Mencegah Pelajar Menjadi Teroris

Oleh: Fritz Hotman S. Damanik

MENURUT Jainuri (dalam Mubarak, 2012), istilah teror dan terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat populer pada dekade 1990-an dan awal 2000-an sebagai bentuk kekerasan aga­ma. Suryani (2017) menambahkan betapa teror­isme dapat pula berwujud sikap dan perilaku anti etnis atau budaya yang berbeda. Adapun United Nations Special Rapporteur on the Promotion and Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms While Countering Terrorism menye­but bahwa terorisme merupakan perbuatan atau upaya percobaan dimana perbuatan tersebut pada pokoknya ditujukan untuk menyatakan permusuhan yang bertujuan untuk menimbulkan kematian atau mengakibatkan luka yang serius terhadap satu atau sekelompok orang atau melibatkan kekeras­an fisik yang serius atau mematikan terhadap satu atau seke­lompok orang dan perbuatan tersebut dilakukan dengan niat untuk menimbulkan keadaan atau situasi yang menimbul­kan ketakutan yang teramat dalam di masyarakat.

Apakah yang menjadi penyebab munculnya terorisme? Selain masalah politik, Surya­ni (2017) mengungkapkan bahwa terorisme adalah 'anak kandung' dari intoleransi juga radikal­isme. Kegagalan mengintegrasikan nilai-nilai nasionalisme yang berbasis pluralitas serta penolakan untuk mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan tak ayal akan melahirkan teroris atau pelaku-pelaku teror. Walau kini masih la­ten, suatu saat dipastikan akan termanifestasi dalam tindakan-tindakan menebar teror.

Intoleransi dan radikalisme ternyata tak luput pula menjang­kiti kalangan pelajar. Riset Lembaga Kajian Islam dan Perda­maian mengungkap tren intoleransi pada pelajar. Ini tampak dari dukungan mereka terhadap tindakan perusakan dan penye­gelan rumah ibadah (41,1%); perusakan rumah atau fasilitas anggota keagamaan yang dituding sesat (51,3%); perusakan tempat hiburan malam (28,1%); hingga pembelaan bersenjata terhadap umat dari ancaman pemeluk agama lain (43,3%).

Adapun penelitian The Wahid Institute (2015) di Jabodetabek terhadap 306 pelajar menemukan fenomena tak jauh berbeda (27% responden menolak mengucapkan selamat hari raya pe­me­luk agama berbeda, 15% menyatakan akan membalas tin­dakan perusakan rumah ibadah mereka, sementara 3% takkan menjenguk teman berbeda agama yang sedang sakit). Dua tahun berselang, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2017), berdasarkan penelitian terhadap responden yang tersebar di 34 provinsi, menemukan 34,3% pelajar memiliki pandangan intoleransi eks­ternal atau terhadap umat beragama, sementara 51,1% mempunyai intoleransi internal atau terhadap aliran-aliran dalam agamanya sendiri.

Melibatkan Keluarga Modern

Untuk mencegah pelajar menjadi intoleran serta radikal ada banyak cara yang dapat ditempuh. Salah satunya adalah dengan meli­batkan keluarga modern dalam satuan pendidikan sebab, mengacu peribahasa Jawa, anak polah, bapa kepradhah 'orang­tua bertanggung jawab terhadap kehidupan anak-anaknya'. TOLERAN merupakan akronim dari upaya pelibatan orangtua yang penulis gagas.

Dengan TOLERAN (Terlibat pertemuan sekolah-Obati prasangka anak dengan dialog-Lerai keke­rasan sebelum menjadi teror - Eksaminasi guru dan kegiatan­nya - Rutin pantau pemahaman anak-Awasi kokuriku­ler dan ekstrakurikuler-Negativitas harus diubah menjadi rekategori­sasi) bersendikan kearifan lokal diyakini intoleransi akan se­gera sirna sehingga takkan mewujud menjadi radikalisme yang berujung terorisme.

Orangtua modern adalah manusia masa kini yang menyukai perencanaan. Orangtua modern selalu merencanakan segala sesuatu di masa depan serta mengetahui apa yang akan mereka capai pada bertahun-tahun mendatang. Oleh karenanya, sangat tepat bila sekolah mengajak mereka terlibat pertemuan rutin guna membahas mengenai perencanaan pembelajaran atau kegiatan sekolah, penanggulangan berbagai masalah anak yang membutuhkan partisipasi orangtua, upaya menciptakan lingkungan rumah yang dapat mendorong anak berprestasi, hingga harapan orangtua untuk masa depan anak. Pertemuan dimaksud sebaiknya dijiwai kearifan lokal Jambi, yaitu elok cakap tengah berumbuk, buruk cakap serambi berumbuk 'segala perkara hendaknya tak dihadapi sendiri, melainkan di­run­dingkan bersama'.

Agar anak tak menjadi teroris, orangtua perlu memastikan sekolah mengadakan ba)nyak kegiatan yang mendorong ber­lang­sungnya interaksi intensif antar pelajar berbeda latar belakang (ras, suku, agama). Meminjam pendapat Baron dan Bryne (dalam Sarwono, 2012), meningkatnya interaksi me­mungkinkan timbulnya pemahaman lebih mendalam mengenai kesamaan-kesamaan yang dimiliki. Pemahaman tentang kesamaan tersebut selanjutnya akan memunculkan daya tarik dari pihak-pihak berbeda, sehingga mampu mencegah ataupun mengikis intoleransi.

Orangtua modern memiliki kepekaan terhadap masalah sekitarnya dan sadar bahwa masalah tersebut berhubungan dengan diri­nya. Maka, sekolah tak perlu ragu melibatkan orangtua modern demi obati masalah prasangka anak dengan dialog. Acap terjadi anak belajar membenci perbedaan dan ber­prasangka karena orangtua menularkan sikap negatifnya kepada anak. Maka, wali kelas, guru BP/BK, atau guru pendi­dikan agama perlu berdialog dengan orangtua agar mereka menyadari betapa prasangka akan me­nimbulkan ketidaknya­man­an, bukan saja bagi sasaran prasangka, tetapi juga untuk orang yang berprasangka.

Prasangka yang dimiliki membuat seseorang tidak dapat hidup tenang dan selalu merasa khawatir jika berjumpa dengan anggota kelompok yang menjadi sasaran pra­sangkanya. Selain itu, orang yang berprasangka pada gilirannya sangat mungkin berbalik menjadi sasaran prasangka, sebagaimana diingatkan petuah Sulawesi Selatan apa-apa nilamung ia tommi antu attimbo 'apa dan bagaimana perbuatan kita, demikian juga balasannya'.

Dengan dialog, diharapkan orangtua akan termotivasi untuk tidak menularkan kebencian atau prasangka apa pun kepada anak. Secara bertahap, orangtua juga diyakini mampu meng­ajarkan anaknya untuk bersikap positif dan menerima keber­adaan orang lain dengan penuh ketulusan. Hal dimaksud paling baik dilakukan melalui keteladanan karena, sebagaimana diingatkan oleh kearifan Sulawesi Tengah, vesia lale vesia muni pakavai 'perbuatan anak pasti meniru orangtuanya'.

Orang Tua Tidak Terpancing

Jika terjadi kekerasan terhadap anak di sekolah, baik dilaku­kan oleh guru maupun sesama pelajar, orangtua hendaknya tak lantas terpancing untuk datang ke sekolah dan melakukan pem­balasan seperti peristiwa di SMPN 4 Lolak (Bolmong, Sulawesi Utara), SDN 31 Meliau (Sanggau, Kalimantan Ba­rat), dan lainnya yang mungkin tak diberitakan media. Seba­liknya, orangtua perlu me­ngajak sekolah agar bersama lerai kekerasan sebelum menjadi teror. Perlu dicamkan bahwa kekerasan maupun teror adakalanya bisa berujung maut seperti ditegaskan kearifan lokal Bali yen dugas pagerenge ento pacepukanga teken Widine, sinah ada mati, maka siapa pun sepatutnya jangan pernah memberikan ruang bagi kekerasan.

Tak bisa disangkal bahwa memang masih ada segelintir guru yang bangga dengan ke­ke­rasan, sebab menganggapnya sebagai media komunikasi paling efektif. Mereka sering masih menganggap peserta didik sebagai obyek pasif yang permisif dan submisif, sehingga bisa diperlakukan sewenang-wenang. Untuk menutupi keterbatasan pe­ma­­haman dan pengetahuan­nya terhadap ma­teri yang diajarkan, sebagian guru juga kerap menggunakan kekerasan. Setiap pertanyaan atau sikap kritis dari siswa akan ditanggapi dengan hardikan atau hukuman fisik. Aki­batnya, siswa enggan mengemukakan pen­dapatnya dan guru tadi pun leluasa mengajar semampu dan semaunya, tanpa pernah tergerak untuk mengembangkan diri. Guru sema­cam ini tentunya perlu dievaluasi, dibina, dan dijatuhi sanksi oleh pimpinan seko­lah, berdasarkan aduan orangtua disertai buk­ti-bukti valid, agar tak mengulangi perbuatannya.

Bila kekerasan dilakukan oleh sesama pe­lajar, sanksi hen­dak­nya tak berwujud ke­kerasan agar pelajar tidak meng­anggap­nya sebagai metode komunikasi yang efektif. Sanksi dapat diberikan berupa 'Proyek Tolong Sesama' dimana pelajar diminta bermitra dengan sebayanya yang berbeda latar bela­kang (ras, suku, agama) untuk melakukan satu kebaikan, misal­nya berbagi perleng­kapan sekolah atau menggalang biaya peng­obatan bagi tetangga yang membutuhkan, sehingga per­lahan bisa mengembangkan keterampilan untuk hidup dalam masya­ra­kat multikultural, termasuk terampil berne­go­siasi, mengemukakan dan menghadapi perbedaan, resolusi konflik, belajar menjalin kerja sama, serta membiasakan diri me­me­­cahkan masalah. Untuk mengawasi dan memberikan semangat kepada pelajar pe­laku kekerasan saat melaksanakan sanksi, sekolah perlu memberdayakan para orangtua yang tergabung dalam tim pencegahan kekerasan bentukan sekolah sesuai Permen­dikbud No. 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga Pada Penyelenggaraan Pendidikan.

Orangtua modern yang terlibat dalam tim pencegahan kekerasan lazimnya percaya terhadap ilmu pengetahuan dan menguasai teknologi. Dengan demikian, mereka dapat diber­dayakan sekolah untuk melakukan Eksaminasi guru dan kegiatannya. Pemantauan atau eksaminasi terhadap guru dapat dilakukan dengan mencermati aktivitasnya (status, post, tweet) di media sosial. Jika cenderung intoleran dan memusuhi perbe­daan, maka tim pencegahan kekerasan perlu langsung mela­porkannya kepada pimpinan sekolah maupun Dinas Pendi­dikan setempat agar guru dimaksud tak leluasa mencetak tero­ris-teroris muda di ruang kelas.

Walau orangtua modern berkarakter ekonomisme, yang ke­hi­dupannya didominasi oleh aktivitas ekonomi, tujuan eko­nomi, kriteria ekonomi, maupun prestasi ekonomi, hendaknya berusaha meluangkan waktu untuk rutin pantau pemahaman anak. Ada tiga pertanyaan sederhana yang dapat ditanyakan kepada anak menggunakan susunan kata sesuai usia demi menguji pandangannya, yakni "Apakah kamu memiliki sahabat berbeda latar belakang? Apakah kamu mau memberi bantuan dan dukungan pada sebaya yang berbeda latar belakang? Apakah kamu bersedia memberikan kesempatan kepada pe­meluk agama atau etnis berbeda untuk melaksanakan keyakin­an atau mengekspresikan budayanya?" Jika anak menjawab 'ragu-ragu' atau 'tidak' terhadap ketiga pertanyaan ini, maka orangtua perlu berkonsultasi atau berdiskusi dengan wali kelas, guru BP/BK, atau guru pendidikan agama. Pentingnya kon­sultasi atau diskusi tak ayal diingatkan oleh kearifan lokal Sumatera Utara, rata pe bulung ni salak, rataan do bulung ni sitorop, uli pe hata sahalak, ulian do hata torop 'memang baik pendapat satu orang, tapi le­bih baik pendapat banyak orang'.

Bila anak memperoleh pemahaman into­leran dan radikal dari guru pendidikan agama, maka orangtua dapat menggan­deng pemuka agama terpercaya untuk meluruskan pandangan anak agar secepatnya mampu menghormati, tulus, serta toleran terhadap keberagaman masyarakat. Agar intoleransi juga radi­kalisme tak semakin merebak di sekolah, orangtua dapat me­nyampaikan keluhan, saran, kritik, juga aspirasi kepada Komite Sekolah atas pelayanan pendidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagaimanapun, komite sekolah tak hanya berfungsi menggalang dana dan sumber daya pendidikan lainnya dari masyarakat, melainkan memberikan pertimbangan serta mengawasi ki­nerja sekolah.

Orangtua, baik yang telah menjadi anggota komite sekolah atau­pun belum, dapat pula dilibatkan dalam kegiatan kokurikuler maupun ekstrakurikuler. Kokurikuler merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk le­bih memperdalam dan menghayati materi pelajaran yang telah dipelajari dalam kegiatan intrakurikuler didalam kelas. Agar tak memberi beban berlebihan pada pelajar hingga malah mencari pelampiasan berwujud perilaku menyimpang (pornografi, penyalahgunaan narkoba/napza, tindak kriminal, ke­kerasan, aksi teror), kegiatan kurikuler dapat diarahkan agar lebih bermakna dan menye­nang­kan.

Guru kelas ataupun Guru IPS/Pendidikan Kewarganegara­an/Sosiologi, misalnya, bisa mengadakan 'Pekan Kenal Bu­daya' dimana orangtua dan anak dari berbagai suku menjadi nara sumber yang memperkenalkan kebudayaannya secara atraktif sebagai kesempatan untuk saling memahami nilai-nilai kebaikan universal yang ada pada setiap budaya (multicultural ethnicity). Adapun Guru Pendidikan Agama bisa menggagas 'Hari Unjuk Toleransi' dimana narasumber, yakni orangtua dan anak dari sejumlah agama yang ada di sekolah, bisa menun­jukkan ritus juga praktik berikut maknanya, tanpa mendak­wah­kan ajaran, sehingga warga sekolah berangsur tulus menerima kebenaran dari keberbagaian serta tak lagi menganggap diri­nya sebagai pemilik tunggal kebenaran. Semuanya sungguh tepat bila mempedomani petuah lokal Yogyakarta 'ngèlmu iku kelakoné kanthi laku', artinya mencari pengetahuan adalah keharusan bagi setiap orang.

Mengenai kegiatan ekstrakurikuler, meskipun menekankan pada kegiatan kelompok dan kerap ditangani oleh pembim­bing/pelatih dari luar sekolah, tak boleh luput sekejap pun dari perhatian sekolah serta orangtua. Sekolah perlu memastikan kompetensi juga latar belakang pembimbing/pelatih sebelum mempercayakannya mengampu suatu kegiatan ekstrakuriku­ler. Orangtua pun mesti melibatkan diri dengan mencermati keikutsertaan anak. Jika anak acap pulang dengan kondisi tertekan,emosional, kasar, sarat kebencian terhadap golongan tertentu, dan mulai gemar menjauhkan diri dari pergau­lan dengan sebaya yang beragam setelah mengikuti kegiatan ekstra­kurikuler tertentu, maka orangtua semestinya tanggap dan me­ngajak sekolah lebih intensif melakukan pemantauan.

Akhirnya, negativitas harus diubah menjadi rekategorisasi. Untuk itu, sekolah bersama orangtua,melalui kegiatan pentas kelas akhir tahun pembelajaran maupun kegiatan penguatan pendidikan karakter anak di satuan pendidikan, selayaknya mengupayakan agar anak mampu mengembangkan perilaku etis, di antaranya mencintai sesama manusia, saling memberi pertolongan tanpa pamrih dan tak membeda-bedakan, serta peka terhadap kebutuhan orang lain seturut kearifan Nusa Tenggara Timur berbunyi lo ane io ane io nuntun ga aten. Selanjutnya barulah anak dapat diajak melakukan rekategori­sasi, yaitu perubahan batas antara in-group (kelompok dalam) dan out-group (kelompok luar). Melalui rekategorisasi, seseorang memperluas area kelompok dalamnya, se­hingga orang lain yang semula dianggap anggota kelompok luar bisa diterima sebagai anggota kelompok dalam.

Sebagai contoh, pada awalnya etnis A memiliki prasangka kepada etnis B sebagai kelompok luar. Namun, ketika etnis A bersedia melakukan rekategorisasi dan memperluas area kelompok dalamnya, akan timbul kesadaran bahwa etnis A dan B merupakan bagian dari entitas tunggal yang disebut 'bangsa Indonesia'. Dengan demikian, prasangka pun perlahan lenyap karena kini 'kami' (us) dan 'mereka' (them) telah berubah menjadi 'kita' (we), sehingga terjalin persahabatan erat sejalan kearifan Nusa Tenggara Barat bune uhu labo hii. Pada akhir­nya, rekategorisasi berpotensi mengurangi intoleransi yang mungkin masih tersisa.

Bila TOLERAN (Terlibat pertemuan sekolah - Obati pra­sang­ka anak dengan dialog - Lerai kekerasan sebelum menjadi teror - Eksaminasi guru dan kegiatannya - Rutin pantau pema­haman anak - Awasi kokurikuler dan ekstrakurikuler - Nega­tivitas harus diubah menjadi rekategorisasi) tersebut dilakukan secara berkelanjutan dengan keterlibatan aktif orangtua, se­kaligus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan (stake­holders) dalam sekolah serta masyarakat, diyakini bahwa kelak akan dapat lahir individu-individu yang toleran, mampu meng­hargai keberbagaian sebagai keniscayaan di Indonesia, dan mencintai perdamaian, tanpa perlu melalui program deradi­kalisasi yang menyita dana besar. Ketika itu, sekolah takkan pernah lagi menghasilkan pelaku kekerasan dan teror, melain­kan penyebar kedamaian yang mampu bersatu menjaga ke­utuhan NKRI. Semoga saja.***

* Penulis adalah Sosiolog, Penulis Buku Pelajaran Sosiologi untuk Penerbit Bumi Aksara dan Penerbit Erlangga di Jakarta

()

Baca Juga

Rekomendasi