Oleh: Dr. Muhammad Iqbal Irham, M.Ag
PERGULIRAN waktu yang tiada henti di dunia ini berjalan beriringan dengan derap peristiwa yang terjadi pada insan/manusia. Problematika hidup yang terjadi pada setiap insan tentu tidak sama dikarenakan karakter dan kepribadian yang beragam dalam menghadapinya. Kadangkala pada beberapa situasi, seorang insan luput dari sifat dan sikap yang mencerminkan kebaikan pada dirinya. Tentu dalam hal ini setiap insan diminta pula untuk mempersiapkan pirbadinya menjadi baik lagi. Tatkala ia dicela, dihina dan dinodai dengan keburukan, ia harus siap berlapang dada dan tetap tabah. Ketika ia diberi ujian yang memunculkan emosi, ia harus sigap pula dengan mawas diri dan menguasai dirinya dari amarah. Islam sebagai sebuah ajaran telah memberi petunjuk kepada insan muslim untuk menghadapi situasi demikian. Alquran telah memberi pesan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan, salah satunya menahan amarah. Allah berfirman: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Qs. Ali Imran: 134). Nabi Muhammad saw. juga mengatakan bahwa kekuatan sejati insan muslim terletak pada kemampuan menahan amarahnya, bukan pada kekuatannya. Nabi bersabda: “Orang yang kuat bukan yang banyak mengalahkan orang dengan kekuatannya. Orang yang kuat hanyalah yang mampu menahan dirinya di saat marah”. (HR. Al-Bukhari).
Wajar saja jikalau setiap orang punya sisi keburukan dalam dirinya dan mempunyai potensi untuk memicu amarah orang lain, karena sejatinya manusia dilahirkan di dunia ini tidak pernah luput dari yang namanya kesalahan. Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan kekhilafan dalam segala aktifitas. Hal ini disebabkan kesalahan dan kehilafan merupakan fitrah yang melekat pada diri manusia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap manusia pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya yang melakukan kesalahan adalah orang yang segera bertaubat” (HR. At-Tirmidzi). Hadis ini menunjukkan fakta manusia pasti pernah salah, namun kemudian dapat dipahami bahwa manusia yang baik bukanlah orang yang tidak pernah berbuat salah, tetapi manusia yang baik adalah manusia yang menyadari akan kesalahannya dan segera meminta ampun (maaf) kepada Allah. Tentu dengan menyadari kesalahan pada diri, seorang insan harus menyikapinya dengan lebih bijaksana. Kebijaksanaan setiap insan terhadap seluruh kesalahannya adalah dengan merealisasikan sifat al-‘Afwu (maaf) yang melekat pada dirinya.
Al-‘Afwu berasal dari kata arab “‘afaa-ya’fuu-‘afwan-al-‘afwata” yang memiliki arti: memaafkannya, mengampuni dosanya. Dalam kamus al-Munjid fi al-Lugah dikatakan bahwa kata al-‘afwu dimaknakan dengan “menyembuhkan sesuatu yang bersih pada (diri)nya. yakni, melenyapkan (dirinya) dari kejahatan yang semula melekat pada dirinya, lalu ia memuliakan orang secara khusus”. Tentu dapat dipahami bahwa al-’Afwu secara etimologi bisa berarti memaafkan atau memberi maaf kepada orang lain. Kata tersebut juga dapat berarti menahan diri, menghapuskan dan menggurkan kesalahan orang lain pada dirinya. Apabila pengertian al’afwu diterminologikan berdasarkan makna yang terkandung pada ayat-ayat Alquran, maka kata tersebut memiliki berbagai makna konotatif. Di antaranya adalah “meninggalkan” atau “mengabaikan” (Qs. Al-Baqarah: 109), “meringankan” atau “memudahkan” (Qs. Al-Baqarah: 187), “kelebihan” (Qs. Al-Baqarah: 219), dan bisa juga “menambah banyak” (Qs. Al-A’raf: 95). Namun secara porsinya, tujuan dari al-‘Afwu dalam kehidupan adalah bentuk maaf-memaafkan.
Maaf-memaafkan adalah satu amalan yang sangat terpuji tatkala seseorang mampu bersabar terhadap perbuatan buruk yang ditimpakan orang lain kepadanya serta memaafkan kesalahan orang padahal ia mampu untuk membalasnya. Sebagai salah satu karunia Allah, maaf merupakan nikmat yang begitu indah bagi insan muslim. Nikmat ini senantiasa diberikan Allah swt. kepada setiap insan muslim meski ia selalu melakukan perbuatan dosa dan maksiat. Begitu besarnya nikmat Allah ini, sampai-sampai salah satu sifat Allah yang wajib diimani insan muslim adalah Allahu al-‘Afuwu, Allah Maha Pemaaf. Firman Allah: “jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau Menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Kuasa”. (Qs. An-Nisa’: 149).
Pada praktiknya, melaksanakan Al-‘Afwu dalam kehidupan ternyata memiliki kesulitan yang besar pada diri setiap insan. Seringkali kesalahan orang lain tidak mudah untuk dimaafkan. Alasan sulitnya memaafkan dikarenakan berbagai faktor, salah satunya adalah kesalahan orang tersebut sudah melukai hati yang paling dalam dan melahirkan rasa dendam. Dalam kisah, dahulu sahabat terdekat Rasulullah, Abu Bakar As-Shiddiq ra, sempat bersumpah tidak akan memaafkan kesalahan Misthah bin Utsatsah dan bertekad tidak akan memberikan nafkah kepada sepupunya itu selamanya, karena dianggap telah menyebarkan berita bohong dan menuduh putri tercintanya, Aisyah berbuat zina dengan lelaki lain. Allah kemudian menegur sikap Abu Bakar yang tidak mau memaafkan itu melalui turunnya surat An-Nur ayat 22. Begitu pula dengan sahabat nabi lainnya, Umar bin Khattab ra, ia sangat dongkol dengan perbuatan Abdullah bin Ubay yang selalu memusuhi nabi dan berupaya menghancurkan Islam. Bahkan disaat menjelang kematian ketika ia meminta nabi untuk menyelimutinya dengan jubah yang terbagus, Umar tidak bisa menahan rasa kecewanya kala itu yang pada akhirnya nabi menjelaskan dengan penuh bijaksana. Hingga kini, siapapun punya potensi kehilangan kontrol diri atas amarahnya. Tentu rasa kecewa dan kesal yang menimbulkan amarah seringkali membuat seseorang lupa bahwa bersemayam sifat al-‘Afwu dalam dirinya.
Maka insan muslim harus sadar bahwa Allah tidak hanya menjadikan sifat al-‘Afwu sekedar bersemayam dalam diri, namun Allah juga menyeru untuk mempraktikkan sifat yang ada pada-Nya tersebut karena nabi Muhammad telah mempraktikkan dalam keseharian hidupnya. Allah berfirman: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (Qs. Al-A’raf: 199). Beberapa ulama tafsir seperti Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, ia berkata: “Allah menyuruh Rasulullah saw. untuk memberikan maaf dan kelapangan dada kepada orang-orang musyrik selama sepuluh tahun. Setelah itu, Allah menyuruh beliau untuk bersikap keras kepada mereka.”Ibnu Jarir sependapat dengan hal ini. Kemudian Qatadah, ia berkata: “Ini adalah akhlak yang diperintahkan dan ditunjukkan oleh Allah kepada Nabi saw.”. dengan kata lain, perintah Allah kepada nabi Muhammad untuk menjadi pemaaf adalah bahagian dari akhlak karimahnya kepada umat. sudah sepantasnya ditiru oleh insan muslim dimanapun berada.
Memaafkan atas kesalahan orang lain seringkali dianggap sebagai bentuk kelemahan dan bentuk kehinaan pada si pelaku, padahal justru sebaliknya. Apabila seseorang membalas kejahatan yang dilakukan orang lain kepadanya, maka sejatinya kemuliaan tidak tersemat baginya. Sebaliknya, ketika ia memiliki potensi untuk membalas kejahatan orang lain tersebut namun malah memaafkannya, maka dia mulia di hadapan Allah dan manusia. Allah Berfirman: “dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dzalim, mereka membela diri. (39) Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang dzalim. (40) Tetapi orang-orang yang membela diri setelah didzalimi, tidak ada alasan untuk menyalahkan mereka. (41) Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat dzalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksaan yang pedih. (42) Tetapi barangsiapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia”. (Qs. Asy-Syura: 39-43).
Demikian keutamaan al-‘Afwu yang diperuntukkan bagi insan muslim khususnya, dan bagi seluruh manusia umumnya. Mudah-mudahan kita semakin mendapat cinta dan maghfirah Allah atas sikap dan sifat al-‘Afwu yang kita realisasikan selalu di dunia. Amin.
Penulis: Dosen Ilmu Tasawuf Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SU