
Oleh: Rusdin Pohan.
Selama tahun 2018 yang baru saja kita lewati, menurut data yang disiarkan media televisi pada teks berjalan di televisi tersebut, yang menyebut bahwa polisi telah berhasil menembak mati 47 tersangka yang terlibat dalam kejahatan narkoba, apakah itu bandar, pengedar, atau kurir narkoba. Ke 47 tersangka narkoba tersebut terpaksa ditembak mati polisi karena mereka melawan petugas ketika saat akan di ringkus, dan ada yang mencoba untuk melarikan diri, sehingga polisi harus melumpuhkan mereka dengan timah panas. Dari 47 tersangka narkoba yang tewas ditembak polisi itu, terdapat 7 orang tersangka dari Warga Negara Asing (WNA), selebihnya adalah Warga Negara Indonesia (WNI).
Sebagai masyarakat Indonesia saya dan mungkin sebahagian besar warga masyarakat Indonesia lainnya yang benci terhadap narkoba merasa barsyukur dan apresiasi yang tinggi serta mengacungkan dua jempol kepada Kepolisian RI, yang telah berhasil menembak mati ke 47 tersangka narkoba tersebut. Meski berita lengkap secara audio dan visualnya tidak kita dapatkan, namun dengan membaca berita teks berjalan itu sudah cukup menyenangkan masyarakat yang benar-benar anti kepada barang haram ini.
Hal ini membuat sebagian masyarakat, mengatakan sudah lupakan saja eksekusi mati yang menuai banyak pro dan kontra, terutama dari pegiat HAM, LSM, baik di dalam maupun luar negeri dan berbagai kalangannya yang lebih menyayangi para bandar dan pengedar narkoba, dari pada menyelamatkan anak bangsa yang telah hancur akibat narkoba. Bahkan beberapa diantarnya masih mampu mengendalikan perdagangan dan peredaran narkoba dari balik jeruji besi, luar biasa memang!
Menghentikan Eksekusi Mati Terpidana Mati Narkoba
Seperti kita ketahui bersama sejak Pemerintahan Presiden Jokowi, telah tiga kali dilaksanakan eksekusi mati bagi terpidana bandar dan pengedar narkoba yang telah divonis hukuman mati oleh Pengadilan, dan proses grasinya sudah ditolak oleh Presiden. Sebahagian besar rakyat di Republik ini menyambut gembira pelaksanaan eksekusi mati, baik pada pelaksanaan eksekusi mati jilid, I, II dan ke III. Sebelum pelaksanaan eksekusi mati pada setiap Jilidnya, mereka seakan tak sabar menunggu pemerintah melalui Jaksa Agung H.M. Prasetyo, mengumumkan tanggal pelaksanaan eksekusi mati itu, berapa orang yang akan dieksekusi mati, dan siapa-siapa saja nama mereka yang akan dieksekusi mati tersebut.
Sekedar mengingatkan kepada kita semua eksekusi mati jilid I, dilaksanakan pada hari Minggu, dinihari tanggal 18 Januari 2015, terhadap 6 orang terpidana mati. 5 orang dieksekusi di Pulau Nusakambangan, yaitu : 1. Marco Archer Cardoso Mareira (Brazil), 2. Daniel Enemua (Nigeria), 3. Ang Kim Soe (Belanda), 4. Namaona Dennis (Malawi), dan 5. Rani Andriani alias Melisa Aprillia (Indonesia), serta 1 orang dieksekusi di Boyolali, Jawa Tengah yaitu : Tranh Thi Hanh (Vietnam). Kemudian eksekusi mati jilid II, dilaksanakan pada hari Rabu dini hari tanggal 29 April 2015 terhadap 9 orang terpidana mati, yang seyogianya 10 orang, yaitu : 1. Myuran Sukumaran (Australia), 2. Andrew Chan (Australia), 3. Serge Areski Atlaoui (Perancis), 4. Martin Anderson (Ghana), 5. Zainal Abidin (Indonesia), 6. Raheem Agbaje Salami (Nigeria), 7. Rodrigo Gularte (Brazil), 8. Sylvester Obiekwe Nwolise ( Nigeria ), dan 9. Okwudili Oyatanze (Nigeria). Serta satu orang yang ditunda pelaksanaannya yaitu : Mary Jane Veloso (Filipina).
Nah, pada pelaksanaan eksekusi mati jilid III, yang menuai begitu banyak reaksi dan tanda tanya dari seluruh masyarakat Indonesia. Karena sudah jelas yang akan di eksekusi mati pada hari Jumat, tanggal 29 Juli 2016, pkl. 00.30 itu adalah 14 orang, namun yang dieksekusi mati hanya 4 orang yaitu: Freddy Budiman, Seck Osmane, Humprey Ejike, dan Michael Titus. Sedang 10 orang yang tidak jadi dieksekusi mati: Merry Utami, Zulfiqar Ali, Gurdip Singh, Onkonkwo Nonso Kingsley, Abina Nwajaen, Osiaz Sibamdi, Eugene Ape, Cajetan Uchena, Agus Hadi, dan Pujo Lestari. Jaksa Agung H.M. Prasetyo menjelaskan bahwa Penundaan eksekusi mati terhadap 10 orang yang seharusnya juga dieksekusi mati bersama ke 4 orang yang telah dieksekusi mati adalah karena menjelang pelaksanaan eksekusi mati, Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) yang berada di Nusakambangan melaporkan hasil pembahasan bersama unsur terkait di daerah dan konsulat luar negeri, bahwa hasil pengkajian, hanya 4 orang yang dieksekusi mati. Hal tersebut berdasarkan dari bobot perbuatan mereka. Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan menerima apa yang diputuskan Tim di lapangan dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.
Namun pernyataan Jaksa Agung H.M. Prasetyo itu, mendapat banyak tanggapan dari para ahli dan pakar hukum serta masyarakat luas. Sepertinya alasan itu tidak dapat diterima. Banyak pakar hukum mengatakan, bagaimana mungkin persiapan yang sudah demikian matang sejak sepekan sebelum pelaksanaan eksekusi mati. Peti jenazah sudah dipersiapkan sebanyak 14 buah, mobil ambulance 17 unit lengkap dengan mobil polisi pengawal masing-masing ambulance. Keempat belas orang yang akan dieksekusi mati itu sudah dimasukkan ke ruang isolasi, sudah didampingi para rohaniawan masing-masing, sudah menitipkan pesan terakhirnya. Namun menjelang detik pelaksanaan eksekusi hanya 4 orang yang di eksekusi mati. Sementera yang 10 orang lagi ditunda. Luar biasa. Kalau hanya 1 atau 2 orang yang ditunda mungkin ini masih ada kewajaran dan dapat diterima masyarakat luas yang benar-benar mengharapkan eksekusi ini dapat dilaksanakan sesuai dengan hukum yang berlaku di negeri kita Indonesia tercinta ini, agar generasi muda kita dapat terhindar dari marajalelanya narkoba di negeri kita ini. Seperti pada eksekusi mati jilid II, dimana yang seharusnya 10 orang, menjadi 9 orang, karena 1 orang ditunda, yaitu Mary Jane Velonso.
Seharusnya Pemerintah melalui Jaksa Agung H.M. Prasetyo tetap tegas melaksanakan eksekusi mati ini. Meski banyak surat masuk ke Presiden Jokowi yang meminta moratorium eksekusi mati, baik oleh mantan petinggi negara, Pegiat HAM, LSM baik dari dalam maupun luar negeri. Tunjukkan kewibawaan hukum Indonesia, demi untuk tujuan yang lebih besar, yaitu melepaskan generasi bangsa ini dari korban pengaruh yang luar biasa dari narkoba. Sejak pelaksanaan eksekusi mati jilid III, hingga sekarang ini sudah lebih dua tahun enam bulan berlalu, akan tetapi gaung untuk pelaksanaan Eksekusi Mati jilid IV, belum terdengar sama sekali, bahkan mungkin dianggap sepi, dan terkesan seolah-olah eksekusi mati bagi para terpidana mati narkoba, sudah dihentikan.
Semoga di tahun 2019 ini Polisi akan terus melanjutkan tembak mati di tempat bagi para tersangka narkoba, baik bandar, pengedar dan kurir narkoba. Sehingga diharapkan, para bandar, pengedar, dan kurir akan merasa takut dan gentar untuk melakukan aksinya. Yang pada gilirannya akan mengurangi peredaran narkoba itu sendiri, dan hal ini tentu akan mengurangi korban dari para generasi bangsa ini dari pemakaian narkoba. Tidak seperti selama ini, mereka ditangkap, diadili, dan dijatuhi hukuman mati, tapi nyatanya dia enak tenan di penjara, eksekusinya entah kapan, bahkan banyak yang membelanya, ketika akan dieksekusi mati. Biarkan saja mereka mati sendiri di penjara ditelan dosa-dosanya. Lebih baik lanjutkan, tembak mati para tersangka narkoba.***
* Penulis adalah Pemerhati Sosial Masyarakat, Politik dan Budaya.