Oleh: Gigih Suroso
SETIDAKNYA ada ribuan jamaah haji yang diberangkatkan dari Indonesia menuju Mekah dan Madinah untuk menjalankan serangkaian ibadah Haji yang menjadi salah satu rukun Islam. Singkatnya tujuan dari berangkat haji adalah mencapai kedudukan iman yang lebih tinggi yaitu haji mabrur. Berangkat haji bukan sekedar perjalanan naik pesawat dalam jangka waktu yang lama, atau sekedar rutinitas dan seremonial belaka, esensi dari ibadah haji idealnya memberikan bekas entah itu kepada diri sendiri ataupun orang lain.
Berbeda dengan ibadah yang lain, dalam Islam menunaikan ibadah haji mendapatkan syarat bagi yang mampu. Itu artinya bukan sembarangan untuk bisa berangkat haji. Harus dipersiapkan lahir dan batin, mental maupun finansial. Tidak ada pembatasan bahwa makna dari kalimat “ bagi yang mampu” adalah kita yang punya kecukupan materi belaka.
Mungkin tidak asing kita dengar, bahwa ada tukang bubur naik haji, tukang becak, petani atau bahkan pemulung naik haji. Semua punya kesempatan yang sama, tinggal bagaimana usahanya. Ada yang menabung bertahun-tahun untuk bisa naik haji, dan di sisi lain masih banyak yang bergelimang harta namun belum tergerak hatinya untuk naik haji.
Sesuai dengan balasan pahalanya, menunaikan ibadah haji memang butuh kesungguhan, satu diantaranya harus siap menunggu jadwal keberangkatan. Ada yang sudah mendaftar 5 tahun lalu, dan bahkan ada yang harus menunggu sampai 17 tahun lagi barulah bisa berangkat menunaikan ibadah haji. Begitu sakral dan menantangnya ibadah ini, sesuai pula dengan balasan yang telah dijanjikan.
Namun yang paling penting dari pelaksanaan ibadah haji bukanlah mendapatkan gelar” haji” atau Hajah” yang bisa digunakan oleh beberapa oknum untuk mengislamkan identitas diri. Seperti sedang dikarantina, mereka yang melaksanakan haji sejatinya sedang sekolah, menjadi tamu Allah yang agung, agar setelah pulang dari sana mendapatkan kualitas iman yang lebih baik lagi.
Sejak keberangkatan, para calon jamaah haji sudah harus dilatih kesabarannya, menunggu bertahun tahun sampai panggilan datang. Ketika berangkat haji pun diuji agar ikhlas meninggalkan seluruh sanak keluarga di rumah. Sesampainya di tanah haram, semua pakaian kebesaran dilepaskan, tidak ada yang boleh sombong di depan Tuhan. Hanya memakai kain ihram berwarna putih.
Idelanya Ibadah haji mengumpulkan seluruh umat Islam dari penjuru dunia, dari berbagai ras, suku dan bangsa. Semuanya belajar sederhana, bukan untuk berbicara politik, bukan untuk berbisnis, kedatangan mereka untuk beribadah, berkumpul pada satu tutuk untuk kembali kepada Allah. Merendahkan diri yang pernah tinggi, menyederhanakan sikap yang pernah congkak.
Maka dari itu, setiap mereka yang pergi haji selalu didoakan mabrur, iya mabrur berarti setelah melaksanakan haji jadi lebih baik dari sebelumnya. Baik di hadapan Allah dan baik kepada orang lain. Mabrur bukan gelar atau ijazah yang biasa diberikan kepada seseorang setelah melakukan beberapa rangkaian ujian tertulis maupun lisan, mabrur berasal dari kata birru yang berarti kebaikan.
Idealnya mabrur berarti harus dipenuhi dengan kebaikan. Kemabruran haji seseorang bisa dilihat dari aktivitasnya setelah melaksanakan haji, setidaknya indikatornya adalah meningkatnya ibadah secara personal, dan selanjutnya meningkatnya kualitas hubungan sosial. Dan lebih penting lagi mabrur bukanlah pemberian semata, namun sesuatu yang harus diusahakan
Alhasan Bashri mengatakan bahwa haji mabrur adalah pulang dalam keadaan zuhud terhadap dunia dan mencintai akhirat, meninggalkan perbuatan buruk yang dilakukan sebelum haji. Maka tidaklah pantas kita yang sudah haji namun masih rakus pada dunia, enggan berbagi rezeki pada sesama, rakus pada harta hingga merampas milik orang lain (korupsi).
Begitu pun Abu Bakar Jabir Al Jazaari menuliskan dalam bukunya bahwa haji mabrur itu ialah haji yang bersih dari segala dosa, penuh dengan amal sholeh dan kebajikan-kebajikan. Maka pantas saja kita doakan mereka kembali ke Indonesia membawa oleh-oleh Mabrur yang ditandai dengan semakin banyaknya kebajikan-kebajikan di sekitar kita
Suasana bersosial kita sudah lagi tak ramah, dimana mana saling lempar hujatan, tak peduli hidup satu bumi, satu langit dan satu matahari, keharmonisan bersosial pun digadaikan. Terlebih di musim politik sekarang ini, manusia pun dihewankan. Kasar benar lisan kita berujar, tidak ada santun yang tersisa sebagai identitas orang timur. Yang tua tak dihormati dan yang kecil tak disayangi.
Iya, semoga saja dua ratus ribu lebih masyarakat Indonesia yang berangkat ke tanah suci bisa menjadi haji mabrur. Rasulullah pernah bersabda bahwa diantara ciri kemabruran adalah memberi makan orang kelaparan dan tutur kata yang santun. Jika dua hal ini bisa dibawa pulang oleh setiap jamaah haji yang berasal dari berbagai penjuru di dunia, maka Indonesia akan semakin makmur.
Setiap mereka yang sudah berhaji memiliki spirit dalam menyantuni anak yatim dan orang miskin, artinya bisa membantu pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Santunan tidak melulu soal memberi uang tunai, bisa memberikan beasiswa sekolah gratis atau bahkan membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran
Jika setiap tahun selalu ada masyarakat Indonesia yang berangkat haji dengan jumlah ratusan ribu jiwa, maka semoga setiap ratusan ribu masyarakat Indonesia yang berangkat haji itu bisa mabrur, artinya ada peluang bahwa akan semakin banyak orang-orang yang santun di negeri, santun pada pemimpinnya, gurunya, anaknya, istrinya, keluarganya maupun temannya, baik di dunia maya ataupun nyata.
Setiap ritual ibadah dalam agama tentu memberikan nilai positif bagi setiap penganutnya, maka dalam Islam ibadah haji ini semoga dapat menjadi jembatan, bukan lebih tepatnya jalan TOL untuk kita lebih cepat sampai pada kemakmuran. Bukan hanya dari tinggi gedung-gedungnya saja, tapi juga tinggi budi pekertinya.
Semoga mabrur, untuk seluruh masyarakat Indonesia yang melaksanakan ibadah haji, bawalah oleh-oleh mabrur itu ke bumi pertiwi, agar berkurang orang-orang lapar dan pengangguran, agar harmonis kembali kita bersosial. ***
Penulis adalah Alumni UIN SU dan Pelajar di Mahad Daarul Firdaus Yogyakarta.