Oleh: Jan Roi A Sinaga. Saat menaiki bus tujuan Medan – Kabanjahe beberapa hari yang lalu, penumpang disuguhkan tayangan video lagu daerah Karo yang sangat enak didengar (meski bagi yang tidak paham bahasa Karo, memaknai arti lagu ini sangat mudah karena sudah familiar). Penulis yang memang penduduk Tanah Karo dan bisa bahasa Karo, tahu betul makna dan tujuan lagu itu untuk siapa, dan untuk apa. Lagu tersebut berjudul “Tanah Karo Simalem”, karya seniman legenda Tanah Karo, Alm. Djaga Depari. Lirik yang menggugah, serta alunan lagu yang ‘sedap’ didengar, membawa kita seolah-olah sedang berada dan merasakan Tanah Karo saat itu juga.
Di aransemen ulang oleh sekelompok anak muda Karo yang berbakat, membuat lagu ‘lawas’ tersebut semakin ‘pas’ di telinga para penikmat musik masa kini. Salah satu bait lyricnya malah langsung menghujam ke hati, yakni “o Taneh Karo, Simalem.. Ingan ta cio cilinggem” (O Tanah Karo yang subur dan penuh berkat, tempat kita berteduh dan hidup). Muncul dibenak kita, benarkah Tanah Karo saat ini masih seperti Tanah Karo yang dulu? Tanah Karo yang bukan hanya menjadi kebanggaan masyarakat Karo di Indonesia, tapi juga kebanggaan masyarakat Sumatera Utara dengan beragam potensi yang dimilikinya !
Jika dulu, tahun 90-an hingga 2000-an, tanah Karo masih menjadi kabupaten yang cukup maju di antara kabupaten lainnya di Sumatera Utara. Kabupaten ini menyimpan banyak potensi yang cukup untuk membuat rakyatnya sejahtera. Potensi pertanian yang cukup baik karena ditopang tanah yang subur, juga sejalan dengan potensi Agro Wisata yang bisa menjadi alternatif lain sebagai sumber penghasilan warganya.
Jeruk madu Siam yang membanjiri berbagai pasar lokal di tanah air saat itu, rata-rata berasal dari daerah yang dikenal dengan sebutan bumi turang ini. Ditambah lagi hasil sayur mayur yang terkenal memiliki kualitas baik dibanding daerah lainnya, seperti Kol, Sayur sawi, tomat, cabai merah, kentang, dan wartel, menjadi komoditi utama hasil pertaniannya. Untuk urusan daerah wisata, Tanah Karo juga menjadi destinasi bagi wisatawan lokal maupun internasional.
Setiap akhir pekan tiba, jalan menuju “puncak”-nya Sumatera Utara ini selalu padat merayap. Di daerah ini, beberapa hotel berbintang berdiri dengan gagahnya, dengan tujuan wisata yang lumayan banyak. Jika ingin mendaki, tanah Karo punya gunung Sibayak (dan Sinabung saat belum erupsi). Pemandian air panas bumi, Agro Wisata keperkebunan warga, air terjun Sipiso-piso, dan destinasi wisata lainnya. Bahkan, menurut data BPS kabupaten Karo, jumlah wisatawan lokal bahkan meningkat setiap tahunnya. Namun, benarkah Tanah Karo masih menjadi tempat yang malem bagi warganya? Menjadi tempat ciocilinggembagi rakyatnya?
Sampai ‘bencana’ itu hadir !
Pada akhir 90-an, tanah Karo benar-benar sangat indah. Di pusat Kota Kabanjahe, ke-asrian benar-benar terjaga. Di kota Berastagi, kesejukan dan keteraturan benar-benar dipertahankan. Dan didesa-desa, budaya cukup kuat dan dijaga kelestariannya lewat beberapa pesta adat. Kehidupan warga tanah Karo bisa dikategorikan sejahtera, dengan hasil pertanian yang melimpah ruah. Bahkan, saat orang Karo bepergian keluar kota, orang-orang selalu menitipkan oleh-oleh jeruk yang terkenal manis itu. Sampai pada akhirnya, beberapa ‘bencana’ hadir menghampiri.
Yang pertama, bencana yang menyerang pertanian warga. Bencana itu berupa hama lalat buah, yang merontokkan buah jeruk para petani, hingga gagal panen terjadi berulang kali. Kerugian yang tidak terkira, membuat para petani akhirnya pasrah untuk tidak menanam jeruk lagi. Beralih ke tanaman muda berupa sayur mayur, ataupun kopi. Beragam cara sudah dilakukan, tapi tidak membuahkan hasil. Hal ini diperparah dengan tidak adanya campur tangan langsung dari pihak pemerintah dan dinas terkait, dalam melakukan upaya penanggulangan hama tersebut. Padahal, yang diserang bukan hanya tanaman jeruk, tapi juga berlaku untuk markisa dan jenis buahan lainnya.
Jeruk yang awalnya menjadi kebanggaan dan sumber kehidupan rakyat, perlahan hilang dari Tanah Karo. Mungkin, hanya sebagian desa saat ini yang masih mempertahankan jeruk sebagai tanaman utama pertanian mereka. Selebihnya? Beralih ke tanaman lainnya seperti kopi dan sayur mayur saja. Jeruk, yang awalnya menjadi ciri khas kabupaten Karo (ditambah markisa), bisa dikatakan telah hilang dari bumi turang ini.
Yang kedua, erupsi Gunung Sinabung yang seakan belum menunjukkan tanda berakhir. Setelah diawali erupsi pada pertengahan 2010 lalu, Gunung berapi paling aktif di Sumatera Utara ini terus erupsi hingga saat ini. Ribuan kepala keluarga terpaksa harus meninggalkan kampung halamannya, agar terhindar dari amukan alam tersebut. Kerugian yang tidak bisa dihitung, ditambah dengan adaptasi lingkungan baru, menjadi penyebab runtuhnya ekonomi warga saat ini. Bukan hanya mereka yang tergusur tempatnya, tapi 2/3 daerah Tanah Karo merasakan dampak erupsi panjang Gunung Sinabung tersebut. Abu vulkanik yang dikeluarkan Gunung Sinabung, selain mencemari udara Tanah Karo yang terkenal segar dulunya, juga merusak tanaman pertanian warga. Bukan hanya pertanian, kunjungan wisatawan juga sangat berpengaruh, karena dampak erupsi tersebut.
Ekonomi rakyat Tanah Karo benar-benar terguncang, pertanian yang diserang hama dan erupsi Gunung Sinabung, dan potensi wisata yang terkesan kurang terawat, menambah daftar panjang, kenapa Tanah Karo saat ini tidak seindah saat dulu. Kenapa Tanah Karo saat ini, tidak sama lagi dengan Taneh Karo Simalem beberapa tahun yang lalu. Itu baru dari segi masalah alam, bagaimana dengan infrastruktur pendukung? Indeks pembangunan manusia nya? Dan edukasi pertanian modern menyongsong era industri 4.0 ?
Kerjasama semua pihak !
Dalam lagu “Taneh Karo Simalem” tersebut, ada sebuah bait yang mengandung makna sangat dalam bagi siapapun yang mendengarnya, khususnya orang Karo, dan kita semua pada umumnya. “ I kepar lawit siapai nge ndia, kecibalen turang besan si ateku ngena, tedeh Kel ateku ia, la kel er leka-leka “ (Di seberang lautan mana kah mereka, sanak saudara yang kurindukan. Aku sangat merindukan kehadirannya, dan rindu ini tidak lekang oleh waktu) begitu kira-kira pengertiannya.
Lirik tersebut merupakan panggilan untuk kita semua, rakyat tanah Karo khususnya, dan kita semua umumnya, untuk bisa hadir ditengah situasi tanah Karo saat ini. Bersama-sama, bergandengan tangan bersama dengan pemerintahan, untuk bahu membahu membangun kembali tanah Karo, seperti tanah Karo yang dulu.
Ide dan sumbangan pembangunan dalam bentuk apapun, akan sangat bermanfaat bagi geliat tanah Karo kembali berjaya seperti beberapa tahun yang lalu. Pemkab Karo pun tidak bisa pasrah dengan keadaan yang terjadi saat ini. Selain pembangunan yang sepertinya jalan ditempat, greget pemkab dalam mengembalikan kejayaan tanah Karo memang patut untuk dipertanyakan. Fasilitas pariwisata, masih jauh dari kata layak. Pengelolaan dan promosi Agro wisata, terkesan hanya dilakukan oleh masyarakat saja. Belum lagi upaya penanggulangan hama, serta beragam solusi pertanian yang sangat dibutuhkan warga, seakan tidak muncul dari pemerintahan.
Potensi Agro wisata Tanah Karo saat ini, begitu menjanjikan untuk terus dikembangkan. Pun demikian untuk potensi pertanian yang mulai down, harus benar-benar dicarikan solusinya, baik dari segi penanggulangan hama maupun pemasaran. Karena, pertanian adalah sumber hidup utama masyarakat Karo saat ini, ditopang oleh Agro Wisata yang bisa menjadi ‘ladang’ rupiah tambahan. Tentunya, kinerja pemerintahan kabupaten harus benar-benar hadir bagi masyarakat, memberikan dampak bagi masyarakat secara langsung. Bisa melalui perbaikan infrastruktur, meningkatkan intensitas penyuluhan pertanian, atau bahkan menggandeng pihak swasta dalam bidang pertanian dan agro wisata, untuk membantu masyarakat menemukan solusi atas banyak masalah yang menghampiri.
Banyak potensi yang bisa dikembangkan di Tanah Karo, untuk menjadikan Tanah Karo menjadi Tanah Karo Simalem, yang diimpikan semua orang. Kerjasama semua pihak harus benar-benar terwujud, pemkab dengan masyarakat. Agar Tanah Karo benar-benar bisa menjadi rumah yang malem bagi rakyatnya, dan nyaman bagi para pendatang yang ingin menikmatinya.
Tanah Karo menjadi contoh dalam kasus ini, dimana keadaan ini juga sedang dihadapi kabupaten lain di Sumatera Utara. Tanah Karo dan Kabupaten lainnya di Sumatera Utara saat ini, harus bersiap dengan gelombang perubahan cepat yang terjadi, apalagi dalam menghadapi era industri 4.0. Jika kita tidak siap, maka kita akan tertinggal. Tanah Karo yang kita jadikan ‘objek’ pembelajaran, tidak akan pernah menjadi Taneh Karo Simalem seperti yang kita impikan.
Kita harus bahu-membahu membangun daerah kita, seperti hal yang pernah dicanangkan oleh mantan Gubernur Sumatera Utara, Raja Inal Siregar, yakni “Marsipature Huta Nabe”. Semoga. ***
Penulis, Pemerhati Sosial, Pendidikan, Politik