Oleh: Fitri Haryani
Untuk ayahku di alam keabadian…
Maafkan Rara yang tak pernah membuatmu bahagia. Aku tak pernah bisa membuatmu tersenyum. Membuatmu bangga akan aku, anakmu satu-satunya. Aku selalu menyusahkanmu. Membuatmu meneteskan air mata dan menggoreskan perih di hatimu. Aku tak tahu bagaimana menuliskan kata-kata maafku padamu. Tak ada kata yang bisa kutulis, selain hanya penyesalan dan permohonan maafku. Semoga ayah tenang di sana. Aku mencintai ayah lebih daripada ayah mencintaiku. Akan selalu kujaga mata ini, Ayah. Maafkan aku yang terlambat menyadarinya.
Anakmu Rara, yang selalu merindukanmu…
Usai menulis, Rara melipatnya menjadi bentuk perahu. Ia berdiri dan membuka pintu kamarnya. Menuju ke depan pintu keluar yang membawanya menjauh dari rumahnya. Tetes hujan mengalir deras membasahi seluruh tubuhnya. Ia tak peduli, ia tetap berjalan dan melihat ke depan dengan mata sembab dan merah. Air mata yang membasahi pipinya bercampur air hujan yang mengguyurnya. Sesekali ia sesenggukan akibat tangisnya.
Sampai di depan sungai ia berjongkok. Menghirup napas dalam. Deras hujan membuat angin juga kencang. Ia menggigil kedinginan. Menggengggam erat perahu kertas di tangannya. Lalu dengan air mata yang terus mengalir ia menjatuhkannya. Kertas berbentuk perahu itu menjauh dari pandangannya. Terbawa arus sungai yang semakin deras karena air juga meluap akibat hujan. Rara menyeka matanya, terus melihat ke perahu itu sampai ia hilang diterjang air. Lalu Rara kembali berdiri. Dengan langkah gontai ia kembali ke rumahnya sambil tertunduk dan tetap menangis.
“Ya Allah...sampaikan surat kecil itu...”
* * *
Fajar kembali menyingsing. Suara adzan subuh berkumandang keras. Ayah Rara terbangun dan membangunkan ibu Rara. Mereka sholat berdua. Sedangkan Rara masih terus berada di kamarnya. Ibunya telah membangunkannya berkali-kali, tapi ia tetap tak mau bangun. Ia terus mendengkur. Baru setelah Rara mencium bau enak dari dapur ia langsung melonjak bangun dan ke kamar mandi. Membersihkan diri lalu pergi ke meja makan.Habis itu pergi sekolah. Itulah kebiasaan Rara setiap harinya.
“Bu, masak apa?” Rara melihat ibunya yang masih sibuk menggoreng.
“Telor ceplok. Kamu kalau dibangunin pagi untuk sholat tak pernah mau, tapi kalau menanyakan sarapan setiap pagi tak pernah lupa,” sindir ibu. Rara menarik kursi dan duduk di sana. Sambil mencomot satu tempe dari piring dan memakannya, Rara berucap: “Aduh, Bu. Ibu bangunin jam lima subuh. Mana bisa Rara bangun!”
“Lain waktu pasti Rara bangun kok, Bu. Mungkin semalam Rara kecapean belajar. Jadi lama tidur dan nggak bisa bangun cepat,” sebuah suara berat muncul dari balik pintu. Ayah Rara berdiri di sana. Masih memakai baju koko putih dan kain sarung. Ayah Rara baru habis mengaji di kamar. Mendengar Rara sudah di dapur, ia mengakhiri mengajinya.
Rara yang melihat ayahnya datang langsung bermuka masam. Rara tak suka pada ayahnya. Apalagi melihat ayahnya selalu dengan tongkat kecilnya itu setiap berjalan. Ayah Rara buta sejak Rara kecil. Rara tak pernah menyukai ayahnya. Gara-gara ayahnya buta ia jadi sering diejek oleh temannya. Rara sangat jarang berkomunikasi dengan ayahnya. Ia selalu berusaha menghindarinya. Dan pagi ini, mendengar suara ayahnya yang ikut-ikutan bicara ia langsung bad mood.
“Bagaimana anak ayah pagi ini? Apa sudah mandi? Pasti sudah 'kan? Tercium harum dari jauh,” ayah Rara kembali bicara. Ia meraba-raba dengan tongkatnya. Berusaha mencari bangku untuk duduk.
Rara tak menjawab. Membantu ayahnya untuk duduk pun tidak. Ia hanya melihat ke depan dengan wajah dongkol.
“Rara, jawab ayahmu dong! Kamu jangan diam saja,” ucap ibunya.
Rara menggaruk-garuk kepalanya. Dalam hatinya ia ingin berkata “malas”. Tapi ia menahannya.
“Masih lama masaknya, Bu?” tanya Rara.
“Masih. Buatkan dulu minum ayahmu baru ini mau masak,” jawab ibunya dongkol melihat tingkah Rara.
“Malas!” akhirnya kata itu keluar dari mulutnya.
“Astagfirulloh... Membuatkan minum untuk ayahmu saja kamu malas!”
“Buat apa? Minumku aja belum ada!” jawab Rara judes.
“Hush! Berhenti membantah, Rara! Itu ayahmu! Kau sama sekali tak pernah hormat pada ayahmu!” ucap ibunya keras.
“Siapa suruh ayah buta! Membuatkan minumnya saja tak bisa!” Rara memalingkan muka.
“Ya Robbi... Kamu keterlaluan Rara! Jaga kata-katamu!” ibu Rara marah.
Ayah Rara hanya diam. Mencoba memaklumi sikap anaknya. Bukan sekali ini saja dia mendengar Rara protes akan kebutaannya. Tapi ia sudah sering mendengar Rara mengejeknya dan ia sudah menyabarkan diri.
“Sudahlah, Bu, masih sepagi ini jangan berkelahi. Rara, Ayah memang buta. Tapi ayah tetap ayah kamu...”
“Terserah! Aku tak peduli!” Rara mengambil tasnya dan bergegas pergi ke sekolah. Tanpa sarapan dan tanpa pamit lagi. Ia sudah sangat jengkel.
* * *
Rara berlari cepat menuju rumah sakit. Tadi gurunya memberi tahu bahwa gas di rumah mereka meledak. Ibu dan ayahnya dilarikan ke rumah sakit. Jantungnya berdetak tak karuan.
Ia sampai di rumah sakit dengan napas tergesa. Ia memasuki ruangan tempat ibu dan ayahnya dirawat. Kakinya lemas saat melihat ibunya diselimuti perban yang sangat banyak melilit kepala dan tubuhnya. Ayahnya tidur di samping tempat tidur ibunya. Tapi jantung Rara serasa berhenti karena ayahnya telah diselimuti kain putih sampai ke atasnya. Hanya kepalanya saja yang nampak dengan mata tertutup. Ia sudah menangkap hal yang ganjil dari pemandangan ini. Ia menutup mulutnya dan terisak.
Tiba-tiba sebuah telapak tangan menangkup di bahunya.
“Kau harus sabar. Kau harus kuat,” ucap pemilik tangan itu. Rara menoleh.
“Apa yang terjadi pada mereka berdua, Dok? Mereka tak apa-apa 'kan?” desak Rara. Matanya berlinang.
“Ibumu mengalami luka bakar parah. Sekitar tujuh puluh persen tubuhnya terbakar.”
Rara menggeleng-geleng. Ia sangat terkejut dengan kejadian ini. Ia lirik ibunya yang terlentang tak berdaya. Air mata mengalir membasahi pipinya yang putih. Lalu matanya melirik ke ranjang di sebelah ibunya. Ayah! Bagaimana dengan ayahnya? Rara tak bisa memungkiri hatinya yang bergejolak melihat ayahnya dibungkus kain putih seperti itu. Sebenci apa pun pada ayahnya, ia tak pernah mengharapkan ayahnya dibungkus kain putih itu. Tiba-tiba ia merasakan hatinya seperti tertusuk pisau melihat ayahnya dengan kondisi seperti itu.
“Kami tak bisa menyelamatkan ayahmu, lukanya terlalu parah sehingga ia tak bisa bertahan. Kau harus ikhlas menjalani semua ini. Kuatkan dirimu, Nak,” dokter itu kembali berucap. Rara tersentak.
“Ayah telah meninggal…,” Rara berbisik. Ia lalu menjerit dan menangis histeris. Semua kelakuan buruknya pada ayahnya terlintas di benaknya. Semua seolah diputar ulang di otaknya. Dan terakhir kali melihat ekspresi wajah ayahnya yang lembut di meja makan tadi pagi. Rara tak sanggup berdiri. Seluruh dunia terasa mengantamnya.
* * *
Hujan deras mengguyur. Sudah tiga hari kepergian ayah Rara. Ibu masih dirawat di rumah sakit. Rara sangat sedih. Ia menatap ke jendela kamarnya yang terbuka. Percikan air hujan mengenai wajahnya. Ia menghirup udara hujan dan berusaha menenangkan pikirannya.
Tiba-tiba tantenya masuk dan memanggilnya. Tante memberikan sepucuk surat kecil dan Rara mengambilnya. Dengan rasa penasaran ia membukanya.
“Untuk Rara, anak ayah satu-satunya. Dulu selagi kamu masih kecil, ayah sangat bahagia. Melihatmu tersenyum... tertawa... dan kita selalu bermain-main. Bersama ibu dan ayah kamu selalu bahagia. Tapi semua itu berakhir saat kau mengalami kecelakaan yang menyebabkanmu kehilangan penglihatanmu. Kau juga tidak mengingat apa pun. Waktu itu umurmu masih dua tahun. Kau menjadi pendiam dan selalu murung. Saat itu kami sangat menderita melihat keadaanmu. Kata dokter, kamu tak akan bisa melihat lagi seumur hidup. Ayah dan ibu sangat syok dan sedih mendapati kenyataan itu.
Lalu akhirnya ayah memutuskan untuk memberikan mata ayah kepadamu, agar kau bisa melihat kembali dan bisa tersenyum. Ayah sangat senang melihatmu tertawa kembali. Kebahagiaan ayah hanyalah melihatmu bahagia.
Maafkan ayah yang tak pernah memberitahukan hal ini kepadamu. Ayah tak mau kau merasa terbebani dengan kenyataan ini selagi ayah masih hidup. Jadi ayah putuskan untuk tak pernah memberitahumu. Sekarang kau sudah tahu semuanya. Tolong rawat dan jaga baik-baik mata ayah. Dan selalu tersenyumlah. Ayah akan selalu mencintaimu. Tersenyumlah untuk ayah dan berjanjilah untuk selalu bahagia…”
Dari Ayah yang selalu menyayangimu.
Rara menangis. Hujan terus mengguyurnya. Ia berharap semua dosa yang pernah ia lakukan selama ini terhadap ayahnya dapat terbawa oleh setiap tetes hujan yang mengguyurnya.
Tak ada orang yang lebih mencintai kita selain daripada keluarga kita sendiri. Jangan sia-siakan orangtuamu seburuk apapun mereka! Selagi mereka masih bernapas dan kau masih bisa melihat mereka, bahagiakanlah mereka…
* Februari 2017