Oleh: Roy Martin Simamora. Tidak dapat disangkal, orang-orang di pemerintahan berisi orang-orang penting, bahkan terhormat (katanya). Mereka adalah pejabat publik. Mereka dipilih oleh rakyat. Mereka memiliki sejumlah hak istimewa. Tapi kelebihan dan keistimewaan ini tak lantas membuat mereka menjadi arogan, sampai menganggap diri paling benar, apalagi di mata hukum. Di mata hukum, kedudukan mereka sama saja dengan warga biasa.
Ada banyak sekali cerita-cerita arogansi pejabat publik. Beberapa diantara bahkan pernah terekam dalam jejak digital. Diantaranya, tindakan main hakim sendiri oleh oknum pejabat publik yang memukul warga sipil dihadapan istri dan kedua anak korban yang masih kecil karena persoalan pelanggaran lalu lintas.
Siapa dia berhak memukul warga sipil? Memang keduanya jelas salah karena telah melanggar aturan lalu lintas memasuki jalur khusus busway. Maka, tindakan hukum harus diambil oleh penegak hukum bukan dengan cara-cara main hakim sendiri.
Arogansi pejabat publik yang kerap dipertontonkan adalah saling mencela di media massa. Pejabat publik melontarkan kata-kata yang tidak bijak, tidak memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat. Atau, oknum pejabat publik yang baru-baru—dalam video yang tersebar—ini menampar seorang supporter. Pejabat publik seharusnya memberi contoh yang baik, melayani, dan mengayomi rakyatnya.
Pejabat publik tidak boleh seenaknya menggunakan kekuasaan untuk kesewenang-wenangan. Tak hanya itu, pejabat publik di yang diundang ke televisi—sebagai peyambung lidah rakyat—seharusnya melontarkan kalimat-kalimat yang menyejukkan hati, memberikan informasi yang jelas kepada khalayak publik.
Sikap arogan yang ditunjukkan pejabat publiktersebut semakin menguatkan persepsi publik bahwa pejabat publik kita memang sedang “sakit”. Sakit yang berdiam dalam tubuh memang sebaiknya diobati. Diobati dengan cara memberi sangsi kepada pejabat publik yang berbuat sesuka hati. Atau, mencegah dengan tidak memilih mereka seandainya mencalonkan diri kembali pada pemilihan umum berikutnya. Kita tentu tidak menginginkan pejabat publik bermental preman dan arogan demikian.
Pemukulan terhadap warga sipil oleh pejabat publik adalah sebuah kesalahan besar dan melukai perasaan rakyat. Warga sipil yang menjadi korban pemukulan, secara tidak langsung memukul rakyat keseluruhan karena ia adalah representasi dari seluruh warga sipil lainnya.
Sang pejabat publik lupa bahwa ia dipilih oleh jutaan warga sipil yang menjadikannya seorang “dewan terhormat” di Senayan sana. Semestinya, pejabat publik memberikan teladan yang baik bagi rakyatnya. Bukan bersikap arogan dan sombong.
Bukan pejabat publik namanya kalau tidak sarat kontroversi. Kontroversi demi kontroversi kerap dipertontonkan dihadapan khalayak publik. Mulai dari perebutan kekuasaan hingga perselisihan politik sesama pejabat publik. Sesama pejabat publik perang argumen adalah hal yang biasa. Seperti sudah putus ulat malunya, mereka tidak peduli dengan penilaian publik diluar sana.
Padahal, mereka diamanahkan bekerja untuk kemaslahatan rakyat. Celakanya, ketika sudah berkuasa, ia lupa diri, merasa punya akses yang luas dan kuasa yang lebih atas pemerintahan sehingga menghasilkanpejabat publik yang arogansi!
Kekuasaan memang dekat dengan arogansi. Satu contoh kecil sikap arogansi pejabat publik ketika diundang dalam acara televisi. Dua perwakilan partai oposisi dan pemerintah saling berseberangan politik; berbeda kepentingan politik; melontarkan kalimat-kalimat yang merendahkan dan tidak pantas untuk ditonton. Pendidikan politik yang buruk menjadi sajian rutin yang tidak mengenakkan. Kita hanya cukup menyaksikan televisi untuk melihat kualitas bicara seorang pejabat publik. Apakah layak disebut pejabat publik atau tidak?
Sikap arogan sebaiknya dihindarkan oleh pejabat publik yang justru berdampak buruk bagi keberlangsungan lembaga negara itu. Citra buruk yang dipertontonkan menjadi identitas yang melekat pada diri para pejabat publik. Sebagai pejabat publik seharusnya patuh terhadap aturan hukum dan kode etik yang mengikatnya. Pejabat publik sebaiknya menjaga marwahnya dihadapan publik. Contohnya, di DPR ada Badan Kehormatan yang memantau penuh etika anggota DPR. Badan Kehormatan seharusnya menindak tegas anggotanya agar tak bersikap semena-mena. Berikan sanksi tegas kepada mereka yang mencoba menerabas kode etik keanggotaan.
Tidak sampai disitu, salah satu arogansi berujung kontroversi yang paling menyita perhatian adalah soal revisi Undang-Undang MD3. Undang-Undang MD3 dinilai menunjukkan arogansi pejabat publik. DPR dalam membuat legislasi harusnya berkualitas dan tidak sarat dengan unsur balas dendam maupun melindungi anggota DPR secara membabi buta.
Beberapa pasal yang dianggap justru berbahaya bagi kelangsungan demokrasi kita. Pejabat publik menjadi anti-kritik dan kebal hukum. Dampaknya melahirkan rezim otoriter. Aturan baru itu menjadikan mereka mengendalikan tentara dan polisi dengan ketat yang merupakan sarana utama dimana lawan politik dapat dilecehkan, diasingkan atau bahkan dieksekusi.
Bagi siapapun yang mencoba mengkritik anggota parlemen, baik saat bertugas maupun saat tersangkut kasus korupsi akan berhadapan langsung dengan penegak hukum. Sistem atau politik otoriter ini mengkonsolidasikan kekuasaan di kepala rezim dan umumnya tidak berusaha melibatkan warga negara dalam proses politik, meskipun mereka mungkin memberi warganya kebebasan politik dan sosial selama mereka tidak dipandang mengancam stabilitas rezim pemerintahan. Apakah itu tidak salah bentuk arogansi dari pejabat publik?
Tidak bisa dimungkiri, demokrasi kita sedang melewati masa-masa yang sulit. Ketika para politisi dan pejabat publik telah gagal menciptakan rezim demokratis yang layak, gagal memenuhi harapan rakyat bersebab intrik-intrik kotor, friksi politik, kekerasan dan arogansi. Pejabat publik kita lebih suka mengurusi hal-hal yang tidak penting ketimbang bekerja demi rakyat. Bahkan dalam demokrasi yang mapan, kelemahan dalam sistem kita telah menjadi terlihat mengkhawatirkan dan kekecewaan rakyat dengan politik merajalela, terutama kepada politisi. Hal itu disebabkan oleh, kekuasaan penuh yang diberikan negara kepada mereka sehingga menjadi lupa diri bahwa mereka dipilih bukan berdasarkan kehendak golongan tapi kehendak seluruh rakyat. Kekuasaan itulah yang membutakan mereka akhirnya menjadi sombong dan arogan. Arogansi melahirkan kekerasan. ***
Penulis, alumnus National Dong Hwa University, Taiwan