Oleh : Elfa S.Harahap.
KERIPUT mencerminkan umur lelaki dengan sarung yang duduk sambil menghisap tembakau di sudut rumah berdinding papan berukuran tidak lebih dari 10x15 meter. Botol-botol berwarna hijau berbaris di setiap meja. Setiap meja diisi empat botol. Botol-botol ini menjadi air pembasuh tangan bagi tamu-tamu yang ingin menikmati makanan. Tembakau masih mengepulkan asap yang diterbangkan angin ke berbagai arah. Dia masih tidak tersadar kedatangan tamu.
“Mau pesan makanan?” wanita paruh baya mendadak hadir dari dalam warung dan menyapa ramah. “Tidak bu. Kami hanya singgah dan ingin ke pantai di sana,” jawabku. “Duduklah disini. Istirahat. Pasti datang dari jauh,” tambahnya. Dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Menyapu, membersihkan seisi ruangan. Pria dengan tembakau menoleh. Dia memberikan senyum sebagai tanda siap untuk dijadikan teman mengobrol. Dia bertanya asal dan tujuan kedatangan orang yang masih asing baginya.
Tidak terlihat wajah heran dari rautnya. Dia menerima dengan senang kedatangan siapa saja yang ingin berkunjung ke pantai yang ada tepat di belakang rumahnya. Seolah memberikan sinyal ‘wisatawan’, pria paruh baya sudah lebih tahu apa yang ingin kami tanyakan. “Pantai Pasir Merah orang-orang menyebutnya,” kata pria bernama Madeline tersebut.
Disebut sebagai Pantai Pasir Merah karena pasirnya yang memang berwarna merah. Dari kejauhan, sinar matahari memberi kilau pasir. Ombaknya menepikan buih-buih putih dan bias air ke udara. Angin sore cukup kencang. Dari kejauhan, tidak terlihat tenda atau tempat berlindung. Pantai ini masih sangat jauh dari jamahan interior. Satu-satunya tempat berteduh ada di warung Pak Madeline.
“Tidak banyak wisatawan yang datang kesini. Hanya satu dua orang saja. Jadi, maklum saja jika tidak ramai. Padahal, pantai ini cukup berpotensi. Warna pantainya yang berbeda dengan pantai lain sebenarnya sangat menjual,” jelas lelaki berumur 51 tahun tersebut.
Pantai Pasir Merah sendiri menjadi pantai satu-satunya pantai di Sumatera dengan warna pasir seperti itu. Bibir pantainya cukup luas. Mencapai satu kilometer yang memanjang dengan posisi melengkung. Disebut pula dengan Pantai Gawu Soyo. Tepatnya berada di Desa Ombolata, Kecamatan Afulu, Kabupaten Nias Utara. Dari pusat Kota Gunung Sitoli, pantai ditempuh dengan jarak 60 kilometer atau sekitar 2,5-3 jam. Jika dari bandara mencapai 80 kilometer.
Berdasarkan jarak memang cukup jauh. Transportasi ke pantai ini juga minim. Pengunjung hanya dapat menggunakan mobil sewa seharga Rp.600 ribu komplit dengan supir dan bensin atau memilih menyewa mobil tanpa supir dan bensin sebesar Rp. 300 ribu. Tidak hanya mengunjungi Pantai Pasir Merah yang dapat dikunjungi saat pengunjung menyewa kendaraan roda empat.
Wisatawan juga bisa mengelilingi Pulau Nias dengan menyewa mobil di kawasan Gunung Sitoli. Sedangkan untuk motor tidak menutup kemungkinan saat Anda hanya beranggotakan dua atau seorang diri. Untuk akses jalan sudah bagus. Meski tidak dilengkapi dengan papan keterangan di sepanjang jalan, pantai cukup mudah ditemukan karena berada di ke arah utara atau lebih tepatnya di Jalan Raya Desa Ambolata.
Gawu Soyo artinya Pasir Merah. Ini berasal dari bahasa setempat. Menurut ilmu geologinya, pantai Gawu Soyo dapat berwarna merah karena akibat proses abrasi pada bebatuan karang yang ada di pantai karena pantai-pantai di Nias dikenal dengan batu karang besar. Menurut cerita rakyatnya berbeda lagi. Cerita dari mulut ke mulut menjelaskan adanya seorang pria ksatria yang bertarung dengan seekor ular benarama Haria. Pertarungan mereka dipercaya berada di sekitar delapan kilometer dari lokasi pantai. Namun, darah dari Ular Haria disebut-sebut mencapai pantai Gawu Sayo, sehingga menjadi merahlah pasir di pantai tersebut.
Ombak masih saja berderu-deru. Berakhir di tepian pasir yang berkilauan di siram senja. Rumput sudah meninggi. Bukti jarangnya pengunjung mampir. Di sisi kiri, hutan menghijau mulai terlihat gelap. Di sisi kanan, luasnya laut tak terbantahkan. Kami tanpa tikar atau alas duduk. Kayu kering menjadi pilihan satu-satunya. Hal menarik lainnya, Pantai Pasir Merah tidak menerapkan retribusi apa pun.
“Kami tidak menerapkan adanya retribusi. Masuk pantai gratis,” tambah Madeline yang sudah belasan tahun di lokasi ini. Tidak seperti laut-laut lainnya yang ada di Nias, Pantai Pasir Merah tidak mengunggulkan ombak yang bisa digunakan untuk berselancar. Pantai ini justru menawarkan penyusuran pantai untuk melihat salah satu jenis penyu langka. Statusnya yang sudah langka membuat penyu sangat sulit ditemukan. Jika beruntung, kita bisa bertemu. Jika tidak, kita masih bisa menikmati pasir merah yang berkilau kemilau bukan.***
(Penulis adalah alumni FKIP UMSU dan Sekretaris UKM-LPM Teropong UMSU Periode 2009- 2010).