Oleh: MH Heikal
Meskipun Indonesia masih tergolong negara berkembang, namun saya kira tak ada salahnya kita mencontoh sistem pengelolan sampah yang diterapkan negara-negara maju. Ada beberapa negara maju yang telah berhasil memanfaatkan sampah menjadi hal berguna. Sebab Jika diolah dengan tepat dan serius, sampah yang selalu kita anggap kotor tak selamanya merugikan, tapi mendatangkan keuntungan.
Bahkan, bila telah mengetahui cara kelola dengan tepat, menyebabkan sebuah negara di Eropa merasa kekurangan sampah untuk dimanfaatkan, dan mengharuskannya untuk mengimpor sampah.
Bisakah kita bayangkan istilah mengimpor sampah? Tentu sebagian dari kita barangkali mengganggap konyol hal ini, tetapi inilah yang dilakukan Swedia. Sebagai negara terbesar ke-56 di dunia, Swedia dikenal memiliki manajemen sampah yang baik. Bagi Swedia, mengimpor sampah adalah pemikiran maju dalam hal efisiensi dan suplai energi bagi kebutuhan manusia.
Dalam data statistik Eurostat, rata-rata jumlah sampah yang menjadi limbah di negara-negara Eropa adalah 38 persen. Swedia berhasil menekan angka itu menjadi hanya satu persen. Sungguh luar biasa!
Swedia kini mengimpor 800 ribu ton sampah per tahun dari negara-negara tetangganya di Eropa. Mayoritas sampah ini berasal dari Norwegia. Sampah-sampah ini sekaligus untuk memenuhi program sampah menjadi energi (waste to energy), dengan tujuan utama mengubah sampah menjadi energi panas dan listrik.
Pengelolaan sampah di Swedia selalu mengedepankan bahwa sampah merupakan salah satu resources yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Dasar pengelolaan sampah diletakkan pada minimasi sampah dan pemanfaatan sampah sebagai sumber energi. Keberhasilan penanganan sampah itu didukung oleh tingkat kesadaran masyarakat yang sudah sangat tinggi.
Landasan kebijakan Swedia, senyawa beracun yang terkandung dalam sampah harus dikurangi sejak pada tingkat produksi. Minimasi jumlah sampah dan daur ulang ditingkatkan. Pembuangan sampah yang masih memiliki nilai energi dikurangi secara signifikan.
Di Belanda, sejak tahun 2012 telah berdiri 12 pusat insinerator atau pembangkit listrik bertenaga sampah. Kedua belas pabrik ini mampu memroduksi energi sebesar 4.014 GWh untuk memasok kebutuhan listrik sekitar 800.000 rumah dengan kemampuan mengolah hingga 7,6 juta ton total sampah. Kapasitas insinerator terbesar dimiliki oleh pabrik insinerasi sampah di Amsterdam yang mampu menghasilkan energi sebesar 1.000 GWh untuk mensuplai listrik ke sekitar 285.000 rumah.
Padahal di abad ke-17, warga Belanda masih tidak mau peduli soal sampah, dan sesuka hati membuangnya di mana-mana. Seabad berikutnya, mulailah perilaku negatif ini memberi dampak, yaitu mulai menimbulkan berbagai penyakit. Sejak saat itulah pemerintah tanggap atas hal ini dan langsung menyediakan tempat-tempat pembuangan sampah.
Konon di era modern saat ini, teknologi pembakaran sampah yang modern mulai diterapkan. Teknologi ini memungkinkan pembakaran tidak menimbulkan efek sampingan yang merugikan kesehatan. Agar tujuan itu tercapai, sebelum dibakar sampah mesti dipilah-pilah, bahkan sejak dari rumah. Hanya sampah yang tidak membahayakan kesehatan yang boleh dibakar. Selain bisa memusnahkan sampah, ternyata pembakaran ini juga dapat membangkitkan listrik lewat proses insinerasi.
Seperti di Jerman pada 30 tahun silam, terdapat 50.000 tempat sampah yang tidak terkontrol. Aka tetapi kini hanya ada 400 Tempat Pembuangan Akhir. Antara 10-30 persen dari sampah yang telah dikumpul ini kemudian dibakar di insinerator. Selanjutnya, ssetelah ion-ionnya dikonversikan, dapat digunakan untuk bahan konstruksi jalan.
Cerita menarik proses daur ulang ini datangnya dari Passau Hellersberg adalah sampah organik yang dijadikan energi. Produksi kompos dan biogas ini memulai operasinya tahun 1996. Sekitar 40.000 ton sampah organik per tahun selain menghasilkan pupuk kompos melalui fermentasi, gas yang tercipta digunakan untuk pasokan listrik bagi 3.000 rumah.
Berbeda lagi pengelolaan sampah di Inggris. Di sana ada namanya council tax. Ini digunakan oleh pemerintah lokal setempat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lokal semacam perbaikan jalan, pemberian layanan dan fasilitas umum, dan juga pengelolaan sampah. Dibuat pengadaan wheelie bin atau tempat sampah beroda, yang memudahkan orang-orang untuk membuang sampah. Meski sebenaranya, konsep seperti council tax ini juga ada di Indonesia, yang biasanya dibebankan bersamaan sewaktu membayar tagihan Air Minum tiap bulannya.
Selain negara-negara maju di Eropa yang telah disebut diatas, mari kita berkaca pada satu negara Asia, yaitu Jepang. Negeri Sakura ini kita kenal dengan kedisiplinannya, juga sangat disiplin dalam mengelola sampah. Hal ini masih sangat jauh berbeda dengan negara kita, meski di dalam benua yang sama. Jepang membuat peraturan tentang pengelolaan sampah ini yang diatur oleh pemerintah kota.
Pemerintah menyiapkan dua buah kantong plastik besar dengan warna berbeda, hijau dan merah. Namun selain itu ada beberapa kategori lainnya, yaitu: botol PET, botol beling, kaleng, batu batere, barang pecah belah, sampah besar dan elektronik yang masing-masing memiliki cara pengelolaan dan jadwal pembuangan berbeda.
Lantas, dari beberapa contoh negara di atas, bisakah kita menerapkannya di Indonesia, negara yang kita tempati kini? Jawabannya terletak dalam hati kita masing-masing. Meski secara manusiawi, saya kira semua orang ingin tinggal di negara yang bersih dari sampah, yang nyaman dan tentunya bebas dari polusi.
Sebagai rakyat biasa, kita hanya bisa berharap agar pemerintah hendak dan segera serius mengelola sampah yang sudah teramat berserak di bumi nusantara ini, dengan memanfaatkan berbagai kecanggihan teknologi yang kini telah tersedia untuk mengelolanya.
(Penulis adalah mahasiswa FEB-USU)