Simbiosis Mutualisme Penegakan Hukum

Oleh: Multajimah MA

MEMBURU pejabat yang korup di negara yang sistem hukumnya relatif beroperasi secara lancar, tidak memba­wa hasil yang memuaskan. Pada 1980-an dan 1990-an banyak peja­bat korup di India, Pakistan dan Bangladesh diseret ke peng­adilan dan dijeblos­kan ke penjara. Beberapa bulan kemudian, pejabat yang menggantikan posisi pendahulunya yang meringkuk di penjara menjalankan praktek korupsi yang sama. Itu yang terjadi dalam sistem hukum yang relatif baik.

Mengejar koruptor sebagai kebijakan tunggal dalam suatu sistem hukum yang sudah tidak berfungsi lagi seperti halnya di Indonesia akan mengakibatkan dua jenis pemburukan yang lebih parah lagi. Ia tidak akan membawa hasil apa-apa karena seorang koruptor mempunyai banyak uang untuk me­nyele­weng­kan proses hukum. Ia juga meng­hancurkan sisa-sisa ke­per­cayaan ma­syarakat pada azas negara hukum Undang-Un­dang Dasar Indonesia. Dan dengan itu juga pada persepsi ke­negaraan Indonesia itu sendiri. Masyarakat ramai sudah lama bersaksi bagaimana seorang pejabat yang dituduh korupsi diperiksa, ditahan, diperas oleh pemeriksanya, kemudian di­tuntut, lalu dibebaskan oleh pengadilan. Penangkapan dan pe­na­hanan pejabat, baik mantan maupun yang masih menjabat, oleh aparatur penegak hukum sudah lama menjadi bahan lelu­con umum. Seperti pada pertunjukan pewayang­an, para pe­nonton sudah tahu bagaimana ceri­ta akan berkembang dan ber­akhir.

Menggambarkan sebagai negara aspal (asli tapi palsu) atau negara gelap. Sistem hu­kum yang formal di negara aspal se­ma­cam itu canggih dan dikawal retorika publik yang meya­kinkan. Undang-undang ba­nyak dibuat, tapi penegakannya ditekuk bila sasarannya mengena orang yang kuat. Bagi yang lemah penegakan berlangsung dengan penggunaan kekerasan negara. Di negara gelap uang dan kekuatan ditempa oleh kultur kekerasan menjadi suatu simbiosis timbal balik. Kekerasan menjadi perekat sistem yang berlaku; tidak seorang pun dapat mengelak bila mau hidup di negara gelap seperti itu (Lindsey). Mereka yang tumbuh segar-bugar adalah dunia preman, dan dunia jawara. Semua yang bernilai diperdagangkan: informasi, jabatan, hak, hukum dan segala yang agung nilainya. Negara yang di­dengung-dengungkan sebagai negara hukum dalam ke­nyataannya bukan saja suatu negara gelap, melainkan juga negara preman. Bah­wa hukum tidak dapat dipisah dari politik, sedangkan hasil pengadilan tergantung pa­da siapa yang diadili. Hukum formal tidak mungkin dikenakan pada elit pejabat pe­me­rin­tahan. Oleh karena itu, bila mau membasmi korupsi, harus terlebih dulu menyerbu benteng-bentengnya di birokrasi dan pe­ngadilan. Karena negara tidak mungkin me­ngubah diri­nya sendiri. Perubahan itu ha­nya mungkin, bila landasan buda­ya bergeser, maka ia merupakan proses yang panjang, su­lit dan menyakitkan.

Semua orang menderita sedikit demi sedikit. Penderitaan eceran ini tidak menimbulkan emosi yang meluap yang di­perlukan untuk mobilisasi masyarakat secara besar-besaran guna melawan korupsi. Dalam kasus korupsi tingkat jalanan para korban membayar tunai dan menderita dalam bentuk ke­merosotan tingkat hidup. Tidak melihat kemungkinan perla­wanan yang terorganisasi. Respon yang tampak atas pemerasan kecil-kecilan ini hanya kemarahan yang terpendam. Dan semua per­buatan ini ditegakkan oleh oknum polisi, pejabat peme­rintah, para ha­kim, dan jaksa. Tidak mengherankan, itu me­mang ladang garapannya. Dampaknya mengejutkan otoritas dan legitimasi peme­rintah habis, hukum tidak berarti, alhasil dimana-mana berlangsung penyalahgunaan ba­kat dan warga negara.

Korupsi itu normal, sebaliknya yang tidak normal adalah bila tidak ada korupsi. Korupsi berlangsung di mana-mana, dan mereka yang mempraktekkannya tidak terlalu sadar bahwa kelakuannya itu sangat buruk dan jahat. Korupsi struktural adalah korupsi yang sudah tertenun dalam jaringan pe­merin­tahan. Sehingga kekuasaan pemerintah dipakai untuk men­jalankan kegiatan ko­rupsi. Korupsi struktural juga menjelujuri seluruh kegiatan sosial dan ekonomi ma­syarakat. Mengambil satu contoh dan me­ngikuti dampaknya di berbagai sektor kehidupan. Ia berpendapat bahwa korupsi memangsa kemis­kinan. Orang miskin gampang di­eksploitasi karena ingin sekali mendapat pekerjaan (Gary Goodpaster).

Penambangan emas yang ilegal di Kalimantan sudah mem­punyai ciri-ciri korupsi sistematis. Yang digunakan sebagai tenaga kerja terutama kaum migran miskin dari Ja­wa dan Ma­dura. Mereka dipinjami modal oleh pengusaha lokal yang harus dibayar kembali dalam bentuk separuh dari emas hasil penam­bangannya. Untuk menghindari razia, pejabat polisi, militer dan pemerintah lokal disuap. Akibat korupsi semacam ini pa­da lingkungan hidup amat mengerikan. Ladang yang ditinggalkan para penambang liar menyerupai medan yang baru saja di­rampok habis dan kemudian dibakar; lahan yang tadinya hijau menjadi mandul, racun merkuri dan sianida membanjiri sungai-su­ngai, mematikan satwa dan ikan, mengering­kan mata pencarian berjuta penduduk di se­pan­­jang alirannya. Di sam­ping suasana penjarahan tampak suatu sistem harapan-harap­an, perangsang, pengaturan bagi laba dan pembagian status kebal hukum. Tidak jarang korupsi sistematis seperti ini bergabung de­ng­an kelompok penjahat yang terorganisasi, atau bahkan menciptakan kelompok se­macam itu. Dalam sistem semacam ini pejabat pemerintah mendapat bayaran untuk melindungi kegiatan illegal pungutan mereka seperti pajak atas jasa peme­rintah.

Seorang Muslim yang setiap tahun menu­nai­kan ibadah haji, memberi sumbangan kepada madrasah, pesantren, atau mem­bangun masjid, tidak akan membasuh dosa korupsi. Hal ini perlu dikumandangkan di ribuan mas­jid di seluruh Indonesia. Sekadar untuk melawan doktrin "Islam" tidak resmi yang me­nyatakan bahwa mencuri dengan tangan kiri, dan membangun masjid dengan tangan ka­nan, akan memaafkan tangan kiri si pencuri. Suap dan korupsi uang negara dianggap begitu besar dosanya dalam agama Islam sampai dikonfrontasikan langsung dengan Allah SWT. Yang dipengaruhi oleh suap adalah inde­pendensi yang bersumber pada Tuhan. Mencuri uang negara adalah mencuri uang Tuhan. Ini tidak mengherankan bila kita tinjau kehancuran yang disebabkan oleh korupsi di dalam ne­gara dan masyarakat bangsa.

Korupsi berkembang biak dan betah dalam masyarakat yang terbagi dalam hirarki kelas-kelas sosial dan yang ekonominya didominasi oleh negara. Korupsi juga subur berkembang dalam keadaan negara sedang melemah dan kehilangan otoritas yang semula dimiliki. Indonesia adalah masyarakat semacam itu. Bi­rokrasinya membengkak, gaji ditekan rendah agar dapat meng­akomodasi pegawai dalam jumlah besar. Ini menjelaskan pola kerja di kan­tor-kantor pemerintah. Kata orang, "pegawai negeri digaji untuk hadir, bukan untuk kerja". Mereka meng­harapkan pembayaran "ekstra" bila dimintai keterangan, atau di­minta mengerjakan sesuatu. Apalagi dimintai keputusan di bi­dang yang merupakan kewenangan mereka. Proyek dan pe­nu­gasan baru sangat disukai karena menjanjikan bayaran ekstra. Pada dasarnya fungsi pemerintahan telah diswastakan secara diam-diam, dan tujuan awal suatu pemerintahan dise­lewengkan. Apa bedanya pegawai negeri yang minta dibayar untuk pekerjaan yang sejak awal sudah merupakan kewajiban­nya.

Interpretasi harfiah dari ketentuan tersebut dapat menghan­cur-luluhkan setiap arah ke­baikan yang diniatkan oleh keten­tuan itu. Mi­salnya, orang bisa berkata bahwa"pajak" tidak sama dengan "zakat", dan oleh karena itu pajak boleh saja dicuri, dikorup,atau di­peras dari para wajib pajak. Yang tidak boleh dicuri adalah zakat, karena ha­nya"zakat" yang disebut dalam Al-Qur'an. Seandainya­pun zakat disamakan dengan pajak, maka di Indonesia itu hanya merupakan kira-kira 12% dari anggaran belanja negara, sehingga sisa­nya sejumlah 88% boleh saja dipesta-porakan oleh para pencoleng, maling dan koruptor. Dalam mengidentikkan pajak dengan za­kat, dan dalam memasukkan keuangan negara ke dalam kategori "zakat" yang diamanatkan Allah SWT kepada pemerintah dan para peja­batnya (Masdar Mas'udi)***

* Penulis Dosen STAIS TTD & UIN SU

()

Baca Juga

Rekomendasi