Oleh: Adlin Budhiawan
KEHIDUPAN seorang manusia selalu dihiasi dan dikelilingi oleh manusia lain yang saling membutuhkan. Karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial. Salah satu bentuk kehidupan manusia yang membuktikan kebenaran tersebut adalah kehidupan yang kita kenal dengan sebutan hidup bertetangga. Tetangga merupakan orang-orang yang kehidupannya dekat dengan kita. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat seseorang baru saja keluar dari rumah, yang ia tatap tentu sekelilingnya yang selama ini menjadi lingkungan hidup dan dari situlah ia memaknai bahwa ia tidak sendirian di dunia ini. Islam sebagai sebuah ajaran ternyata memberi respons yang cukup besar mengenai kehidupan bertetangga. Ajaran Islam mengajak seluruh umatnya agar hal ini mendapat perhatian khusus, mengingat kondisi kekinian semakin banyak orang yang mengabaikan kebaikan-kebaikan yang didapat dalam kehidupan bertetangga. Tentu umat muslim harus menyadari bahwa ajaran Islam yang ia anut merupakan ajaran Allah yang penuh kebaikan serta berhiaskan kasih dan sayang, dan salah satunya berbuat baik kepada tetangga.
Perintah berbuat baik kepada tetangga merupakan salah satu perbuatan yang mudah dilakukan oleh muslim dimanapun. Hal ini dikarenakan secara hakiki ditegaskan seorang manusia dipastikan akan membutuhkan manusia lain dalam aktifitas sosialnya. Anjuran berbuat kebaikan kepada tetangga telah disampaikan nabi melalui hadisnya yang berbunyi: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia muliakan tetangganya”. (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menunjukkan bahwa begitu kuatnya anjuran berbuat kebaikan kepada tetangga, sampai-sampai hal tersebut menjadi indikasi dari bentuk keimanan seorang muslim. Selain itu, mencintai tetangga pun menjadi indikator keimanan, sebagaimana sabda nabi: “Dari Anas bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang hamba (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muttafaqun Alaihi).
Sayangnya, kalau kita perhatikan dengan seksama masih banyak orang yang hidup di tengah keramaian lingkungan, namun seperti berada dalam kesendirian dan tak membutuhkan siapapun. Di tengah maraknya modernisasi segala bidang yang diikuti perkembangannya, seseorang malah justru terdegradasi nilai dan moralnya yang berefek pada kehidupan bertetangga pula. Sikap sinis, cuek dan individualis merupakan sikap awal yang lahir akibat kehidupan seseorang yang terlalu hedonis. Lama-kelamaan tidak hanya sikap sinis, cuek dan individualis yang muncul, kepedulian terhadap apapun dan siapapun yang ada disekelilingnya pudar dan sirna dari hatinya. Hal inilah sesungguhnya yang harus dihindari setiap muslim dimanapun ia berada.
Setiap muslim harus tahu bahwa mengabaikan perbuatan baik kepada tetangga merupakan sikap yang sangat ditolak dalam ajaran Islam. Kepedulian seorang muslim terhadap situasi dan kondisi tetangganya merupakan cerminan seorang mukmin. Bahkan, tatkala seorang yang mengaku muslim mengabaikan persoalan perut tetangganya saja pun keimanannya dipertanyakan. Dalam hadis, Nabi bersabda: “Bukanlah orang yang beriman yang ia sendiri kenyang sedangkan tetangga (yang di sebelah)nya kelaparan”. (HR. Bukhari), begitu pula dengan hadis Nabi: “Tidaklah beriman kepadaku seseorang yang bermalam dalam keadaan kenyang padahal tetangganya yang di sampingnya dalam keadaan lapar sedangkan ia mengetahuinya”. (HR. Ath-Thabrani).
Mengabaikan kondisi tetangga saja sudah dipertanyakan keimanan, konon lagi berbuat jahat kepada tetangga? Tentu jelas keimanannya sudah tanggal/lepas. Hal ini dipertegas Nabi dalam hadis: “Demi Allah, tidak beriman, tidak beriman, tidak beriman. Ada yang bertanya: ‘Siapa itu wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Orang yang tetangganya tidak aman dari bawa’iq-nya (kejahatannya)”. (HR. Bukhari dan Muslim). Bawa’iq yang dimaksud dalam hadis ini merupakan sifat curang, zalim, khianat maupun segala yang berbau kejahatan. Barangsiapa yang tetangganya tidak aman dari sifat tersebut maka si pelaku bukanlah seorang mukmin. Kejahatan tersebut tidak hanya dalam bentuk perbuatan, tetapi juga dalam ucapan dan sikap. Konsekuensi logis bagi siapapun yang melakukan ini adalah mendapatkan neraka, karena selain tidak beriman, berbuat jahat kepada tetangga termasuk dosa besar. Oleh karenanya, jangan pernah luput dari kebaikan bertetangga.
Berbuat kebaikan tentu tidak dibatasi dalam Islam, apakah hanya untuk sebagian golongan, untuk sebagian ras dan sebagainya. Dalam Islam, berbuat baik tidak boleh dibatasi dengan persepsi dan perspektif akal manusia, karena tidak ada nash atau dalil yang menunjukkan hal tersebut. Islam telah memastikan ajarannya bahwa kebaikan harus ditebar dan disebar oleh umatnya dalam setiap ucapan, perbuatan, dan sikap yang membuktikan kebenaran dan kebaikan ajaran Islam. begitupula dalam hal berbuat baik kepada tetangga, Islam tidak mengenal yang namanya “pilih-pilih tetangga”. Maka seorang muslim tidak boleh mengabaikan keberadaan tetangganya baik yang dekat hanya bersekat dinding saja maupun yang jauh berjarak puluhan rumah. Lebih lanjut, bertetangga tidak mengabaikan bentuk kebaikan kepada tetangga manapun, baik apakah ia seorang muslim ataupun seorang non muslim.
Allah telah berfirman: “sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (Qs. An-Nisa: 36). Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menjelaskan mengenai tetangga dekat dan tetangga jauh yaitu: “Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa al-jaar dzul qurbaa adalah tetangga yang masih ada hubungan kekerabatan dan al-jaar al-junub adalah tetangga yang tidak memiliki hubungan kekerabatan”. Beliau juga menjelaskan: “Dan Abu Ishaq meriwayatkan dari Nauf Al-Bikali bahwa al-jaar dzul qurbaa adalah orang muslim dan al-jaar al-junub adalah orang Yahudi dan Nasrani”. Sesungguhnya inilah yang ditunjukkan ajaran Islam bagi umatnya sebagai pedoman dalam kehidupan bertetangga.
Tentu Islam dengan ajarannya memang menjunjung tinggi hak bertetangga, baik kepada muslim maupun non muslim. Kebaikan-kebaikan yang ditebar seorang muslim kepada tetangganya adalah kebaikan yang terus mengalir pahalanya dan membentuk keindahan kehidupan baik untuk di dunia maupun akhirat. Bentuk perbuatan tersebut bisa dimulai dengan membagi makanan ke tetangga sebagaimana sabda nabi: “Dari Abu Dzar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila engkau memasak kuah, perbanyaklah airnya dan perhatikanlah tetanggamu.”(HR. Muslim). Selain itu, menjaga ucapan dan perilaku, tetap mengajak komunikasi, saling berkunjung atau bersilaturahmi merupakan bentuk kebaikan yang juga dapat dilakukan oleh siapapun karena dalam Islam setiap kebaikan adalah sedekah. Namun, hal yang perlu diingat adalah kehidupan bertetangga dilakukan harus berjalan sesuai prinsip yang ada. Kehidupan bertetangga tentu menjaga prinsip bertetangga dengan baik tanpa merusak prinsip-prinsip yang lebih tinggi, yakni prinsip agama.
Maka bagi muslim yang selama ini betolak belakang dengan prinsip bertetangga dalam Islam, silakan untuk berubah dan mengubah seluruh pola kehidupan yang selama ini tidak mencerminkan insan mukmin dimanapun ia berada. Bagi muslim yang telah melakukannya, pertahankan dan terus berbuat baiklah kepada tetangga sembari tetap menunjukkan ketinggian akhlakul karimah yang selayaknya dilakukan seorang muslim. Mudah-mudahan dengan menebar kebaikan bertetangga, Allah memberi balasan yang layak bagi kita. Aamiin yaa robbal aalamiin.
Penulis dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN SU