Dualisme Peran BPK dalam Proses Peradilan

Oleh: A.P. Edi Atmaja. Diberitakan, advokat Yusril Ihza Ma­hen­dra merasa keberatan dengan keha­dir­an pemberi keterangan ahli dari Ba­dan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam per­sidangan mantan Ke­pala Badan Pe­nye­hatan Perbankan Na­sio­nal (BPPN), Sya­f­ruddin Arsyad Te­menggung.

Dalam persidangan terkait kasus korupsi surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) itu, jak­sa penuntut umum Komisi Pem­be­ran­tasan Korupsi (KPK) anta­­ra lain menghadirkan pemeriksa BPK, I Nyo­man Wara. Menurut Yusril Ihza Ma­hen­dra, I Nyoman Wara seharusnya dihadir­kan sebagai saksi, bukan pemberi ketera­ngan ahli, sebab ia merupakan salah satu pe­meriksa BPK yang melakukan pe­me­rik­­saan (audit) terhadap BPPN pada 2006.

Masih menurut kuasa hukum Sya­frud­din Arsyad Temeng­gung itu, sung­guh aneh saat I Nyoman Wara dihadirkan untuk me­nerangkan hasil pekerjaannya sendiri. Laporan hasil peme­riksaan BPK, de­­mikian Yusril Ihza Mahendra, ter­go­long alat bukti surat. Maka, Yusril Ihza Ma­hendra menyimpulkan, keha­diran I Nyoman Wara sebagai pemberi ketera­ngan ahli di per­sidangan memuat konflik ke­pentingan dan merupakan "tragedi bagi penegakan hukum (due process of law)" karena, dengan hanya meng­an­dal­kan dua alat bukti dari sumber yang sa­ma, terdakwa sudah dapat diadili dan di­­jatuhi pidana.

Tulisan ini bermaksud untuk meng­kaji pernyataan praktisi sekaligus aka­demisi hukum itu dengan penelaahan yu­ridis atas keterangan saksi, keterangan ahli, dan dualisme peran BPK dalam pro­ses peradilan.

Perluasan makna

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Ta­hun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hu­kum Acara Pidana (KUHAP), dinya­ta­kan bah­wa hakim tidak boleh menja­tuh­kan pidana kepada sese­orang tanpa se­kurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Pasal 184 KUHAP men­jelaskan lebih lanjut bahwa alat bukti yang sah ter­diri atas keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petun­juk, dan keterangan terdakwa.

KUHAP mendefinisikan keterangan sak­si sebagai "kete­rangan dari saksi me­ngenai suatu peristiwa pidana yang ia de­ngar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sen­diri dengan menyebut alasan dari pe­ngetahuannya itu". Sementara saksi di­de­­finisikan sebagai "orang yang dapat mem­berikan ke­terangan guna kepen­ti­ngan penyidikan, penuntutan, dan per­adi­lan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri".

Mahkamah Konstitusi (MK), melalui Pu­tusan Nomor 65/PUU-VIII/2010, te­lah memperluas definisi dan makna saksi da­lam KUHAP menjadi "orang yang da­pat memberikan keterangan dalam rang­ka penyidikan, penuntutan, dan per­adilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri". Perluasan makna saksi ter­­sebut tentu saja menimbulkan kon­se­kuen­si pada perluasan makna alat bukti keterangan saksi.

Asal muasal Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 ialah permohonan Yusril Ihza Mahendra untuk memperluas definisi dan makna pasal-pasal tentang saksi dalam KUHAP yang me­rugikan pemohon secara konstitusional. Yusril Ihza Mahendra, sebagaimana termuat da­lam Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, saat itu menjadi tersangka dalam kasus Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum).

Permintaan Yusril Ihza Mahendra agar penyidik Kejaksaan Agung meng­ha­­dirkan saksi yang menguntungkan sesuai Pasal 65 KUHAP ditolak. Pe­nyi­dik beranggapan bahwa orang-orang yang, menurut Yusril Ihza Mahendra, akan dapat menjadi saksi yang bisa mem­­­beri keterangan menguntungkan itu tidak me­menuhi definisi saksi dalam KU­HAP-bahwa seseorang dapat dikata­kan saksi hanya jika ia mendengar, me­lihat, dan meng­alami sendiri suatu per­kara pidana.

Berkenaan dengan keterangan ahli, KUHAP mendefinisi­kan­nya sebagai "ke­terangan yang diberikan oleh seorang yang me­miliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepen­ti­ngan pemeriksaan (perkara pidana)". Pasal 11 huruf c Undang-Un­dang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK menyatakan bahwa BPK dapat memberikan ketera­ngan ahli dalam proses per­adilan menge­nai kerugian negara/daerah yang tata cara pelak­sanaannya diatur melalui Per­atu­ran BPK Nomor 3 Tahun 2010 ten­tang Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli dan diatur lebih lanjut melalui Ke­pu­­tusan Sekretaris Jenderal BPK Nomor 208/K/X-XIII.2/4/2013 tentang Pedo­man Pemberian Keterangan Ahli.

Pada 2014, Faisal (saat itu Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Deli Serdang) melalui kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra, mengajukan pengujian materi antara lain atas Pasal 11 huruf c UU 15/2006. Pemohon ber­pendapat bahwa kewe­nangan BPK untuk meng­hadirkan pemberi keterangan ahli dari internal BPK berbenturan secara langsung dengan asas kepastian hukum karena memuat unsur keber­pi­hakan (conflict of interest) sehingga me­nim­bulkan persoalan independensi dan im­parsialitas pada diri pemberi kete­ra­ngan ahli dari internal BPK.

MK, melalui Putusan Nomor 54/PUU-XII/2014, menolak permohonan ter­sebut untuk seluruhnya. MK berpen­da­pat bahwa Pasal 11 huruf c UU 15/2006 tidak bertentangan dengan kons­ti­tusi. Namun, MK juga menjelaskan bah­wa pemeriksa BPK yang bertindak untuk dan atas nama BPK dapat dikate­gorikan sebagai ahli sepanjang ia bukan pemerik­sa yang mene­mukan adanya tindak pi­dana. Dalam kalimat lain, pemeriksa yang melakukan pemeriksaan dan me­nemukan adanya tindak pidana dapat di­mintai keterangan dalam kapasitas se­bagai saksi, bukan ahli.

Pada pokoknya tulisan

Putusan MK Nomor 54/PUU-XII/2014 memang tidak membatalkan ke­berlakuan Pasal 11 huruf c UU 15/2006. Namun, putusan itu justru memberi mak­na baru yang secara teknis tidak dapat di­laksanakan. Sebab, secara yuridis, BPK tidak dapat berperan sebagai pem­beri keterangan saksi dalam pro­ses pe­radilan mengenai kerugian negara/dae­rah.

Sesuai Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010, makna sak­si diperluas hanya jika saksi itu memberi keterangan yang menguntungkan tersangka atau terdak­wa. Dengan demikian, anggota, pejabat pe­laksana, atau pemeriksa BPK hanya dapat memberi keterangan saksi sepan­jang berperan sebagai pribadi yang tidak meng­atasnamakan BPK dan ketera­ngan­nya meng­untungkan tersangka atau terdakwa.

Dalam proses peradilan mengenai ke­ru­gian negara/daerah, peran BPK ialah se­­bagai pemberi keterangan ahli yang men­­da­sarkan keahliannya pada laporan hasil pemeriksaan atau lapor­an hasil pe­nilaian dan perhitungan kerugian negara/daerah oleh BPK. Maka, siapa pun yang dihadirkan di persidangan untuk mem­beri keterangan ahli dengan meng­atas­na­makan BPK, baik pe­me­riksa yang me­nemukan kerugian negara/daerah atau pi­hak lain, tetap harus mengacu pada dua do­kumen tersebut.

Pertanyaannya kemudian adalah seberapa perlu BPK mem­beri keterangan ahli dalam proses peradilan mengenai kerugian negara/daerah jika keterangan ahli yang disampaikan secara lisan sejatinya hanyalah repetisi dari laporan yang merupakan alat bukti surat?

Menurut hemat penulis, produk BPK ada­lah tulisan (baca: laporan). Meskipun hu­kum tertulis memberi wewenang ke­pada BPK untuk dapat memberi kete­ra­ngan ahli secara lisan dalam proses per­adilan, pekerjaan BPK sesungguhnya se­lalu diawali dan diakhiri dengan tulisan. Se­hingga, dengan demikian, manifestasi keterangan ahli dari BPK pada pokoknya adalah laporan hasil pemeriksaan dan dokumen tertulis lain yang telah menjadi gugus tugas BPK. ***

* Penulis adalah Alumnus Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

()

Baca Juga

Rekomendasi