PADA 2009, saat pertama kali mengeluarkan album Rhytim of Paradise, dengan membawa beberapa keping compact disk (CD), Gus Teja bermaksud mendatangi spa di sebuah hotel di Ubud, Bali. Namun baru sampai di pos satpam ia sudah dicegah masuk.
"Mungkin karena penampilan saya sebagai seniman tak meyakinkan waktu itu," tuturnya sembari tertawa. Bersama isterinya, ia ditemui Sabtu (18/8) usai tampil dalam Konser Gebyar Kasih Semesta besutan International Nature Loving Association Indonesia (INLA) Indonesia, Jumat (17/8) di Cemara Asri, Medan.
Namun itu cerita masa lalu. Sampai saat ini, bersama Gus Teja World Music ia telah merilis 4 album. Tiap album bisa terjual sampai 100 ribu keping. Toko-toko VCD dan souvenir di Bali, kini memajang karyanya. Hotel, spa, resto, bandara, rumah sakit, kafe, dan objek turisme di Bali kini memutar lagu-lagu karyanya yang mengandalkan vokal suling buatannya.
Penggemarnya tak hanya dari dalam negeri, tapi juga turis-turis Asia, Eropa, dan Amerika yang berlibur ke Bali. Juga yang membeli secara online. Lantunan seruling Gus Teja membawa imaji kepada nuansa alam raya yang rindang, sejuk, sehingga menimbulkan impresi rasa damai. Tak heran jika ada penggemarnya yang menyejajarkannya dengan Kitaro, tokoh inspirasi musik instrumental asal Jepang.
Naik Kasta
Sembilan tahun silam, ia tak membayangkan hal itu terjadi. "Dulu setelah ditolak masuk hotel, saat dititipkan di sebuah toko di Ubud, si pemilik toko hanya mengizinkan dititipkan 5 keping CD," ujar musisi kelahiran Karangasem, 20 April 1982 itu.
Tiap hari ia berjalan melewati toko itu, mengintip dari kaca. Apakah sudah ada yang laku atau belum? Saat tahu berkurang satu keeping, ia girang bukan main. Puncaknya saat pemilik toko menelepon, meminta 10 keping CD lagi.
"Itulah kebanggaan saya sebagai seniman," tuturnya. Ia sebenarnya mengaku sempat bingung. Sebanyak 1.000 keping dalam kardus menumpuk di kamarnya. Tabungannya sebanyak Rp 25 juta, ludes untuk membiayai album perdananya. Ia tak tahu cara memasarkan karyanya.
Ada satu dua teman yang membeli. Ada yang bayar Rp10.000, ada yang Rp50.000. Dewi fortuna datang saat seorang teman menawarkan bantuan membuat video clip.
Setelah jadi video itu diunggah di youtube. Tak lama sebuah stasiun televisi lokal di Bali menayangkan video tersebut. Namun tanpa seizinnya. Gus Teja memberi solusi apik. Ia minta video clip itu diberi label nama grup musiknya, sekaligus nomor ponselnya. Sejak itu, namanya melambung di Bali sebagai maestro seruling.
Alat musik tradisional yang semula tak diminati anak-anak muda itu, mendadak seperti 'naik kasta'. "Dalam orkestra gamelan Bali, pemain suling itu posisinya di pojok. Pemain yang jadi bintang, jadi perhatian cewek adalah pemain gendang atau ugal," ujar alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Bali itu.
Gus Teja sejak SD sudah tergila-gila dengan suling. Selain karena suaranya yang enak didengar, juga karena praktis dibawa ke mana-mana.
Basis bermusiknya sendiri adalah gamelan Bali, seperti yang dipelajari sewaktu kuliah. Namun orkestra gamelan Bali, tak memberi tempat elegan dalam pementasan. Instrumen suling hanya pendukung. Itu sebabnya ia terobsesi menjadikan suling sebagai roh utama saat bermusik. Ruang ekspresinya bukan pada orkestra gamelan Bali. Karena gamelan Bali sudah punya pakem sendiri.
Hampir semua seni pertunjukan Bali yang berbasis pada tradisi menomor duakan suling. Kecuali pada kesenian gambuh, suling yang panjangnya sampai 50 cm. Gambuh pada umumnya dimainkan generasi tua khusus pada acara ritual agama. Musik gambuh kurang berkembang, regenerasinya menurut Gus Teja tersendat.
Tradisional dan Modern
Pada 2008, ia membentuk grup musik yang mengawinkan alat musik tradisional dan modern. Grup musik itu diberi nama Gus Teja World Music. Pemainnya tujuh orang, I Wayan Marjana (slonding kromatik), I Komang Bagia (tingklik baro I), I Wayan Mukayasa (bas akustik), I Ketut Adiasa (tikling baro I), I Gusti Adi Putra ( gitar bas) dan I Wayan Sucipta (perkusi).
Sejak album perdananya meledak, sekarang di mana-mana banyak anak muda bermain suling. Gus Teja bukan sekedar musisi, tapi ia juga mencipta suling sendiri dan instrumen musik lain dengan menggunakan bahan bambu, misalnya tikling atau kulintang tapi medianya bambu, bukan kayu. Suling yang ia ciptakan nadanya mengikuti standar internasional, dalam arti bisa dimainkan dengan akor A, B, C dan sebagainya.
Gamelan Bali yang lama ditekuninya, menjadi jembatan penghubung konsep bermusik modernnya. Ia memang tak ingin kehilangan akar dalam proses kreatif bermusiknya. Terutama dari musik tradisi Bali, walau ia juga memelajari musik tradisi lain di nusantara.
Bahkan khusus untuk instrumen suling, ia juga mengoleksi puluhan suling dari tradisi beberapa negara seperti Amerika, ocarina, quena, pan flute whistle, dan hulusi, dan tentu saja suling bali. Menurutnya, tiap alat musik tiup memiliki karakter suara dan teknik permainan masing-masing. Hal inilah yang melambungkan nama Gus Teja di dunia hiburan baik lokal hingga mancanegara.
"Entah kenapa saya tak diberi nama Ketut oleh orangtua saya," tutur ayah dari 2 anak itu. Kedua orangtuanya, I Nyoman Kadjil dan Ni Wayan Darpini, memang memberi nama Agus Teja Sentosa. Padahal budaya orang Bali, anak pertama biasanya diberi nama Putu, anak kedua Made, dan anak ketiga Nyoman. Sebagai anak keempat mestinya di depan ia menyandang nama Ketut.
"Mungkin karena kedua orangtua saya ingin menunjukkan identitas nasional pada nama saya, " ujarnya sembari tersenyum simpul. Yang jelas, kiprah bermusiknya kini tak hanya diapresiasi di Bali dan di wilayah lain di Indonesia, tapi juga merambah ke berbagai belahan negara lain.
Tawaran konser di luar negeri terus berdatangan. Seperti dari Korea, Jepang, Malaysia hingga Amerika. Albumnya juga tak hanya dijual di toko-toko CD atau tempat oleh-oleh di Bali, tapi juga dipasarkan secara online lewat iTunes dan cdbaby. Ada 4 album yang sudah dihasilkan, yakni Rhytim of Paradise (2009), Flutes for Love (2011), Ulah Egar (2015), dan album solo Sundara (2017).
Salah satu lagunya, Morning Happiness telah ditonton 2 juta lebih penggemar musik di youtube. "Saya memang ingin musik saya tak hanya dinikmati telinga orang Bali atau orang Indonesia, tapi orang luar negeri," katanya.
Lewat musiknya, ia ingin menyebarkan rasa damai, harmoni terhadap sesama dan alam semesta. Ia percaya musik-musiknya bisa memberi energi positif bagi orang yang mau mendengarkan.
Ia menyebut proses kreatif bermusiknya berasal dari hati. Ia selalu mengikuti kata hati dalam proses mencipta karya-karyanya. Ia tak ingin bermusik karena target-target tertentu, terutama tuntutan pasar.
Karena itu mendengar musik karya-karyanya tak cukup dengan telinga saja, tapi juga dengan hati. "Begitu ada inspirasi datang dan ada jodoh, saya langsung rekam suara, bawa ke studio baru bicarakan konsep musiknya dengan teman-teman." (J Anto)