Nilai-nilai Pancasila Pasca Gempa Lombok

Oleh: Ahmad Afandi

BENCANA alam tidak dapat diprediksi satu orangpun peri­hal kedatangannya. Indonesia sebagai negara yang me­miliki permukaan wilayah (relief) beragam sangat berpotensi digun­cang gempa. Kali ini, gempa kuat meng­gu­ncang wilayah Lombok (Nusa Teng­gara Barat) dan Bali pada Minggu (29/07) yang menyebabkan setidaknya 14 orang meninggal dunia, lebih dari 160 lain­­nya luka-luka. Laporan ini didapat dari juru bicara Badan Nasional Penang­gu­langan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho. (Bbc.com)

Lima di antara korban meninggal du­nia dilaporkan adalah anak-anak. Gempa ber­kekuatan 6,4 SR tersebut juga me­nyebabkan lebih dari 1.000 rumah rusak. Hingga Minggu sore waktu setempat dirasakan setidaknya 133 gempa susu­lan. Pihak BNPB menyebut hingga se­kitar pukul 9.20 WITA, gempa susulan ter­jadi hingga 66 kali. Sampai, Senin 30 Ja­nuari 2018, SAR dan gabungan TNI Polri masih berusaha mengevakuasi para korban gempa. Pemerintah yang diwa­kil­­kan oleh Presiden menuturkan ucapan be­lasungkawa terhadap semua warga Lombok. Bantuan pun dipastikan akan terus berdatangan.

Gempa Lombok merupakan pukulan telak bagi negara ini setelah sekelumit persoalan yang menimpa masyarakat di beberapa wilayah lain. Bencana yang menimpa saudara kita di Lombok adalah bencana yang juga dialamatkan kepada kita untuk mengukur sejauh mana nilai kemanusiaan yang kita miliki. Kita hendaknya tidak ingin siapapun yang menjadi saudara kita kesusahan karena bencana. Sebagaimana nilai nasionalis yang tumbuh pada pribadi luhur masya­ra­kat Indonesia. Bagi warga yang terkena ben­cana tidak ada pilihan lain kecuali hanya menunggu bantuan sembari me­nunggu hasil evakuasi. Dimana masih sa­ngat diharapkan petugas evakuasi me­ne­mukan keluarga korban di balik re­run­tuhan bangunan.

Nilai-nilai Pancasila

Sebagaimana manusia sebagai makh­luk sosial, kiranya ulur­an tangan kepada sau­dara-saudara kita yang terkena mu­sibah patut diutamakan. Dalam kehidup­an berbangsa yang dibangun dari mulai Pancasilais, kekuatan nilai-nilai panca­sila harus diaktifkan. Kajian dari nilai-nilai pancasila tidaklah serta merta meru­pakan acuan dasar dalam memberikan ban­tuan. Akan tetapi lebih dari itu, bah­kan dari sila pertama hingga ke lima sila tersebut mengajarkan setiap masyarakat ba­nyak hal, khu­­susnya setelah gempa me­landa bangsa ini.

Nilai-nilai dalam pancasila bisa menjadi tolak ukur serta ba­han refleksi bagi kita. Dalam sila pertama mengajar­kan kita berhubungan baik de­ngan Tuhan selaku pemilik seluruh alam. Ben­cana datang dari Tuhan. Sampai de­tik ini kedatangan gem­pa tidak dapat di­cegah dengan cara apapun. Sebab Tu­han yang mengatur bencana yang di­tu­run­kan ke bumi, sudah sepan­tas­­nya kita ber­buat baik kepada Tuhan ter­lebih da­hulu. Apapun ajaran agama­nya barang tentu disuruh berbuat baik. Menjalin hubungan baik kepada Tuhan­nya.

Dalam sila pertama diajarkan bagai­mana kita memprio­ritas­kan hubungan ke­pada pemilik alam terlebih dahulu. Ar­tinya di sini, ibadah kepada Tuhan perlu di­gencarkan. Sela­ma ini barang­kali uru­san dunia terlalu mengaburkan pan­­da­ngan kita. Ada baiknya kita meng­kaji diri sen­diri sejauh mana kita men­jalin ibadah kepada Tuhan kita ma­sing-masing. Ter­lepas dari ibadah ter­sebut, doa sangat di­per­lukan untuk menjauh­kan diri bala ben­cana di negeri ini. Se­lanjutnya dalam sila ke dua, barulah kita dituntut untuk berbuat baik kepada lingkungan sekitar. Kata adil dan ber­adab merupakan cer­min­an men­da­sar atas sikap dan ke­pri­ba­di­an yang kita tunjukkan.

Adil berarti memposisikan diri di se­tiap kondisi yang menerpa. Hal ini sebagai refleksi mendalam bagi seluruh ma­nusia. Dimana kita sering salah me­nem­patkan kata keadilan di kehidup­an se­hari-hari. Kata adil yang sering kita amini ada­lah bentuk aplikasi kepada ma­nusia. Sementara adil bersifat me­nye­luruh. Kepada makhluk hidup dituntut untuk adil begitu juga kepada lingkungan di sekitar kita. Mungkin, kealpaan yang mem­buat kita terlalu sibuk mencari mak­na keadilan dari manusia lain. Sementara per­­la­kuan kita terhadap lingkungan se­me­­na-mena. Menguras kekayaan alam, ta­nah batuan yang meng­akibatkan berku­rang­nya kekuatan struktur alam negeri ini.

Dalam sila Persatuan Indonesia, pe­ran dari masyarakat Indonesia lebih men­­do­minasi. Ada pepatah yang me­nga­ta­kan ber­satu kita teguh bercerai kita run­tuh. Ar­tinya kita yang tidak ter­kena bencana alam barangkali menjadi wajib mem­­ban­tu saudara-saudara kita yang mem­butuh­kan bantuan pasca gempa dahsyat me­landa. Sehingga persatuan yang di­mak­sud dapat dicapai secara hakiki. Konteks membantu mereka yang terkena musibah merangkul semua pihak, baik yang berkepentingan mau­pun tidak. Seluruh rakyat Indonesia dipastikan sangat ber­niat mengurangi beban para korban. Untuk itu, kesadaran dalam diri perlu digali sedalam-dalam­nya agar tergerak hati kita untuk mem­bantu.

Bantuan yang dimaksud juga bukan se­mata-mata hanya berbentuk fisik be­ru­pa uang atau barang yang dibutuh­kan, tenaga, fikiran doa sangat diperlu­kan untuk membangun mental para korban sekaligus fasilitas yang runtuh akibat gempa. Sementara itu di sila ke em­pat me­nunjukkan komitmen dalam aksi ma­syarakat yang hendak membantu para korban. Mufa­kat dan musyawarah dila­ku­kan untuk mencari solusi dari semua per­masalahan yang ada. Ketika gempa, me­mungkinkan banyak hal yang tidak diinginkan terjadi. Bagaimana sila ke empat merefleksikan peran peran berke­pen­tingan seperti pemerintah menye­les­aikan permasalahan. Misalnya pada ang­gota korban yang meninggal dunia, atau para korban yang ru­­mahnya dengan ta­nah dapat didahulukan pemberian ban­tuannya.

Sebab musyawarah itu sangatlah pen­ting. Kita tidak bisa mengambil kesim­pul­an secara sepihak, dibutuhkan tinda­kan dari semu pihak dalam memberikan masukan kepada para korban gempa. Hal ini langsung mengerucut kepada peme­rin­tah selaku pemangku kepentingan terbesar di negara ini. Pemerintah harus mengerahkan semua anggaran dana dan pihak terkait untuk membangun sisa wi­layah yang terkena gempa. Seperti yang diinformasikan, bahwa ratusan ru­mah runtuh hampir 90%. Pemerintah di­tuntut untuk mencari cara bagaimana wi­l­ayah Lombok dan sekitarnya yang men­jadi korban gempa dibangun kem­bali secara kokoh.

Pelajaran penting sudah lebih dahulu kita dapatkan ketika Aceh diguncang Tsunami besar. Dari hasil pemungutan ban­tuan kemanusiaan dan kerja keras pe­merintah kini Aceh berdiri menjadi kota penghasil anggaran terbesar dari pariwi­sata hingga hasil alamnya. Tugas peme­rin­tah tak mung­kin terealisasi dengan baik jika rakyat yang lain diam terma­ngu. Perlu dorongan moral dan moril dari semua pihak untuk mem­bangun kembali wilayah yang terkena gempa.

Ketika pendistribusian bantuan kepa­da korban diperlukan keadilan yang m­e­rata kepada seluruh korban. Seperti hal­nya sila kelima keadilan masyarakat men­­jadi harga mati. Apalagi pada si­tua­si tragis seperti ini, penegakan keadilan ha­rus di­utama­kan. Semua pihak yang ber­­tugas di sana hendaknya mendata se­luruh kor­ban gempa. Pastikan tidak ada satu korban pun yang terlewati untuk menda­pat­kan bantuan. Sekali lagi, tidak ada yang menginginkan bencana me­nim­pa siapapun manusia­nya. Untuk itu, kepe­du­lian kepada korban menjadi pi­lihan paling bijak sebagai manusia so­sial dengan meng­aktifkan nilai-nilai pan­ca­sila yang terdapat dalam diri kita. Se­­mua itu adalah harapan yang sama-sama kita amini buat se­mua korban gem­pa Lom­bok dan sekitarnya. ***

Penulis adalah mahasiswa perbankan syariah Universitas Potensi Utama Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi