Detail dan Filosofi Gerbang

Oleh: Rhinto Sustono

GERBANG (gapura) tak hanya dipakai sebagai entrance (jalan masuk) saja, namun juga bisa dimaknai sebagai penan­da (identitas) suatu kawa­san, kompleks perumahan, kompleks perkantoran, hingga sebagai wajah depan sebuah territorial, bahkan benteng pertaha­nan kedaulatan sebuah negara. Tak heran, ger­bang selalu menjadi pem­be­da kekhasan dengan lainnya.

Mahfum disebut gapura, namun seja­tinya gerbang sebagai pintu utama menu­ju kawasan berbeda. Dalam konteks arsitektur, ragam gerbang di seantero negeri bisa menjadi bahan kajian keil­muan. Baik dari sisi fungsio­nal, teknis, artistik, bahkan historinya.

Ada banyak alasan gerbang dibangun pada tempat-tempat tertentu. Tentu saja, hal itu disertai sejumlah alasan yang menyangkut prihal tujuan.

Sebagai identitas, selain pilihan ben­tuk dan nilai keartistikannya, gerbang biasanya dibangun dan ditera nama tem­pat atau wilayah. Misalnya dengan nama sekolah, nama desa, nama kabupa­ten/kota/provinsi, nama tempat wisata, nama kantor, dan lainnya.

Sebagai visualisasi keindahan, wujud pentaannya disesuaikan dengan kearifan lokal untuk menciptakan kesan positif  dari  tempat/wilayah tersebut. Jika ger­bang didedikasikan sebagai penanda histori, gerbang bisa mengandung makna filosofi yang berafiliasi menjadi monu­men peringatan suatu peristiwa penting.

Sehingga kerap kali gerbang yang dijadikan monumen bersejarah, seakan mewakili semangat untuk memasuki masa depan baru. Meski tua dimakan za­man, namun bangunannya akan selalu terkesan megah. Layaknya sejumlah candi yang pada awal dibangun untuk difungsikan sebagai gerbang.

Menelaah arsitektur gerbang skala dunia, di Roma, Itali, dikenal Arch of Constantine salah satu gerbang kemena­ngan Romawi tertua yang masih berdiri. Gerbang ini dibangun pada 315 untuk memperingati kemenangan Kaisar Konstantinus I melawan Kaisar Maxen­tius. Ini peristiwa terpenting dalam sejarah Eropa dan menjadi awal diakui­nya agama Kristen di Kekaisaran Romawi. Desain gerbang ini menjadi prekursor bagi gerbang-gerbang keme­na­ngan lainnya di berbagai penjuru dunia.

Selain Menara Eiffel, ada Triumphal Arch (gerbang kemenangan) paling terkenal yang menjadi salah satu landmark Paris. Monumen setinggi 50 meter ini merupakan gerbang kemenangan terbesar kedua di dunia, setelah yang ada di Pyongyang, Korea Utara. Triumphal Arch dibangun untuk memperingati para pahlawan selama Revolusi Prancis dan Perang Napoleon. Dibangun atas perintah Napoleon Bonaparte pada 1805.

Ada juga gerbang kemenangan Bradenburg Gate di Berlin, Jerman yang dibangun Raja Frederick William II ketika Jerman masih bernama Prussia pada 1788-1791. Gerbang ini terkenal sebab pernah menjadi bagian dari Tembok Berlin yang dihancurkan pada 1989 setelah Jerman Barat dan Jeman Timur bersatu. Kini gerbang ini menjadi simbol bagi kedamaian dan persatuan Eropa.

Gerbang Majapahit

Sejarah panjang peradaban di nusan­tara juga meninggalkan arsitektur tak kalah mendunia. Kebesaran nama Majapahit dengan kisah anak-turunnya hingga mengakar di Kesultanan Nga­yogya­karta Hadinigrat yang pada awal kemerdekaan RI melebur kepada NKRI, juga meninggalkan bangunan sernilai sejarah yang sarat filosofi. Salah satunya Candi Wringinlawang.

Candi ini dikelilingi taman asri dan terletak dekat dengan jalan utama. Sejarahnya, candi ini dahulu kala merupakan pintu gerbang utama menuju Kerajaan Majapahit. Bangunan sejenis juga diabadikan pada bagian depan sebelum memasuki bangunan berbentuk joglo, Cungkup Astana Mulyo, khas bangunan Jawa,  di Kompleks Makam Bung Karno, di Blitar.

Namun jika ingin melihat gerbang termodern dan termegah di Asia Tenggara, Gerbang Kudus Kota Kretek pastinya. Lokasinya berada di sebelah timur Jembatan Tanggul Angin, atau perbatasan Kabupaten Kudus dengan Kabupaten Demak.

Dua tahun sejak peletakan batu pertama pada 22 April 2014, gerbang yang menawarkan eksotisme pada malam hari ini pembangunannya menghabiskan dana Rp 16,125 miliar. Berdiri di atas lahan seluas 1106 meter per segi, bentuk bangunan setinggi 12meter itu menyerupai daun tembakau sepanjang 48,75 meter yang memayungi sisi kiri-kanan ruas jalan.

Sebelumnya di lokasi itu berdiri bangunan lama,  yakni replika Menara Kudus. Gerbang Kudus memiliki filosofi dalam setiap unsur bangunannya. Bentuk daun tembakau di atasnya dengan 59 ruas jari-jari memiliki makna tersirat. Angka 5 sebagai lambang Rukun Islam dan angka 9 memaknai Wali Sanga.

Sedangkan bagian bawah gerbang yang berbentuk empat tiang cengkeh menopang daun tembakau, sejatinya melambangkan empat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tung­gal Ika, dan NKRI. Perpaduan Bahan stainless steel dan beton dengan bentuk simetris menjadi simbol kekinian kota industri dan kekokohan religiusitas masyarakat dalam kehidupan yang penuh harmoni.

Dari sisi teknis, bangunannya dibuat dengan menggunakan pondasi tiang pancang. Sementara dinding, balok dan kolomnya adalah beton bertulang.

()

Baca Juga

Rekomendasi