Sultan Sulaiman;

Tongak Kesenian Kesultanan Serdang

Oleh: Ifwanul Hakim.

Lahir di Istana Rantau Pan­jang tahun 1866. Anak tunggal dari Sultan Basyaruddin (Sultan Serdang ke IV) dan Enzik Rata itu bernama Sulaiman. Setelah ayahnya mangkat tahun 1880, Pu­tra Mahkota itu naik tahta.

Dia dinobatkan menjadi Sul­tan Serdang ke V di usia 14 tahun. Cu­kup muda untuk memimpin se­buah negeri yang luas. Diberi Gelar Shariful Alamshah. Meski sah bertahta secara adat, penga­kuan resmi dari Belanda baru di­dapat 7 tahun kemudian.

Serdang merupakan satu dari empat kesultanan besar Melayu di Sumatera Timur. Berdiri sejak 1717 pasca konflik keluar­ga di Kesultanan Deli. Sebagian wilayahnya kini masuk ke Kabu­paten Deli Serdang. Sebagian lain ada di Kabupaten Serdang Bedagai.

Sultan Sulaiman dan kesenian di Serdang mempunyai hubung ka­it yang kuat. Tuanku Sulaiman dikenal sebagai pelaku, pemer­ha­ti dan pengembang seni. Gelar Mascenas oleh beberapa penggi­at kebudayaan menjadi bukti per­hatiannya yang besar kepada du­nia seni.

Perjalanan Musikal

Sulaiman kecil dikenal seba­gai anak yang lasak. Dia punya ra­sa ingin tahu yang besar. Kerap mencari pengetahuan dengan ca­ranya sendiri. Dia bergaul de­ngan siapa saja. Pergi kemana­pun dia suka demi mencari jawa­ban atas rasa ingin tahunya itu.

Tahun 1870an Istana Serdang gem­par, putra mahkota menghi­lang. Sulaiman kecil kabur ke Pu­lau Pinang. Menyelinap ke sa­lah satu panjalang, perahu pe­ngangkut komoditas milik kesul­tanan. Usianya 7-8 tahun waktu itu. Dia ingin melihat dunia yang lebih luas lagi.

Serdang memang telah mem­buka jalur perdagangan dengan pihak Inggris. Dimulai sejak ma­sa kepemimpinan Tuanku Thaf Sinar Basarshah (kakek Sulai­man). Mempunyai armada da­gang, pergi berniaga, hingga ke Pulau Pinang.

Pada masa itu, Pulau Pinang dikenal dengan nama George Town. Pinang menjadi pusat ke­dudukan Inggris di Selat Melaka sejak masuknya pertama kali pa­da tahun 1786 (Sarnia: 1991). Se­lain menjalankan invansi da­gang dan sistem politik, Inggris juga membawa serta budayanya. Tak terkecuali musik.

Tengku Mira Sinar mengaba­dikan kejadian ini dalam buku “Biografi Tengku Luckman Si­nar” karangannya. Tu­lis beliau, “Selama di Pulau Pinang itu Su­laiman muda belajar. Mengamati dan merasakan bagaimana kerja bangsa Inggris di sana. Terka­dang dia menyeli­nap masuk ke da­lam kapal asing. Meng­amati kegiatan para kelasi bermain mu­sik”.

Tak ayal, naluri seni Sulaiman terdorong untuk mencoba alat-alat musik yang mereka mainkan. Perjalanan inilah yang menjadi pendorong minat Sultan Sulaiman kepada biola untuk pertama kalinya.

Alun Biola

Sultan Sulaiman dikenal se­ba­gai pemain biola yang andal. Setelah menjadi sultan, kemam­puan bermain biola itu semakin teruji.

Biola pertama yang dia miliki dan paling sering digunakan ada­lah Antonius Stradivarius Cre­mo­nensis Faciebat. Hasil karya maestro biola Italia, Antonio Stradivari. Biola ini berharga 1.000 Gulden. Dibeli dari seo­rang kapten kapal berkebangsaan Inggris bernama Thomas Ein­hart. Oleh masyarakat Serdang di­juluki sebagai ‘Biola Seribu’.

Sultan memainkan biolanya pada tiap-tiap menjelang senja setiap harinya. Pucuk, sebuah ruangan di puncak tertinggi Is­tana menjadi tempat berlatih yang istimewa. Ruangan yang di­minta khusus oleh sultan saat pem­bangunan istana baru di Ko­ta Galuh Perbaungan.

Lagu-lagu yang dimainkan ialah lagu klasik barat, melayu klasik atau irama gubahan sultan sendiri. Lagu-lagu tersebut dipe­lajari sultan lewat radio, piringan hitam, atau ahli musik Istana. Alunan lagu yang dimainkan sul­tan kerap dinanti penghuni is­tana. Konon terdengar sampai ke pantai cermin. Seketika rakyat Serdang bergumam “Tuanku ma­inkan biola seribu !”.

Selain Stradivarius, sultan memiliki puluhan koleksi biola lain. Sebagian besar koleksi biola tersebut hilang pasca Revolusi So­sial 1946. Beberapa berhasil di selamatkan seperti biola Stra­divarius dan Hofner. Kini ter­simpan rapi di Perpustakaan Tengku Luckman Sinar di Me­dan.

Peran untuk Kesenian

Sultan Sulaiman dikenang sebagai raja di Sumatera Timur yang menaruh perhatian besar pada kesenian. Saat itu Istana Serdang memegang peran penuh dalam menjaga dan mengem­bang­kan kesenian. Dalam kata lain, Istana adalah rumah dari kesenian itu sendiri.

Perhatian yang besar terhadap seni, dibuktikan dengan hadirnya berbagai aktfifitas kesenian. Se­bagian dari kesenian itu masih ada hingga sekarang. Sebahagian lainnya hanya menyisakan cerita sejarah.

Tradisi musik Nobat Diraja sa­lah satunya. Seperti di Kera­jaan Melayu lainnya, Nobat Di­raja juga dimainkan pada upacara penobatan Raja di Serdang. Ke­se­nian turun temurun ini dipeli­hara dengan baik oleh Sultan Sulaiman.

Di Serdang ada pula teater Makyong. Sendratari ini meru­pa­kan hadiah dari Sultan Kedah saat kunjungan Sultan Sulaiman di akhir abad 19. Saat itu, beliau dan pasukannya disambut de­ngan kesenian Makyong.

Saat pertunjukan, Regent Ke­dah, Tengku Mahmud, melihat ketertarikan teramat dalam dari Sultan Sulaiman. Karenanya, di­hadiahkan seperangkat peralatan teater Makyong lengkap dengan pemainnya kepada Serdang.

Oleh Sultan Sulaiman, kese­ni­an Makyong ini dijaga dan di­kembangkan dengan baik. Per­tun­jukan ini kerap kali diper­tontonkan ketika hari-hari besar Kesultanan. Ditampilkan di ha­laman kerajaan sebagai hiburan untuk masya­rakat Serdang.

Ide besar lain dari Sultan Su­laiman adalah gagasan memben­tuk Brass Band pada tahun 1930an. Suatu format musik Barat yang tak lazim dimainkan di keraton-keraton Nusantara pa­da waktu itu.

Band kontemporer ini diberi nama Brass Band Sultan Ser­dang. Alat musiknya terdiri dari horn, Contrabass, Obos, biola, drum, harmonium, piano, tam­bur, klarinet, saksofon, trompet, dan trombone.

Dibentuk dan dibiayai penuh oleh Sultan Sulaiman. Pemim­pin­nya adalah Tengku Moenzir. Ahli musik Serdang, pemain klarinet dan saksofon yang ma­hir. Mereka berlatih di ruang mu­sik di dalam Istana.

Para pemain dari Brass Band adalah pemuda-pemudi asli Ser­dang. Berasal dari berbagai usia, latar belakang sosial dan kultural. Umumnya mereka me­main­kan lagu-lagu mars dan klasik. Se­sekali bermain lagu Melayu dan Arabian. Meski berformat alat musik Barat, namun resam Me­layu tetap diper­tahankan.

Hadirnya Brass Band Ser­dang, menjadi penting untuk se­jarah musik Indonesia. Raja ke­raton lain menjaga kesenian tra­disinya dengan sikap konserfatif. Sultan Sulaiman sudah berpi­kiran lebih terbuka.

Di bidang tari, perhatian sang Sultan juga tak kalah hebat. Era 1930an, tarian lantai Waltz Eropa menjadi hits di kalangan anak-anak muda Belanda. Melihat hal ini, Sultan ingin pula mencipta­kan tarian Melayu sebagai idola kaum muda. Tuanku ingin, Ser­dang dan masyarakatnya mandiri dengan budaya tempatan, tidak didominasi budaya luar.

Beliau meminta Sauti men­cip­takan tari kreasi Melayu untuk ditarikan muda-mudi di Serdang. Terciptalah beberapa karya tari, salah satunya tarian Pulau Sari. Awalnya Pulau Sari terdiri dari 13 ragam. Kemudian disempur­na­kan oleh Sultan Sulaiman, se­hingga menjadi 12 ragam. Diberi nama Serampang Dua Belas.

Tarian ini pertama kali ditam­pilkan di depan umum dalam acara Muziek en toneel Vereni­ging Andalas, 9 april 1938 di Grand Hotel Medan. Setelah In­do­nesia terbentuk, Presiden Su­karno meng­undang Sauti menari di Istana Negara Jakarta. Oleh Soekarno, Seram­pang XII dica­nangkan sebagai tarian nasional.

Buah pikir Sultan Sulaiman ini berbuah manis. Tarian Se­ram­pang Dua Belas dikenal oleh masyarakat luas hing­ga seka­rang. Tidak hanya di Indonesia, na­mun juga diwilayah semenan­jung seperti Malaysia, Brunei Da­russalam, dan Singapura.

Estafet Kebudayaan

Sultan Sulaiman menghabis­kan ujung usianya dalam situasi konflik yang tragis. Revolusi So­sial tahun 1946 adalah puncak­nya. Musnahnya Istana dan Ke­sultanan memberi dampak yang besar terhadap kesenian di Ser­dang. Kesenian Serdang seperti kehilangan rumahnya. Alat-alat mu­sik, termasuk biola-biola Sul­tan Sulaiman, habis dijarah.

Peninggalan itu hadir dalam ben­tuk lain yang lebih abadi, yakni ilmu. Sema­sa hidupnya Sul­tan Sulaiman meng­haruskan putra-putrinya mengua­sai seni musik, tarik suara atau seni tari. Estafet kesenian diteruskan oleh anak keturu­nan.

Tengku Zahri dan Tengku Luck­man. Dua putra Tuanku Su­laiman, dikenal mahir bermain piano. Tengku Luckman pula kemudian menghidupkan kem­ba­li Makyong Serdang yang sem­pat mati suri.

Wilayah tari dan teater dite­ruskan oleh Tengku Mira Sinar, sang cucu. Sela­in menjadi pelaku dua kesenian ter­sebut, Tengku Mira giat melatih tari Mela­yu dan sendratari Makyong. Ada juga Tengku Ryo Riezqan, kera­bat kesultanan yang meneruskan semangat sang Sultan bermain biola.

Sultan Sulaiman memang telah mangkat, namun semangat­nya tetap melekat. Semangat men­junjung keseni­an yang tinggi marwah. Tak kalah de­ngan bang­sa lain. Laku dan pikirnya da­pat menjadi tunjuk ajar bagi kita da­lam menjaga seni dan budaya. Tabik.

Penulis: Mahasiswa Magister Seni Pertunjukan University Malaya, Malaysia.

()

Baca Juga

Rekomendasi