Oleh: Deddy Kristian Aritonang, S.S., M.Hum.
Ada sebuah ungkapan populer dalam Bahasa Inggris berbunyi 'A picture is worth a thousand words'. Secara literal, terjemahannya adalah sebuah gambar bernilai ribuan kata. Dalam konteks yang lebih luas dapat pula bermakna bahwa pada situasi tertentu gambar akan lebih efektif, bermakna kuat dan tepat sasaran dalam menyampaikan pesan ketimbang melalui kata-kata. Contoh nyata adalah rambu-rambu lalu lintas menggunakan simbol-simbol dalam bentuk gambar untuk menjelaskan aturan-aturan seperti belok kiri, belok kanan, dilarang berhenti, dan dilarang parkir misalnya. Gambar juga punya peran membantu pembaca atau penerima pesan memahami konteks makna pesan yang sedang dibaca. Misal ketika mengirimkan chat, emoticon seperti tanda jempol selain bermakna menyukai bisa juga menjadi sinyal untuk mengakhiri percakapan yang sudah cukup panjang.
Foto atau gambar sangat berperan penting dalam dunia jurnalistik. Berita tanpa gambar ibarat makan sayur tanpa garam. Sehingga dapat disimpulkan jika keberhasilan sebuah berita dalam menarik minat masyarakat sangat dipengaruhi oleh kualitas foto-foto sebagai pelengkap informasi. Maka, media terutama cetak benar-benar memberikan ruang bagi para fotografer andalannya untuk mengambil gambar-gambar penting untuk mendampingi konten berita.
Jauh sebelum kemunculan ponsel pintar (smartphone) dengan kualitas kameranya yang mumpuni, fotografer media harus benar-benar memiliki keahlian yang cukup dalam mengambil gambar-gambar yang dianggap memiliki nilai komoditas berita yang tinggi. Kini, dengan kecanggihan kualitas kamera ponsel yang tidak kalah dari kamera digital seorang fotografer profesional, tak hanya jurnalis saja yang merasakan kemudahan serta keefektifan bekerja, masyarakat awam pun kini bisa menjepret dan mengabadikan fenomena sehari-hari yang bernilai jual. Caranya pun sangat mudah, dengan mengunggah foto-foto tadi ke akun media sosial, bila dianggap menarik perhatian, tak butuh waktu lama untuk menjadi viral dan menyebar luas di kalangan masyarakat.
Gambar maupun foto yang mempunyai 'kekuatan' selalu berhasil membuat orang yang melihat larut dalam emosi yang bercampur aduk: bisa senang, sedih, geram, marah atau terharu. Apalagi di zaman sekarang dengan kecanggihan teknologi, manusia sangat getol dengan media sosial sehingga momen-momen tertentu dapat diabadikan, dibagikan dan kemudian menjadi viral. Ada beberapa contoh yang bisa diambil sebagai bukti kekuatan gambar. Misalnya, gambar yang diunggah pengguna akun Twitter bernama Motikarok memperlihatkan seorang anak yang memberikan ciuman pada sang ibu di atas gerobak yang sedang ditarik seorang pria yang kemungkinan adalah ayahnya. Keluarga kecil itu sepertinya bersama-sama mengais rezeki di hari itu. Warganet pun seketika membagikan postingan itu dengan caption bernada haru, sedih dan tak sedikit pula yang mendoakan keluarga kecil itu agar senantiasa dalam lindungan Tuhan dan dimudahkan rezekinya.
Mempermudah Tugas Jurnalis
Gambar-gambar yang viral jelas membantu tugas jurnalis dan fotografer media massa. Bila dibandingkan dengan zaman di mana media sosial belum sedigdaya sekarang apalagi dengan ponsel pintar yang dilengkapi kamera berkualitas seperti kamera digital, tugas jurnalis relatif lebih mudah.
Dulu untuk mendapatkan konten berita, jurnalis dan fotografer harus terjun langsung ke lokasi untuk meliput berita. Saat tiba di lokasi, mungkin momen-momen penting yang bisa menaikkan nilai jual berita sering kali sudah terlewat dan tak bisa didokumentasikan. Berbeda dengan sekarang ketika hampir semua orang memiliki ponsel pintar dan terbiasa mengabadikan peristiwa-peristiwa penting. Istilah citizen journalists (CJ) atau citizen photographers (CP) adalah terminologi yang digunakan untuk mengacu pada fenomena tersebut.
Keberadaan mereka sangat banyak membantu insan pers dalam meliput berita. Foto-foto dan video-video amatir yang diabadikan dan diunggah ke media sosial sering kali menjadi awal diliputnya sebuah berita. Detik-detik terjadinya bencana alam, kecelakaan, hingga peristiwa kekerasan bisa disaksikan publik secara luas berkat para CJ dan CP ini.
Foto-foto dan video gempa di NTB, kecelakaan Kapal Motor Sinar Bangun di Danau Toba baru-baru ini bahkan bisa menjadi komoditas berita mancanegara juga adalah karena sumbangsih mereka. Alhasil, jarak dan waktu seperti tidak lagi memiliki arti yang banyak. Detik ini terjadi peristiwa penting, kemudian didokumentasikan dan diunggah dalam waktu beberapa menit, mungkin tak butuh waktu lama untuk menyebar luas.
Tak hanya mempermudah, peran CJ dan CP dalam kaitannya dengan foto-foto viral juga membantu menghemat biaya operasional yang besar bagi sebuah media. Dengan adanya foto-foto apalagi dilengkapi dengan video amatir membuat awak pers tak melulu harus pergi terjun ke lokasi untuk meliput.
Ini jugalah yang sudah dikemukakan oleh Professor Klaus Schwab dalam teori revolusi industri generasi keempat yang dia cetuskan. Dikenal dengan istilah revolusi industri 4.0 yang ia tuangkan dalam bukunya bertajuk " The Fourth Industrial Revolution", Schwab beranggapan terdapat serangkaian teknologi baru yang menggabungkan dunia fisik, digital dan biologi yang memiliki dampak pada semua disiplin ilmu, ekonomi dan industri.
Kode Etik Jurnalistik
Baik dunia jurnalistik maupun akademik memiliki kesamaan dalam hal kode etik terhadap sebuah karya. Dalam bidang akademik, ketika memakai hasil pemikiran orang lain sebagai referensi, maka nama yang bersangkutan wajib dicantumkan dalam daftar pustaka. Demikian juga dengan profesi jurnalis, ketika menggunakan materi berupa foto, video dan dokumen lainnya dalam sebuah konten berita, nama pemilik properti tadi harus disertakan. Untuk hal ini rata-rata media memegang prinsip yang kuat.
Persoalan berikutnya adalah royalti. Apakah ketika sebuah media dalam menuliskan beritanya yang dilengkapi dengan foto-foto amatir yang telah viral memberikan sejumlah uang sebagai kompensasi mengingat foto-foto viral itu jugalah yang mengangkat nilai komersialitas berita itu sehingga mencuat dan menjadi konsumsi masyarakat banyak? Kita bisa berkaca pada kasus Dadang yang mengaku bahwa fotonya mengepulkan asap rokok telah dieksploitasi tanpa sepengetahuannya. Dadang memang mengaku bukan mengejar royalti, namun sekiranya foto itu benar adalah dirinya, seharusnya memang ia pantas mendapatkan royalti.
Foto-foto amatir yang viral dan kemudian dimuat dalam halaman surat kabar atau portal berita online sudah tentu menghemat biaya operasional sebuah media. Bayangkan bila kejadian yang ada dalam foto-foto tersebut berada di lokasi yang jauh atau bahkan di luar negeri. Tentu biaya perjalanan dan akomodasi awak media yang seharusnya meliput langsung ke lokasi sudah bisa dieliminasi. Ketika foto-foto itu mengangkat nilai komoditas berita yang dibuat, secara otomatis media mendapatkan keuntungan dari segi finansial.
Maka, sudah sepantasnyalah royalti diberikan. Bukan hanya karena menghormati kaidah hukum jurnalistik, tapi juga insan pers memang harus memberikan contoh keteladanan kepada masyarakat terhadap pentingnya ketaatan atas aturan hukum yang berlaku. Tindakan itu sekaligus memberi apresiasi yang tinggi pada masyarakat sipil yang sudah turut membantu perkembangan khazanah jurnalistik itu sendiri. Dari kacamata hukum, ikhwal pemberian royalti bagi sebuah hak cipta sudah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC 2014). ***
Penulis adalah alumnus Pascasarjana Unimed, Guru SMP/SMA Sutomo 2 Medan dan Dosen PTS.