
Oleh: Roy Martin Simamora
Tulisan ini berangkat dari kegelisahan saya tentang semakin pudarnya kesadaran manusia terhadap persoalan-persoalan yang ada di sekitarnya. Muncul pertanyaan dalam kepala: Jika seseorang meminta Anda untuk menjelaskan kesadaran, bisakah Anda melakukannya? Orang-orang yang sangat pintar telah menghabiskan seluruh waktu dan hidup mereka untuk mencoba memahami jawaban atas pertanyaan itu. Sangat mengejutkan bahwa sesuatu yang kita semua alami sangat sulit dijelaskan. Kesulitan kadang datang dalam kepala kita dengan menggambarkan “apa itu rupa” yang mencirikan kesadaran itu sendiri. Ada sesuatu seperti merasa bahagia atau sedih ketika menyaksikan sebuah fenomena yang sedang terjadi sekarang ini. Filsuf menyebutnya fenomenologi. Jika menurut Husserl, fenomenologi merupakan kajian filosofis yang melukiskan segala bidang pengalaman manusia. Dalam artian, manusia mengalami pengalaman hidupnya dalam sebuah kesadaran.
Kesadaran memiliki pengalaman yang unik. Semua manusia mengalami beragam jenis pengalaman, yang mungkin termasuk imajinasi, emosi, pikiran, dan persepsi. Pengalaman tidak hanya pengalaman pasif seperti penglihatan atau pendengaran, tetapi juga pengalaman aktif seperti bernyanyi, berbicara, berlari dan sebagainya. Pengalaman memiliki fitur unik yang memberi kesadaran manusia: kita mengalaminya, kita hidupkan secara menyeluruh atau melakukannya. Ada hal-hal yang dapat diamati dan dilakukan oleh manusia, tetapi tidak mengalaminya. Seperti yang kita sering katakan, “Saya melihat, melakukan, berpikir dan lain-lain....” Ini menjelaskan bahwa kita sadar dengan segala tindakan yang terjadi. Menurut fenomenologi klasik Husserlian, pengalaman kita diarahkan untuk mewakili atau “bermaksud” hal-hal hanya melalui konsep-konsep, pemikiran, gagasan, gambar, dan lain-lain.
Membangun Kesadaran
Bagaimana membangun kesadaran yang ada pada manusia, bila berkaitan dengan masalah, isu yang menjadi perbincangan ditengah-tengah sosial kemasyarakatan kita? Misalnya, membangun kesadaran yang berkaitan dengan masalah kebersihan lingkungan sekitar, seperti kesadaran membuang sampah pada tempatnya. Pada konteks ini, kesadaran akan kebersihan ditengah masyarakat masih perlu dipertanyakan. Dalam masyarakat urban, khususnya kota Medan kerap dijumpai masyarakat yang gemar membuang sampah sembarangan. Baik itu melempar sampah secara serampangan ke tengah jalan, maupun membuang sampah berkarung-karung ke sungai. Saya sering mengamati sendiri peristiwa itu. Sebuah pengendara sepeda motor membuang sekarung sampah dari atas jembatan ke aliran sungai. Peristiwa itu terjadi di siang hari yang terik. Tak seorangpun dari pengendara ataupun pejalan kaki yang memperingatkan si pengendara sepeda motor tadi. Tampaknya, semua acuh tak acuh dengan kejadian tersebut. Kasus lain, setiap menaiki angkutan umum, ada-ada saja manusia yang membuang sampah makanan, bungkus plastik di dalam angkutan umum maupun di lempar begitu saja keluar jendela. Hampir kasus yang sama saya temukan ketika menaiki angkutan umum di kota Medan.
Di waktu yang lain, lokasi yang berbeda, saya pernah memperingatkan seorang pengendara mobil mewah membuang sampah ke tengah jalan. Hal itu dilakukan si pengendara mobil di tengah kerumunan kendaraan yang berhenti di lampu merah. Sontak saja saya turun dari sepeda motor dan menghampirinya. Saya ambil sampah bungkus plastik yang dibuangnya, dan saya bilang agar menyimpan sendiri sampah yang dibuangnya. Di dalam mobil itu saya melihat satu keluarga memelototi saya dengan wajah tidak bersalah sedikitpun. Saya tidak tahu siapa yang membuang sampah tadi. Siapapun diantara mereka, baik orangtua maupun anak-anak tidak menjadi soal sebab dari sana kita bisa menyaksikan sendiri dengan gamblang bahwa kesadaran kita terhadap lingkungan masih minim. Pada situasi itu, peran orangtua, sebagai penuntun, pembimbing dan teladan bagi anak seharusnya mengajarkan anak agar sadar akan kebersihan lingkungan.
Kebanyakan orang mengira bahwa ketika ia membuang sampah masalah menjadi selesai. Namun, justru muncul masalah baru yang ditimbulkan olehnya. Bagi orang yang membuang sampah secara serampangan bukan pada tempatnya justru merugikan orang lain yang terkena dampaknya. Orang yang tidak sadar bahwa ia telah merugikan orang lain mengganggap semua akan baik-baik saja tanpa masalah apapun. Ketidaksadaran yang telah diperbuatnya berimbas kepada generasi berikutnya. Apa yang terjadi, anak-anak yang melihat orangtuanya membuang sampah meniru apa yang dilakukan oleh orangtuanya. Anak-anak tidak diajarkan untuk berlaku sadar. Ketika kita membuang sampah kita telah turut menyumbangkan masalah baru dan kerugian di masa depan.
Kita ambil contoh yang lain: kesadaran berlalu lintas. Berbicara tentang kesadaran berlalu lintas menjadi isu yang tidak pernah ada matinya. Dalam hal ini kesadaran berlalu lintas masyarakat atau pengendara kendaraan masih rendah. Masih banyak pengendara motor yang tidak mematuhi peraturan lalu lintas yang telah dibuat. Tidak mematuhi aturan-aturan saat berkendara. Bahkan celakanya, tak sedikit pengendara tidak menggunakan standar berkendara menurut kelayakannya.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jelas tertulis agar kita sebagai masyarakat dan warga negara Indonesia wajib ikut serta dalam upaya membangun kesadaran berlalu lintas dengan baik. Dalam UU itu akan ditemukan peraturan-peraturan dalam rangka membangun kesadaran tertib lalu lintas. Setiap warga negara diharapkan memahami peraturan dan rambu-rambu lalu lintas lewat membaca buku. Membaca berita tentang lalu lintas di berbagai media. Ikut serta mempraktikkan apa yang telah kita ketahui dan pahami berkaitan dengan tertib berlalu lintas. Dengan cara-cara demikian mampu menumbuhkan kesadaran kita akan pentingnya tertib lalu lintas, sehingga kita pun menjadi bagian dari warga negara yang termasuk dalam kategori baik dengan ikut serta menjalankan peraturan.
Kesadaran Kolektif Kita
Satu contoh yang terus menjadi perbincangan adalah membangun kesadaran kolektif masyarakat dan pejabat publik agar tidak melakukan korupsi. Saat ini tengah digaungkan pendidikan antikorupsi yang mengajak segenap elemen bangsa agar melawan perilaku korupsi. Pendidikan korupsi ini dimaksudkan untuk menanamkan semangat antikorupsi pada setiap warga negara. Melalui pendidikan ini, diharapkan semangat anti korupsi membakar semangat dalam memerangi korupsi dan perbuatan itu tercermin dalam perbuatan sehari-hari. Sehingga, pekerjaan membangun bangsa yang terseok-seok karena adanya korupsi dimasa depan tidak ada terjadi lagi. Jika korupsi sudah diminimalisir, maka setiap pekerjaan membangun bangsa akan semakin maksimal. Untuk membangun nilai-nilai kesadaran dan mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk karakter setiap warga negara agar melawan korupsi. Menyadari bahwa pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap warga negara.
Setiap warga negara, baik rakyat biasa, maupun pejabat publik harus sadar bahwa uang yang telah dikorupsi merupakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air dan lain-lain. Masyarakat harus mengetahui besarnya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi tersebut, pendidikan menjadi mahal, begitu juga dengan pelayanan kesehatan, transportasi menjadi tidak aman, rusaknya infrastruktur dan yang paling berbahaya adalah meningkatnya angka pengangguran sehingga berkolerasi kepada angka kriminalitas. Atas fenomena yang terjadi di atas diperlukan sebuah kesadaran kolektif warga negara.
Bisa dikatakan bahwa membangun kesadaran diri dan kesadaran kolektif sangatlah penting di zaman sekarang ini. Orang dengan kesadaran diri yang tinggi berkebalikan dengan kesadaran diri publik. Tindakannya mengikuti standar dirinya sendiri. Mereka tidak peduli norma sosial yang berlaku di masyarakat. Mereka merasa nyaman berbeda dengan orang lain. Tetapi, ia tidak sadar bahwa kenyaman yang dimilikinya, apakah dapat menguntungkan atau merugikan orang lain? Orang-orang yang tidak memiliki kesadaran cenderung antipati, antisosial dan hilang rasa simpatinya terhadap orang lain, maka tak jarang mereka ingin tampil beda dari orang lain.
Orang yang memiliki kesadaran diri publik (kolektif) berperilaku mengarah keluar dirinya. Tindakan yang berlandaskan kesadaran itu mempengaruhi perilaku orang lain. Contoh kecil: mengajak orang lain agar tidak membuang sampah sembarang, namun membuangnya di tempat yang semestinya. Orang-orang yang memiliki kesadaran kolektif dilihat dari tindakan-tindakannya. Ia melakukan hal yang bermanfaat dengan harapan agar diketahui orang lain. Orang dengan kesadaran publik tinggi cenderung selalu berusaha untuk melakukan penyesuaian diri dengan norma masyarakat. Ia justru ikut berbaur dan mengajak orang lain agar membangun kesadaran.
Pada zaman sekarang ini, memang sulit membangun kesadaran. Membangun kesadaran diri sebaiknya dimulai dari sendiri. Meskipun kadang sulit untuk memulainya. Bukankah memulai perubahan dimulai dari diri sendiri sebelum merubah orang lain dan skup yang lebih besar bernama bangsa? Bukankah kita sebagai manusia diberikan akal dan pikiran agar selalu sadar dan tanggap dengan lingkungan sekitar kita. Dari tahun ke tahun, kita tentu sudah terbiasa merasakan dan melihat ketidaksadaran diri dan kolektif sekeliling yang dapat mempengaruhi realitas sosial-kemasyarakatan kita. Kita mungkin tidak merasakan dampaknya sekarang—mungkin besok, bulan depan, tahun depan atau mungkin tahun-tahun yang akan datang. Kita akan memiliki sebuah harapan besar yang belum pasti dengan kesadaran-kesadaran baik atau buruk yang kita tinggalkan kepada generasi berikutnya. Selamat berkontemplasi!
***
Penulis adalah Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan