
Seorang bijak sedang bersama-sama muridnya di sebuah desa. Ia melihat ada keluarga yang sedang bertengkar, saling berteriak.
Ia bertanya kepada murid-muridnya: “kenapa orang saling berteriak kalau sedang marah?” tanya sang guru.
Salah satu muridnya menjawab, “Karena kehilangan sabar, kita berteriak.” “Tetapi, kenapa harus berteriak kepada orang yang ada disebelahmu? Bukankah pesannya bisa saja disampaikan dengan cara halus?” ujar sang guru.
Para murid saling adu jawaban, namun tidak ada satu yang mereka sepakati. Akhirnya sang guru berkata, “Bila dua orang saling bertengkar dan marah maka jarak hati mereka akan menjauh. Untuk menempuh jarak yang jauh itu, mereka harus berteriak agar pesannya diterima. Jika mereka semakin marah maka mereka berteriak semakin keras karena jarak kedua hati semakin jauh”.
“Bagaimana dengan dua orang yang saling mengasihi?” lanjut sang guru.
“Mereka tidak berteriak pada satu sama lain. Mereka berbicara lembut karena hati mereka berdekatan. Jarak antara hati tidak ada atau sangat dekat”. Orang-orang yang saling mencintai, tidak lagi banyak bicara. Mereka hanya saling mendekat dalam kasih saying. Mereka cukup saling memandang dan memahami tindakan masing-masing.
Guru tersebut memandang murid-muridnya dan berkata dengan lembut: “Jika terjadi pertengkaran, jangan biarkan hati menjauh. Jangan uycapkan perkataan yang membuat hati kian menjauh. Karena jika kita biarkan, suatu hari jaraknya tidak lagi bias ditempuh”.
Oleh sebab itu, jagalah hati dan perbanyak maaf. Agar hati kita tidak terpisah oleh dinding yang tak terlihat dan jalan yang berujung. Dan perbanyaklah zikir untuk melembutkan hati.(Ridwan Abdullah Sani dan Muhammad Kadri, Hikmah Kisah Nabi dan Rasul (Jakarta, Amzah, 2018, hlm. 125).
Menarik sekali apa yang dikisahkan dalam tulisan ini, dan mencoba mengingatkan kita bahwa kadang orang bisa berubah menjadi pemarah karena sesuatu sebab. Sebab ini harus segera diselesaikan karena kalau tidak ia akan menjadi penyebab dari masalah-masalah yang lain.
Makanya jika kita sedang marah, tutupi kemarahan kita untuk dengan diam. Agar suasana hati yang ada tidak keluar dengan ucapan-ucapan yang keras dan saling menyakiti.
Jika kita mampu menyelesaikan masalah tanpa marah, maka sesungguhnya kita sudah menggunakan hati, sehingga muncullah rasa maaf, karena sadar bahwa setiap orang pasti melakukan kesalahan jadi akan mudah bagi kita untuk tidak menyalahkan. Jika sedikit saja kita mampu berdamai dengan kemarahan maka suasana hati tidak akan susah.Inilah yang dipesankan Rasulullah Saw kepada sahabat ketika ia meminta Rasulullah untuk menasihatinya. Maka Rasulullah berkata, “Jangan marah!”
Marah akan menyebabkan hilangnya kesadaran dan bila kesadaran sudah hilang segala sesuatu bisa dilakukan tanpa berpikir lagi. Lihat bagaimana kasus-kasus pembunuhan terjadi karena munculnya rasa marah yang tidak mampu dikendalikan. Saat ia ditanya, “Kenapa engkau membunuhnya?” Ia menjawab, “Saya sangat marah dengannya karena ia sering membuat saya kesal,”ujar pembunuh tersebut.
Allah Swt berfirma di dalam QS Ali Imran: 133-134
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (133) [yaitu] orang-orang yang menafkahkan [hartanya], baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan [kesalahan] orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (134)”
Ayat ini menjelaskan bahwa tanda-tanda orang yang bertakwa salah satunya adalah orang-orang yang mampu menahan amarahnya.
Oleh karena itu, jangan jadi pemarah jadilah seorang pemaaf, karena orang yang mampu menahan marahnya dan pemaaf adalah ciri dari orang yang bertakwa. Semoga kita salah diberi Allah kesabaran dalam menghadapi segala masalah, baik yang datang dari keluarga maupun masyarakat.