Oleh: Azmi TS. KALAU ditelusuri memang banyak pelukis pernah mengungkapkan pandangannya tentang keunikan Candi Borobudur. Selama ini keberadaannya lebih dominan diulas dari sisi historis saja. Belum ada buku yang diuraikan dari pandangan estetika terkait bentuk maupun gaya lukisan.
Begitu banyak karya perupa menggambarkan artefak itu, namun belum ada dijumpai buku yang mengulas sisi estetikanya. Kelangkaan ini bisa disebabkan belum ada pihak terutama penggiat seni menguraikan pandangannya. Bukan mustahil suatu saat terwujud, mengingat banyak juga lukisan tentang Borobudur ini.
Lukisan Borobudur dalam pandangan pelukis tentu berbeda ketika ia terpancing untuk menumpahkan ide kreatifnya. Sebelum pelukis yang terbiasa dengan melihat objek langsung terkadang mengawalinya dengan sketsa. Coretan spontan yang diambil dari sudut pandangan menurutnya menarik tersebut nantinya berlanjut.
Bisa berbentuk lukisan atau memang sketsa tadi sudah karya akhir, artinya sketsa itu sudah jadi karya lukisan murni. Beberapa komunitas sketser yang beranggota pelukis dan arsitek maupun awam yang bermukim di sana sering mengksploitasinya. Ada yang hanya bermodalkan kertas, spidol dan alas papan karya Candi Borobudur pun bermunculan.
Di sisi lain ada pelukis yang sengaja membawa kanvas ke depan Candi Borobodur dan menyatukan batinnya dengan objek langsung. Lahirlah suatu bentuk Candi Borobudur ke dalam kanvas, tentang aset yang sudah mendunia ini. Untuk pelukis berpengalaman tak begitu sulit melukiskan candi fenomenal ini dalam waktu singkat. Pelukis terkenal Indonesia maupun luar negeri sudah sering lukisan Borobudur ini dipamerkannya.
Terlihat pelukis sekelas Maria Tjui, J. B. Iwan Sulistiyo, O. H. Suprobo, hingga Hudi Alfa ditambah Syaiyidin menarik ditelusuri. Pandangan mata batin sang pelukis seakan bisa berdialog dengan pemahaman religi untuk segera memindahkannya ke bidang kanvas. Bentuk bangunan dengan segala hiasan yang melekat maupun lanskapnya berbagai gaya atau aliran pun bermunculan. Beberapa karya mereka yang lama maupun terbaru bisa dijadikan buku lukisan Borobudur dikaji dari sisi estetika.
Selain bentuk stupa (bangunan mirip lonceng) ini dari sisi penempatan menerapkan azas keseimbangan dan pertimbangan spirit. Dalam stupa induk terdapat sosok Budha, spirit yang diyakini bila tangan berhasil menyentuknya maka spirit.
Ada yang merasa dirinya membawa keberuntungan dan juga berkah. Ada pula yang berdoa di sisinya untuk mendapat jodoh atau menjadi pasangan suami istri yang langgeng. Publik punya hak menginterpretasikannya, namun seniman juga bebas menerjemahkan bentuk Candi Borobudur secara estetika.
Dari bentuk Borobudur terdiri dari sentrafugal memusat ke tengah. Stupa besar di kelilingi stupa kecil ini buat pelukis punya estetika tersendiri. Tonjolan stupa induk disertai deretan relief itu dilukiskan dari arah beragam.
Tergantung sang pelukis dari mana dia memulainya, kebebasan memang mutlak milik sang kreator ini. Ada pula yang sengaja melukiskan tentang relief (gambar timbul) ada dinding Candi Borobudur tersebut.
Bahkan tak tertutup kemungkinan ada pelukis yang sengaja menebarkan warna-warna sehingga pancaran cahaya itu sangat semarak. Jarang juga pelukis memisualkan Borobudur secara orisil (warna asli) sedikit ada perubahan seperti lukisan Hudi Alfa. Begitu beraninya mereka untuk mengkreasikan tangkapan mata batinnya sehingga peminat lukisan tentang itu tak pernah surut.
Kini lokasi Borobudur yang dekat mulai lanskap, hingga pintasan gunung Merapi yang masih aktif. Sangat rawan hantaman debu dan getaran bumi. Hendaknya jangan sampai Borobudur itu tak bisa berdiri tegak, karena perhatian masyarakat kurang. Wisatawan asing dan lokal sudah terlalu sayang, hingga pihak duniapun tak akan rela kalau candi ini rusak apalagi minim perawatan.
Beberapa pesan yang tersurat dan tersirat dalam simbolik lukisan tentang Borobudur ini. Gaya yang terlihat pada lukisan kreasi Borobudur menghadirkan garis-garis tegas, menyiratkan keagungan sekaligus kedamaian. Candi yang diapit dua pohon melambangkan keamanan yang selalu menjaganya dari hantaman angin. Matahari melambangkan cahaya yang selalu mencerahkan keberadaannya kini dan esok.
Borobudur juga terlihat indah ketika rembulan menyemburkan temaram cahaya, dengan nyanyian hewan menyambut datangnya malam. Langit cerah kebiruan ditambah kuning rembulan memang nampak romantis. Sentuhan kuas nan lembut didukung keterampilan tinggi pelukisnya berhasil menahbiskan arsitektur Borobudur memang terhebat.
Karya kuno yang ribuan tahun lalu diciptakan leluhur itu sudah memakai teknologi tentang geologi dan topografi. Bangunan peninggalan klasik yang tak ada dua ini, pastilah mengerahkan orang pandai pada eranya, sehingga peradaban Indonesia juga hebat. Pantaslah dunia lewat badan kebudayaan sangat peduli pada bangunan unik ini. Lukisan Borobudur yang menggambarkan betapa banyak pengunjung berduyun-duyun datang dari segala penjuru dunia.
Paling tidak dia telah mencoba dari cara pandangnya sendiri meluapkan emosinya melalui warna-warni. Tak lupa lukisan Borobudur mengingatkan kita, deretan relief yang ada di sekeliling candi itu. Gambar timbul (relief) dan stupa itu bukan hanya sekadar simbolik, tapi di situ terpapar kisah perjalanan ritual tokoh Budha.
Potongan gambar yang dicuplik oleh pelukis paling tidak menunjukkan Borobudur bukan hanya terlihat indah, tapi dimaknai dari estetika lukisan itu. Kreasi yang sudah dibuat maupun belum tentang itu bisa jadi, pandangannya tentang isyarat yang tertangkap. Sudut pandang yang bebas dari para pelukis seakan menambah daftar panjang kekayaan khazanah senirupa nusantara.
Begitulah cara perupa menguraikan keagungan Borobudur, yang secara tekstual mungkin sudah diurai oleh para ahli lewat buku. Walaupun penulis asing lebih banyak mendokumentasinya dari foto, hingga kajian ilmiah, penelitian dan lain-lain. Kalau punya kompetensi untuk mengurai dari sudut pandang lain tentunya publik menyambutnya gempita. Akan bertambah literasi mencerdaskan untuk merawat aset bangsa dan dunia ini.
Sampai saat ini belum ada penulis seni segera “membukukan tentang estetika perupa” yang pernah melukiskan Borobudur. Seandainya saja penulis senirupa dan penerbit buku di Indonesia, menerbitkan buku lukisan estetika Borobudur tersebut tentu apresiasipun semakin semarak. Bisa jadi kalangan akademis mengarahkan kaum intelektualnya merujuk buku tersebut. Suatu saat banyak pula kreasi, inspirasi terbarukan akan lahir dari sana.
Sebetulnya perupa kita andal dalam melecut ide kreatif, konon pula sekarang ini alat teknologi bisa membantu. Bisa juga diambil lukisan dan gambar relief yang cukup banyak alternatif untuk dituangkan dijadikan ikon, buku, cinderamata, sayembara dan sebagainya. Rancangan buku atau desain terkait cendera mata yang mengambil Borobudur sebagai ikonnya bisa divisualkan dibarengi teks.
Terkadang visualnya bisa berupa siluet (cuplikan bayangan) berupa kepala stupa dan patung kepala Budha. Pesona yang dihasilkan Borobudur seharusnya bisa dimanfaatkan untuk menjawab keraguan dunia kepada kita. Mengapa keberadaan lukisan candi Borobudur yang sering diabadikan oleh perupa itu, tak segera berwujud buku? Bisa jadi keraguan dunia itu dijawab dalam buku cuplikan estetika lukisan tersebut.