insya Allah.
Penulis: Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sumatera Utara Medan