Oleh: J Anto
SEJAK 1990-an, sejumlah penyanyi lagu Mandarin bermunculan di Medan. Mereka mengasah talenta lewat karaoke di rumah, arisan, dan pesta pernikahan keluarga. Sejak represi budaya berlalu, panggung makin terbuka. Namun keberadaan mereka kini ditengarai seperti jalan di tempat. Benarkah?
Laki-laki itu mengenakan sweater merah dengan jeans hitam ketat dan lutut terbuka. Helm hitam menutupi seluruh wajahnya. Saat helm itu dibuka, tersibaklah rambutnya yang panjang. Bagian atas rambut itu dicat pirang, bawahnya dibiarkan tetap hitam.
Menebar senyum, sembari menenteng helm, laki-laki itu segera bergabung ke sebuah meja makan di salah satu rumah makan di ujung simpang Jalan Sei Kera dan Jalan Josua. Sekilas, wajahnya mirip Andy Lau, penyanyi dan bintang film terkenal asal Hong Kong.
"Saya memang mengidolakan Andy Lau," ujarnya. Ia adalah Andy Chensing (37), dikenal sebagai penyanyi lagu-lagu Mandarin Medan "generasi pertama" yang masih bertahan. Bersama penyanyi seangkatannya, Endy Liang (37), juga penyanyi yang lebih junior, seperti William Tandean (31), Fendy Lim, Link Chow, dll, mereka sering muncul pada pesta-pesta pernikahan, perayaan Imlek, launching produk perusahaan, dan acara pesta lain.
Sebagai penyanyi spesialis lagu-lagu Mandarin. Tentu saja, mereka juga fasih menembangkan lagu-lagu pop Indonesia, Barat, dan K-Pop.
"Saat tampil di PRSU sekitar 1995, saya masih membawakan lagu Chrisye, Pance Pondaag atau Broeri Pesolima," tutur Andy Chensing. Embel-embel Chensing adalah nama populer Andy, setelah ikut audisi acara reality show Chen Sing yang diadakan Indosiar 2007. Chen Sing artinya jadi bintang. Program tersebut merupakan ajang mencari bintang penyanyi baru dengan menyanyikan lagu dalam bahasa Mandarin.
Menurut pengamat musik Theodore KS, meski banyak tantangan, penyanyi dan grup musik Mandarin di Indonesia terus tumbuh. Di Medan berdiri grup Nila Nada (1969) yang menjadikan lagu Mandarin sebagai andalan, kemudian berganti nama menjadi Nila 73 pada 1973.
Mereka mengisi acara di restoran chinesse food dan klab malam seperti Tropicana dan Bali Plaza. Nila 73 hadir pada saat yang bersamaan dengan kejayaan grup The Rhythm Kings, The Minstrels dan The Mercys, namun mereka tetap dapat tempat di hati masyarakat dengan modal lagu-lagu Mandarin-nya.
Andy Chensing, Endy Liang, dan William Tandean tentu generasi yang lebih muda. Terjun ke dunia tarik suara lebih karena ingin mengekpresikan bakat seni mereka. Namun dalam perkembangan mereka sadar, profesi sebagai penyanyi lagu (berbahasa) Mandarin, terlebih di Medan, tak menjanjikan sebagai sandaran hidup.
Alhasil selain dikenal sebagai penyanyi lagu-lagu Mandarin, Andy Chensing punya bisnis lain, William Tandean seorang dokter dan Endy Liang bekerja di perusahaan distribusi pupuk. Begitulah sembari melakoni pekerjaan utama, mereka tetap bisa mengekspresikan bakat seni yang dimiliki.
"Saat kecil, kalau ada tamu datang ke rumah, saya dipanggil mama dan disuruh menyanyi di depan tamu," tutur William Tandean. Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Methodis Indonesia (UMI) Medan itu saat kecil gemar menirukan lagu-lagu Malaysia seperti Gerimis Mengembang yang sering ditayangkan TV-3 Malaysia.
"Sekalipun vokal penyanyi Malaysia umumnya tinggi-tinggi, tapi waktu saya nyanyikan dengan nada lebih rendah, banyak yang bilang bagus." Sejak itu William mulai serius mengasah bakat bernyanyi, terutama dari lagu-lagu genre pop jazz.
Antara 1990 – 2000, panggung terbuka untuk menyanyikan lagu-lagu Mandarin tertutup rapat. Bahasa dan aksara Mandarin dilarang pemerintah untuk dituturkan, dipelajari, dan dikembangkan. Panggung yang tersedia saat itu hanya karaoke di rumah, ajang arisan, dan pesta perkawinan di restoran. Itu pun harus ekstra hati-hati, seperti dilakukan Andy Chensing pada 1992.
"Waktu itu umur saya masih 11 tahun, nyanyi diresepsi pernikahan saudara," tuturnya. Andy fasih berbahasa Mandarin karena ibunyai guru privat bahasa Mandarin. Sementara Endy Liang memanfaatkan acara arisan sebagai panggung ekspresinya. Berpindah dari satu rumah ke rumah lain, umumnya rumah pengusaha sukses, setiap tokoh punya grup karaoke. Endy Liang yang 2007 membentuk U-NO Band, ikut kelompok karaoke Sun Flower.
"Dalam arisan itu tiap grup sering disuruh berkompetisi," tuturnya. Selain acara arisan, ada juga Lembaga Pengembangan Kesenian Sumatera Utara (LPKSU). Organisasi ini sering bikin lomba karaoke lagu Mandarin. Tempatnya rumah pengurus.
Tentu saja semua panggung itu hanya bisa diakses komunitas tertentu. Maklum, represi terhadap budaya Tionghoa masih kuat saat itu. Bahkan di Jawa, pada 1990, di kota-kota Provinsi Jawa Tengah, lagu Mandarin tak boleh diperdengarkan dalam perayaan malam tahun baru Lunar.
Panggung ekspresi terbuka lebar sejak era Presiden Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri berkuasa. Tak hanya di panggung terbuka, hotel, restoran atau gedung kesenian saja, beberapa stasiun televisi swasta juga menghadirkan panggung di studio mereka.
Oriental Night
Pada 2003, selama setengah tahun, Andy Chensing misalnya dikontrak Anteve mengisi acara Oriental Night. Pembawa acaranya saat itu Ronny Sianturi dan Leony Vitria Hartanti atau dikenal sebagai Trio Kwek-Kwek. Ia juga pernah dikontrak di Lativi. Bersama Kulkas, group band yang didirikan 1999 bersama sejumlah musisi Jakarta dan Bandung, mereka rutin tampil di Hailai – sebuah klub eksklusif yang aggotanya para eksekutif – Ancol, Jakarta. Kulkas juga kerap manggung di Bandung.
Setamat SMA (1999), Andy merantau ke Jakarta, memilih mengikuti bisikan hatinya jadi anak band. Ia hidup bohemian sebelum membentuk Band Kulkas yang personelnya terdiri 3 penyanyi 5 pemusik itu.
"Anak muda itu maunya tampil kalem, cool maka nama band kami Kulkas," tuturnya sembari terkekeh. Namun sejak 2016, Andy Chensing memilih pulang ke Medan, merawat ibunya yang mengidap parkinson.
Sementara kiprah Endy Liang banyak dihabiskan dari satu lomba ke lomba lain. Ia finalis Akademi Fantasi Indosiar (AFI 3 - 2004), bersama U-NO Band menjuarai Chinese Singing Competition for Welcoming Jacky Cheung Concert(2007). Lalu pada 2008 ia jadi finalis World Hokkian Song Contest, finalis Asian Chinese Singing Competition (2009), meraih The Best Song in Taiwan Song Composing Competition (2010), dan Top 10 Finalist Taiwan Original Music Award 100th Taiwan Independence Day Song Composing Competition (2011).
Bersama bandnya U-NO, Endy Liang merilis album Live Your Life (2013). Album itu berisi kompilasi 10 lagu. Lirik lagunya sebagian ditulis seorang jurnalis juga aktivis gereja di Taiwan, Anita Mu Ling Ngun. Sebelumnya Endy pernah berkolaborasi dengan Anita Mu Ling dan memenangkan Taiwan Song Composing Competition.
"Saya mengaransemen dan menyanyikan lagu itu dengan U-NO Band, tapi disertakan sebagai karya Taiwan," tuturnya saat dijumpai di sebuah kafe di Jalan Diponegoro Medan, Rabu (18/9). Selain dijual di sejumlah toko VCD/CD, album itu juga dipasarkan secara online lewat iTunes.
Harus Keluar
Panggung ekspresi untuk lagu-lagu Mandarin sejatinya sudah terbuka lebar. Namun bagi para penyanyi Mandarin Medan, penggung itu sebenarnya dirasa sempit. "Kamu sudah tahu kapan waktunya mulai menyanyi, namun kamu juga harus tahu kapan waktunya mengakhiri atau keluar."
Itu adalah nasihat ayah William Tandean saat mengetahui anaknya mulai terjun sebagai penyanyi. Endy Liang, Andy Chensing, dan William Tandean memang masih sering diundang manggung. William bahkan sering main di Pekanbaru, Jakarta, Batam, dan Surabaya. Ia juga pernah satu panggung dengan Syahrini dan berduet dengan Putri Ayu.
Memasuki bulan ke-8 sampai Imlek dalam kalendar Lunar, permintaan jadwal pentas untuk ketiganya sudah cukup padat. Namun bagi mereka, semua itu bukan garansi terhadap karir mereka. Usia makin bertambah, penyanyi-penyanyi baru bermunculan sekalipun kualitas vokal boleh diperdebatkan.
Menurut Andy, di Medan, infrastrtuktur seni musik, terlebih bagi penyanyi Mandarin sangat minim. Bahkan nyaris tidak ada. Lembaga yang mempromosikan nihil. Perhatian pemerintah juga sama saja. “Terlebih lagi anak muda kini lebih suka dengerin K-Pop, lagu Mandarin hanya didengar mereka yang tua-tua,” tambah Endy Liang.