Demokrasi dan Kemakmuran

Oleh: Fadil Abidin.

Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu “demos” yang berarti rakyat, dan “kratos/cratein” yang ber­arti pemerin­tahan. Demokrasi dapat diar­tikan sebagai pemerintah­an rakyat, atau yang lebih dikenal sebagai pemerin­tahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rak­yat.

Mengapa ide demokrasi muncul dalam per­adaban manusia? Demokrasi pada awal­nya adalah ide untuk mencegah orang-orang jahat untuk berkuasa. Di za­man Yunani Kuno, ketika negara-negara kota (polis) telah mengalami kemajuan dan kemakmuran, para pemimpinnya kemudian menjadi seorang tiran dengan kekuasaan tanpa batas. Bahkan terkadang para penguasa ini menjerumuskan negara dalam konflik peperangan dengan negara lain. Hal ini menyebabkan kemakmuran yang telah diusahakan berpuluh-puluh tahun musnah seketika.

Para pemikir, filsuf, dan ilmuwan dari Yunani Kuno khusus­nya dari polis Athena kemudian menemukan ide demokrasi agar kekuasaan ini mendapat mandat dari rak­yat dan digunakan untuk membela ke­pentingan rakyat. Di Athena adalah Solon (sekitar 630–560 SM) yang mem­presentasikan versi awal demokrasi par­ti­sipatif.

Solon memperbaiki sistem pemerin­tahan yang cacat dengan cara membatasi kekuasaan absolut golongan kelas atas (bangsawan). Ia juga meningkatkan peran Majelis Rakyat dengan mencipta­kan Boule (dewan multietnis warga ne­gara berpenghasilan menengah), dan mem­­batasi otoritas Dewan Aristokrat (Areo­­pagus). Bayangkan, 2500 tahun lam­­pau sudah ada pemilihan anggota per­­wakilan rakyat dan terbentuk Parle­men dengan sistem bikameral. Tujuan de­mokrasi pada masa itu sebenarnya cu­kup sederhana, mence­gah berkuasanya ti­rani yang mengekang kebebasan dan ke­makmuran masyarakat.

Hubungan

Adakah hubungan demokrasi dengan kemakmuran? Apakah demokrasi dapat menciptakan kemakmuran atau kemak­muran sebagai prasyarat untuk mencipta­kan demokrasi? Ada beberapa pandangan atas jawaban ini.

Pertama adalah, demokrasi ada­lah sine qua non, syarat mutlak, untuk men­­ciptakan kemakmuran. Jawaban ini se­ring sekali dikumandangkan oleh ne­gara-negara Barat umumnya, Amerika Se­rikat khususnya yang sering berlagak se­bagai “polisi demokrasi dunia”. Me­rek­a selalu mendorong demokratisasi di negara-negara lain, mengatakan itu semua demi kemakmuran, demi kepenti­ngan rakyat di suatu negara. Bahkan Ame­rika akan melakukan intervensi baik eko­nomi, politik, bahkan secara militer untuk mem­bela kepentingannya.

Kedua adalah, demokrasi adalah mu­suh kemakmuran. Di masa lalu panda­ngan ini sering sekali dikumandangkan oleh negara-negara Blok Timur, seperti Uni Sovyet, RRC, Korea Utara dan ne­gara-negara otoriter lain. Mereka selalu me­­nekankan pentingnya stabilitas po­litik, disiplin, kepatuhan, loyalitas, dan ke­ama­nan untuk menciptakan kemak­mu­ran. Mereka selalu menekankan ba­haya anarki, kebebasan, ketidaksta­bi­lan, dan kekacauan yang menurut mereka akan tercipta oleh demokrasi.

Negara-negara Barat mendorong ne­gara otoriter untuk menerapkan de­mo­krasi, yang mereka persempit menjadi pe­milu yang terbuka, adil, dan mencakup par­tisipasi semua masyarakat. Tapi di masa lalu, negara-negara Barat juga me­rupakan negara-negara otoriter yang me­nerapkan monarki absolut. Apakah me­reka mengganti monarki absolut ter­sebut dengan demokrasi dalam se­malam?

Apakah mereka langsung melaksana­kan pemilu dimana semua warga negara memiliki hak memilih? Tidak. Pada awal­nya hak pilih hanya untuk kaum laki-laki, para pemilih cuma kalangan ter­batas, golongan kaya, aristokrat, dan go­lo­ngan terpilih lainnya. Walaupun sudah ber­­demokrasi, tapi mereka masih mene­rap­kan sistem perbedaan kelas, borjuis dan proletar, bahkan masih berlaku sistem perbudakan. Sistem ini telah berlangsung beratus-ratus tahun kemudian. 

Untuk melaksanakan sistem demo­krasi yang sesungguhnya, negara-negara ter­sebut mengalami revolusi yang ber­darah-darah. Penumbangan kekua­saan para raja hingga perang saudara. Perang Saudara di Amerika Serikat (1861-1865) adalah perang antar negara bagian Utara dan Selatan akibat kebijakan pengha­pus­an sistem perbudakan. Tapi ironisnya se­karang negara-negara Barat, khususnya Amerika memilih untuk memaksa ne­gara-negara lain mengganti sistem politik me­reka secara radikal.

Kemakmuran

Sementara ada pendapat lain, bahwa demokrasi adalah musuh kemakmuran. Pandangan ini menekankan pentingnya sikap loyalitas total rakyat kepada pe­me­rintah. Pentingnya stabilitas politik dan keamanan sebagai prasyarat mem­bangun un­tuk mencapai kemakmuran. Demo­krasi yang “berisik” itu dianggap sebagai penghambat pembangunan dan kemak­mu­ran.

Ada dua blok negara yang mengikuti ga­ris pandangan ini. Pertama adalah ne­gara-negara Blok Timur yang berfaham ko­munis dengan Uni Sovyet sebagai ki­blatnya. Selepas Perang Dunia II, negara-negara Blok Timur pada awalnya lebih cepat bangkit ketimbang negara-negara Blok Barat. Pemerintahan yang totaliter membuat derap langkah rakyat cepat ber­satu untuk membangun tanpa diganggu hiruk-pikuk seremoni demokrasi.

Kejayaan blok ini berada di puncaknya se­kitar tahun 1970-an dengan kondisi eko­nomi yang lebih maju, penemuan-pe­nemuan teknologi, dan kemenangan Pe­rang Vietnam di tahun 1975. Tapi me­reka lupa dengan perkataan Lord Acton, “Po­wer tends to corrupt and absolute po­wer corrupts absolutely”. Kekuasaan cen­derung korup dan kekuasaan yang ab­solut akan menciptakan korupsi yang ab­solut pula. Kekuasaan pemerintahan tan­pa demokrasi di negara-negara Blok Ti­mur pun tumbang. Kemakmuran yang mereka bangun musnah dalam sekejap karena konflik politik dan militer, bahkan negara pun terpecah-pecah.

Kedua adalah negara-negara yang mencari jalan tengah. Pada masa lalu, Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan sebagainya adalah negara-negara yang secara formal menganut demokrasi walaupun dalam praktiknya semu belaka. Pe­me­rintah menerapkan sistem “semi-totaliter” untuk mengontrol kestabilan ekonomi dan politik untuk melaksanakan pem­bangunan. Pembicaraan tentang politik terutama yang berhu­bungan dengan kekuasaan pemerintah sangat tabu diperbin­cang­kan ke publik. Pemilu hanya sebatas seremoni demokrasi belaka. Ada yang berhasil tapi banyak pula yang gagal dalam menjalankannya.

Sebenarnya, tidak ada konsep dan sistem politik terbaik untuk menyeleng­ga­rakan sebuah pemerintahan. De­mo­krasi pun bukanlah yang terbaik dan tanpa kekurangan. Namun, ia adalah yang ter­baik dari konsep dan sistem terburuk yang ada saat ini. Satu hal yang menjadi ke­lemahan demokrasi adalah sistem itu le­bih mengedepankan prinsip menang-kalah yang bersandar pada suara ter­banyak. Kebenaran dalam sistem de­mo­krasi adalah jika dia didukung oleh ma­yo­ritas pihak. Kebenaran bagi sekelom­pok kecil tak dapat dianggap sebagai se­buah ke­be­naran.

Untuk itu demokrasi harus diimbangi de­ngan nomokrasi, yakni tata aturan yang sung­guh-sungguh mampu memberi rasa ke­adilan bagi masyarakat. Nomokrasi tidak bersandarkan pada menang-kalah, me­lainkan pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Demokrasi harus berfungsi sebagai “Checks and Balances“ terhadap pemerintah dengan membagi dan memba­tasi kekuasaan yang ada.

Keunggulan utama demokrasi diban­ding­kan sistem yang lain adalah sekacau-ka­caunya mekanisme yang ditawarkan de­mokrasi, masih jauh lebih dan tidak “berdarah-darah” dibandingkan mekanis­me yang ada pada sistem yang lain. Demo­krasi menawarkan sistem suksesi ke­kua­saan yang lebih adil, damai, beradab, dan bermartabat.

Demokrasi harus berarti lebih dari sekedar kekuasaan mayoritas. Demokrasi juga harus meliputi perlindungan ter­ha­dap minoritas,perlindungan terha­dap per­bedaan, supremasi hukum, kese­ta­raan, per­lindungan HAM, dan lain-lain. De­mo­krasi adalah jalan terbaik menuju ke­mak­muran, tapi bukan obat ajaib yang menjamin kemakmuran dalam seke­jap.***

Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan.

()

Baca Juga

Rekomendasi